Minggu, 29 Mei 2011

Salaf dan Salafy ; Siapakah Kita, Siapakah Mereka, Mana Yang Ahli Bid’ah dan Ahli Fitnah Yang Sesungguhnya ?





Dalam video ceramah Buya Yahya berikut ini menjelaskan secara lugas tentang apa itu salaf dan juga menyinggung istilah khalaf. Siapa saja yang termasuk kepada generasi salafush shaleh ?. Benarkah klaim mereka-mereka yang katanya mengikuti salafush shaleh ? InsyaAllah dengan menyimak kajian ini akan paham betapa absurdnya dan lucunya kalangan yang menamakan sebagai “salafy” itu dan mudah mulut mereka mengeluarkan kata bid’ah. Secara garis besar, akan mencakup penjelasan tentang bagaimana mengikut salafush shaleh. Benarkah dengan bermanhaj salafush shaleh ? Darimana manhaj (cara atau metode) tersebut ? Qaidah yang mana yang akan diikuti dalam bermanhaj ? Siapa yang mencetuskan qaidah dalam bermanhaj salafush shaleh ? Mereka yang mengatakan bermanhaj salafy sebenarnya adalah hanya mengada-ada. Karena salafush shaleh bukanlah manhaj, melainkan salafush shaleh adalahsebuah nama untuk kurun yang mulya. Oleh karena itu, disusunnya kaidah-kaidah ushul oleh aimmah adalah untuk mengembalikan kepada salafush shaleh. Sehingga menjadi penting untuk mengikut qaidah-qaidah yang telah disusun oleh salafush shaleh seperti Imam al-Syafi’i dan imam lainnya. Maka ternyata, kitalah yakni para pengikut madzhab yang asli sebagai pengikut shalafush shaleh, karena kita mengikuti kaidah-kaidah para imam madzhab dan imam madzhab adalah pemilik kaidah tersebut. 

Download video kajiannya : Part 1 dan Part 2.

Perbedaan antara Ibn al Jawzi dan Ibn Qayyim al Jawziyyah

Ingat; beda antara Ibn al Jawzi dan Ibn Qayyim al Jawziyyah, yang pertama ulama besar terkemuka sementara yang kedua seorang yang sesat berakidah tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)
- 1- Ibn al Jawzi, bernama Jamaluddin Abu al Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ali al Qurasyi al Baghdadi, dikenal dengan sebutan Ibn al Jawzi; al imam al hafizh al mufassir al ushuliyy al mutakallim. Salah seorang ulama Ahlussunnah terkemuka multidisipliner; ahli hadits (al Hafizh), ahli fiqih (al Faqih), ahli tafsir (al Mufassir), ahli teologi (al Mutakallaim), ahli sejarah (al Mu’arrikh), sufi terkemuka yang zuhud dan wara’. Lahir tahun 510 H, dan wafat pada 7 Ramadlan tahun 597 H.
 
Di antara karya-karyanya; al Mughni Fi ‘Ilm al Qur’an, Zad al Masir Fi ‘Ilm at Tafsir, al Maudlu’at Fi al Hadits, Musykil ash Shihah, adl Dlu’afa Fi al Hadits, Bustan al Wa’idzin, Shayd al Khathir, Dzamm al Hawa, Laftah al Kabd Ila Nashihah al Walad, Ru’us al Qawarir, Shifat ash Shafwah, Talbis Iblis, al Muntazhim Fi at Tarikh, al Hasan al Bashri, Manaqib Umar ibn Abdil Aziz, al Adzkiya’, al Wafa Fi Fadla’il al Musthafa, Daf’u Syubah at Tasybih Bi Akaff at Tanzih (kitab dengan terjemahan yang ada di hadapan anda ini), taqwim al Lisan, Salwah al Ahzan, dan lainnya.

Lebih lengkap lihat biografi beliau dalam; Siyar A’lam an Nubala’, j. 21, h. 365, Tadzkirah al Huffazh, h. 1097, Wafayat al A’yan, j. 2, h. 321, al Bidayah Wa an Nihayah, j. 31, h. 28, Dzail Thabaqat al Huffazh, j. 1, h. 399, al Kamil Fi at Tarikh, j. 12, h. 171, dan lainnya.

- 2 - Ibn Qayyim al Jawziyyah; adalah murid Ibn Taimiyah, banyak mengambil kesesatan-kesesatan dari Ibn Taimiyah, benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya tersebut dalam berbagai masalah ushuliyyah.  

Ia bernama Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub az-Zar’i, dikenal dengan nama Ibn Qayyim al-Jawziyyah, lahir tahun 691 hijriyah dan wafat tahun 751 hijriyah. Al-Dzahabi dalam kitab al-Mu’jam al-Mukhtash menuliskan tentang sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:

“Ia tertarik dengan disiplin Hadits, matan-matan-nya, dan para perawinya. Ia juga berkecimpung dalam bidang fiqih dan cukup kompeten di dalamnya. Ia juga mendalami ilmu nahwu dan lainnya. Ia telah dipenjarakan beberapa kali karena pengingkarannya terhadap kebolehan melakukan perjalanan untuk ziarah ke makam Nabi Ibrahim. Ia menyibukan diri dengan menulis beberapa karya dan menyebarkan ilmu-ilmunya, hanya saja ia seorang yang suka merasa paling benar dan terlena dengan pendapat-pendapatnya sendiri, hingga ia menjadi seorang yang terlalu berani atau nekad dalam banyak permasalahan” (al-Mu’jam al-Mukhtash).

Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab ad-Durar al-Kaminah menuliskan tentang Ibn Qayyim sebagai berikut:

“Ia ditaklukkan oleh rasa cintanya kepada Ibn Taimiyah, hingga tidak sedikitpun ia keluar dari seluruh pendapat Ibn Taimiyah, dan bahkan ia selalu membela setiap pendapat apapun dari Ibn Taimiyah. Ibn Qayyim inilah yang berperan besar dalam menyeleksi dan menyebarluaskan berbagai karya dan ilmu-ilmu Ibn Taimiyah. Ia dengan Ibn Taimiyah bersama-sama telah dipenjarakan di penjara al-Qal’ah, setelah sebelumnya ia dihinakan dan arak keliling di atas unta hingga banyak dipukuli ramai-ramai. Ketika Ibn Taimiyah meninggal dalam penjara, Ibn Qayyim lalu dikeluarkan dari penjara tersebut. Namun demikian Ibn Qayyim masih mendapat beberapa kali hukuman karena perkataan-perkataannya yang ia ambil dari fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Karena itu Ibn Qayyim banyak menerima serangan dari para ulama semasanya, seperti juga para ulama tersebut diserang olehnya” (ad-Durar al-Kâminah Fi A’yan al-Mi’ah ats-Tsaminah ).

Sementara Ibn Katsir menuliskan tentang sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:

“Ia (Ibn Qayyim) bersikukuh memberikan fatwa tentang masalah talak dengan menguatkan apa yang telah difatwakan oleh Ibn Taimiyah. Tentang masalah talak ini telah terjadi perbincangan dan perdebatan yang sangat luas antara dia dengan pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât); Taqiyuddin as-Subki dan ulama lainnya” (Al-Bidâyah Wa an-Nihâyah, j. 14, j. 235).

Ibn Qayyim adalah sosok yang terlalu optimis dan memiliki gairah yang besar atas dirinya sendiri, yang hal ini secara nyata tergambar dalam gaya karya-karya tulisnya yang nampak selalu memaksakan penjelasan yang sedetail mungkin. Bahkan nampak penjelasan-penjelasan itu seakan dibuat-buatnya. Referensi utama yang ia jadikan rujukan adalah selalu saja perkataan-perkataan Ibn Taimiyah. Bahkan ia banyak mengutak-atik fatwa-fatwa gurunya tersebut karena dalam pandangannya ia memiliki kekuatan untuk itu. Tidak sedikit dari faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah yang ia propagandakan dan ia bela, bahkan ia jadikan sebagai dasar argumentasinya. Oleh karena itu telah terjadi perselisihan yang cukup hebat antara Ibn Qayyim dengan pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât); Imam al-Hâfizh Taqiyuddin as-Subki di bulan Rabi’ul Awwal dalam masalah kebolehan membuat perlombaan dengan hadiah tanpa adanya seorang muhallil (orang ke tiga antara dua orang yang melakukan lomba). Ibn Qayyim dalam hal ini mengingkari pendapat Imam as-Subki, hingga ia mendapatkan tekanan dan hukuman saat itu, yang pada akhirnya Ibn Qayyim menarik kembali pendapatnya tersebut.

Imam Taqiyuddin al-Hishni (w 829 H), salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab asy-Syafi’i; penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr, dalam karyanya berjudul Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad sebagai bantahan atas kesesatan Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:

“Ibn Taimiyah adalah orang yang berpendapat bahwa mengadakan perjalanan untuk ziarah ke makam para Nabi Allah adalah sebagai perbuatan yang haram, dan tidak boleh melakukan qashar shalat karena perjalanan tersebut. Dalam hal ini, Ibn Taimiyah secara terang-terangan menyebutkan haram safar untuk tujuan ziarah ke makam Nabi Ibrahim dan makam Rasulullah. Keyakinannya ini kemudian diikuti oleh muridnya sendiri; yaitu Ibn Qayyim al-Jaiuziyyah az-Zar’i dan Isma’il ibn Katsir as-Syarkuwini. Disebutkan bahwa suatu hari Ibn Qayyim mengadakan perjalan ke al-Quds Palestina. Di Palestina, di hadapan orang banyak ia memberikan nasehat, namun ditengah-tengah nasehatnya ia membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulannya Ibn Qayyim kemudian berkata: “Karena itu aku katakan bahwa sekarang aku akan langsung pulang dan tidak akan menziarahi al-Khalil (Nabi Ibrahim)”. Kemudian Ibn Qayyim berangkat ke wilayah Tripoli (Nablus Syam), di sana ia kembali membuat majelis nesehat, dan di tengah nasehatnya ia kembali membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulan pembicaraannya Ibn Qayyim berkata: “Karena itu hendakalah makam Rasulullah jangan diziarahi…!”. Tiba-tiba orang-orang saat itu berdiri hendak memukulinya dan bahkan hendak membunuhnya, namun peristiwa itu dicegah oleh gubernur Nablus saat itu. Karena kejadian ini, kemudian penduduk al-Quds Palestina dan penduduk Nablus menuslikan berita kepada para penduduk Damaskus prihal Ibn Qayyim dalam kesesatannya tersebut. Di Damaskus kemudian Ibn Qayyim dipanggil oleh salah seorang hakim (Qadli) madzhab Maliki. Dalam keadaan terdesak Ibn Qayyim kemudian meminta suaka kepada salah seorang Qadli madzhab Hanbali, yaitu al-Qâdlî Syamsuddin ibn Muslim al-Hanbali. Di hadapannya, Ibn Qayyim kemudian rujuk dari fatwanya di atas, dan menyatakan keislamannya kembali, serta menyatakan taubat dari kesalahan-kesalahannya tersebut. Dari sini Ibn Qayyim kembali dianggap sebagai muslim, darahnya terpelihara dan tidak dijatuhi hukuman. Lalu kemudian Ibn Qayyim dipanggil lagi dengan tuduhan fatwa-fatwa yang menyimpang yang telah ia sampaikan di al-Quds dan Nablus, tapi Ibn Qayyim membantah telah mengatakannya. Namun saat itu terdapat banyak saksi bahwa Ibn Qayyim telah benar-benar mengatakan fatwa-fatwa tersebut. Dari sini kemudian Ibn Qayyim dihukum dan di arak di atas unta, lalu dipenjarakan kembali. Dan ketika kasusnya kembali disidangkan dihadapan al-Qâdlî Syamsuddin al-Maliki, Ibn Qayyim hendak dihukum bunuh. Namun saat itu Ibn Qayyim mengatakan bahwa salah seorang Qadli madzhab Hanbali telah menyatakan keislamannya dan keterpeliharaan darahnya serta diterima taubatnya. Lalu Ibn Qayyim dikembalikan ke penjara hingga datang Qadli madzhab Hanbali dimaksud. Setelah Qadli Hanbali tersebut datang dan diberitakan kepadanya prihal Ibn Qayyim sebenarnya, maka Ibn Qayyim lalu dikeluarkan dari penjara untuk dihukum. Ia kemudian dipukuli dan diarak di atas keledai, setelah itu kemudian kembali dimasukan ke penjara. Dalam peristiwa ini mereka telah mengikat Ibn Qayyim dan Ibn Katsir, kemudian di arak keliling negeri, karena fatwa keduanya -yang nyeleneh- dalam masalah talak” (Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad, h. 122-123).

Ibn Qayyim benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, dalam berbagai permasalahan. Dalam salah satu karyanya berjudul Badâ-i’ al-Fawâ-id, Ibn Qayyim menuliskan beberapa bait syair berisikan keyakinan tasybîh, yang lalu dengan dusta mengatakan bahwa bait-bait syair tersebut adalah tulisan Imam ad-Daraquthni. Dalam bukunya tersebut Ibn Qayyim menuliskan:

“Janganlah kalian mengingkari bahwa Dia Allah duduk di atas arsy, juga jangan kalian ingkari bahwa Allah mendudukan Nabi Muhammad di atas arsy tersebut bersama-Nya” (Badâ-i’ al-Fawâ-id, j. 4, h. 39-40).

Tulisan Ibn Qayyim ini jelas merupakan kedustaan yang sangat besar. Sesungguhnya Imam ad-Daraquthni adalah salah seorang yang sangat mengagungkan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari; sebagai Imam Ahlussunnah. Seandainya ad-Daraquthni seorang yang berkeyakinan tasybîh, seperti anggapan Ibn Qayyim, tentu ia akan mengajarkan keyakinan tersebut.

Pada bagian lain dalam kitab yang sama Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa langit lebih utama dari pada bumi, ia menuliskan: ”Mereka yang berpendapat bahwa langit lebih utama dari pada bumi mengatakan: Cukup alasan yang sangat kuat untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi adalah karena Allah berada di dalamnya, demikian pula dengan arsy-Nya dan kursi-Nya berada di dalamnya” (Badâ-i’ al-Fawâ-id, h. 24).

Penegasan yang sama diungkapkan pula oleh Ibn al-Qayyim dalam kitab karyanya yang lain berjudul Zâd al-Ma’âd. Dalam pembukaan kitab tersebut dalam menjelaskan langit lebih utama dari bumi mengatakan bahwa bila seandainya langit tidak memiliki keistimewaan apapun kecuali bahwa ia lebih dekat kepada Allah maka cukup hal itu untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi.

Syekh Muhammmad Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn dalam menanggapi tulisan-tulisan sesat Ibn al-Qayyim di atas berkata:

”Orang ini (Ibn al-Qayyim) meyakini seperti apa yang diyakini oleh seluruh orang Islam bahwa seluruh langit yang tujuh lapis, al-Kursi, dan Arsy adalah benda-benda yang notabene makhluk Allah. Orang ini juga tahu bahwa besarnya tujuh lapis langit dibanding dengan besarnya al-Kursi tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas; sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam Hadits Nabi. Orang ini juga tahu bahwa al-Kursi yang demikian besarnya jika dibanding dengan besarnya arsy maka al-Kursi tersebut tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas. Anehnya, orang ini pada saat yang sama berkeyakinan persis seperti keyakinan gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, bahwa Allah berada di arsy dan juga berada di langit, bahkan keyakinan gurunya tersebut dibela matia-matian layaknya pembelaan seorang yang gila. Orang ini juga berkeyakinan bahwa seluruh teks mutasyâbih, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits-Hadits Nabi yang menurut Ahl al-Haq membutuhkan kepada takwil, baginya semua teks tersebut adalah dalam pengertian hakekat, bukan majâz (metafor). Baginya semua teks-teks mutasyâbih tersebut tidak boleh ditakwil” (Barâ-ah al-Asy’ariyyîn, j. 2, h. 259-260).

Sabtu, 28 Mei 2011

SIAPAKAH AHLI BID'AH DLOLALAH ITU???

SIAPAKAH AHLI BID'AH DLOLALAH ITU???

oleh Imam Nawawi 








                
                                    

   Bismillaahirrohmaanirrohiim


Rasul bersabda, “Ummatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau: “Siapakah mereka (yang satu golongan itu), wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim)

Wahai ummat Islam, marilah kita bersatu dalam jama’ah Rasul dan para sahabatnya! Dan tinggalkanlah aliran-aliran yang memisahkan diri dari jama’ah ini! Tinggalkanlah jama’ah-jama’ah ahli bid’ah! Tinggalkanlah jama’ah-jama’ah yang berbeda dengan para ulama-ulama terdahulu yang shalih!

Siapakah jama’ah-jama’ah ahli bid’ah itu? Mereka yang menolak manhaj salafush sholih, itulah para ahlul bid’ah. Bagaimanakah ciri-ciri mereka menurut ulama-ulama kita? Diantaranya, mereka itu:
 
1. Menolak adanya bid’ah hasanah. Padahal para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui adanya bid’ah hasanah.

2. Mengharamkan perayaan Maulidur Rasul. Padahal para Muhaddits pun merayakannya. Bahkan Sahabat pun bermaulid. Bahkan Rasul sendiri melakukannya.

3. Mengharamkan tawassul dengan Nabi.

4. Mengharamkan mengirim hadiah pahala untuk mayit.
Dalam Majmu’ fatawa juz 24 hal.306 ibnu Taymiyyah menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama islam dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah dan ijma’ (konsensus ulama’). Barang siapa menentang hal tersebut maka ia termasuk ahli bid’ah”.

5. Mengharamkan tabarruk.

6. Mengharamkan mencium tangan ulama shalih.

7. Mengharamkan dzikir berjama’ah.
Padahal, kita semua maklum bahwa membaca takbir di Masjid secara berjama’ah dan mengangkat suara pada malam hari raya adalah sunnah.

8. Mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah saw.
Dalam qasidah Nuniyyah (bait ke 4058 ) Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ziarah ke makanm Nabi SAW adalah salah satu ibadah yang paling utama, tulisnya “Diantara amalan yang paling utama adalah ziarah ini. Kelak menghasilkan pahala melimpah di timbangan amal pada hari kiamat”. Sebelumnya ia mengajarkan tata cara ziarah (bait ke 4046-4057). Diantaranya, peziarah hendaklah memulai dengan sholat dua rakaat di masjid Nabawi. Lalu memasuki makam dengan sikap penuh hormat dan ta’zhiim, tertunduk diliputi kewibawaan sang Nabi. Bahkan ia menggambarkan pengagungan tersebut dengan kalimat “Kita menuju makam Nabi SAW yang mulia sekalipun harus berjalan dengan kelopak mata” (bait 4048).

9. Menolak untuk bermadzhab.

Jika Anda menemukan hal-hal itu dalam kelompok Anda, maka berhati-hatilah! Karena mungkin saja kelompok Anda itu adalah kelompok ahlul bid’ah.

 Sebenarnya, ummat Islam pun telah berpecah-belah sejak dahulu, dan tepatlah apa yang diberitakan oleh Rasulullah saw. yang bersifat ash-shadiqul-amin. Rasulullah, ketika ditanya oleh sahabat, “Siapakah golongan yang selamat dari neraka?” Beliau menjawab, “Mereka adalah golongan yang menuruti langkahku dan langkah para shahabatku.” Selanjutnya beliau berpesan pula, “Apabila terjadi suatu perselisihan, maka hendaklah kamu senantiasa berpihak kepada golongan yang terbanyak dari kaum Muslimin.”

Alhamdulillah, sejak dahulu hingga sekarang, para ahlus sunnah wal jama’ah inilah yang merupakan golongan terbanyak dari kaum Muslimin. Tak pelak lagi, bahwa mereka itulah golongan yang selamat. Karena mereka itu senantiasa berpegang teguh kepada petunjuk Al-Qur’an dan petunjuk Rasulullah saw. Mereka senantiasa mengikuti ajaran yang dibawa oleh para salafush sholih dari golongan para shahabat dan tabi’in radhiyallahu ‘anhum.

Alhamdulillaahirobbil'aalamiin

Jumat, 27 Mei 2011

Akibat Salah Memahami Bid’ah Akhirnya Muncul Fitnah-fitnah Bid’ah

Masalah bid’ah di dalam Islam adalah perkara yang harus dihindari oleh kaum muslimin.Semua kita tahu bahwa kita harus hati-hati dengan amalan ibadah yang bid’ah (dholalah) sebab  akan sia-sia karena ditolak olelh Allah Swt. Ini berarti  amalan tersebut tanpa menghasilkan pahala sebagai “ganjaran” dari amalan ibadah kita. bid'ah hasanah - bid'ah sayyi'ahAlias capek doangan. Dus, dengan demikian sudah pasti setiap muslim akan selalu berusaha membersihkan  perkara bid’ah (dholalah) dalam setiap amalan ibadahnya. Kita tidak ingin beramal ibadah tetapi sia-sia tanpa pahala.  Karena itulah memahami perkara-perkara  yang berkaitan dengan thema kebid’ahan menjadi sangat diperlukan;  urgensi  mempelajarinya menempati posisi  sedemikian penting lebih-lebih di zaman fitnah Islam yang semakin meruncing.
Banyak hadits Nabi Saw  yang isinya memberitahukan tentang perkara bid’ah, dan para ulama salaf  kita telah pula memperjelas secara lebih detail tentang apa-apa yang dimaksud dengan bid’ah. Kita tinggal mengikutinya karena kita percaya kepada para Ulama Faqih yang sholih itu, semisal Imam Syafi’i.  Tapi kemudian di akhir zaman ini ada golongan  (firqah) yang berusaha secara leterleg  “ittiba”,  dan praktiknya cenderung tanpa ilmu yang memadai.  Sehingga Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah adalah sesat karena ada hadits Nabi Saw yang mengatakan demikian secara harfiyah, yaitu kullu bid’atin dholalah.Dari  sinilah bermula  akan  munculnya fitnah-fitnah bid’ah  akibat dari berbagai kesalah-pahaman dalam memahami  bid’ah oleh firqah tersebut.  Padahal para Ulama Salafuna Shalih sudah dengan begitu gamblang dan transparan  dalam menjelaskan perkara bid’ah tersebut.
Nah, dalam rangka lebih memperjelas penjelasan para Ulama Salaf  yang  sholih itulah tampil seorang facebooker bernama  Imam Nawawi memberikan tutorialnya bagaimnana memahami perkara bid’ah secara benar. Mari kita ikuti paparannya yang sangat menarik dan bermanfaat berikut ini …..  

KESALAH-PAHAMAN/SALAFI KAUM WAHABI MEMAHAMI BID’AH

Bismillaahirrohmaanirrohiim
Dengan rahmat dan hidayah Allah, ana paparkan kesalahan “kaum wahhaby”:
1. Tidak memperdulikan sabda Sahabat Umar “Ni’matul bid’atu hadzihi” (alangkah bagus bid’ah ini).
2. Memberi makna “kullu” hanya satu macam, yaitu “tiap-tiap/semua”.  Padahal arti “kullu” itu ada dua, yaitu : “tiap-tiap” dan “sebagian”
Seperti kita maklumi, menurut istilah ilmu manthiq:
- “kullu” yang berarti “tiap-tiap” disebut “kullu kulliyah”
- “kullu” yang berarti “sebagian” disebut “kullu kully”
contoh “kullu kulliyah”
firman Allah: “Kullu nafsin dza’iqotul maut”  yang artinya “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”
contoh “kullu kully”
firman Allah: “wa ja’alnaa minal maa’i kulla syai’in hayyin” yang artinya “Dan telah kami jadikan dari air sebagian makhluk hidup”.
kalau “kulla syai’in” di sini diartikan “tiap-tiap/semua” maka bertentangan dengan kenyataan, bahwa ada makhluk hidup yang dijadikan Allah tidak dari air,  seperti malaikat dari cahaya, dan jin juga syetan dari api.
firman Allah: “wa kholaqol  jaanna min maarijin min naar”  yang artinya “Dan Allah telah menjadikan semua jin itu dari lidah api”
Jelaslah bahwa arti “kullu” itu ada dua yaitu “tiap-tiap” dan “sebagian”.
Kesalahan kaum wahhaby, karena mengartikan “kullu” hanya satu macam, yaitu “tiap-tiap”, sehingga dengan  dalil “kullu bid’atin dlolalah” mereka menganggap semua bid’ah sesat tanpa kecuali.

Kesalahan Kaum Wahhaby yg lain:

kaum wahhaby menganggap “bid’ah” itu hanyalah pada urusan “ibadah”. Pada selain urusan ibadah mereka anggap tidak ada bid’ahnya. Kata kaum wahhabi: Ibadah itu tak boleh diubah, ditambah, dikurangi atau diciptakan sendiri,  kesemuanya harus berbentuk asli dari Nabi.
Adapun urusan “selain ibadah” kata kaum wahhaby bolehlah berubah menurut keadaan zaman. Terhadap anggapan ini mereka terapkan hadits Nabi saw:
“Jika ada soal-soal agamamu, serahkanlah ia kepadaku. Jika ada soal-soal keduniaanmu, maka kamu lebih mengetahui akan soal-soal duniamu itu”
Secara dangkal,  sepintas lalu anggapan Wahhaby ini seperti benar. Tetapi sebenarnya salah, karena:
-”Bid’ah” itu selain urusan “ibadah” juga terdapat di dalam urusan “mu’amalah” (pergaulan masyarakat).  Seperti: pementasan lakon-lakon Nabi dalam drama, baik bersifat hiburan atau komersil.
-sasaran hadits di atas sebenarnya bukan mengenai “Bid’ah” melainkan mengenai “hukum” dan “teknis”
contoh:
-Hukum membangun masjid adalah urusan agama, harus dikembalikan kepada Nabi, artinya harus bersumber dari Qur’an dan sunnah. Sedang teknik pembangunannya adalah “urusan dunia” dan ini diserahkan kepada  ummat, terserah menurut perkembangan peradaban manusia.
-Hukum pertanian adalah urusan agama. Harus bersumber dari Qur’an atau Sunnah.Teknik cocok-tanamnya adalah urusan dunia. Terserah kepada  perkembangan peradaban.
Di dalam pengertian inilah Nabi menyabdakan Hadits di atas. Bukan di dalam pengertian “kaum wahhaby” di atas.
Kesalahan wahhaby yang lain, adalah mereka menganggap bahwa “ibadah” itu hanya satu macam, yang semua bentuknya harus asli dari Nabi saw. Padahal tidak demikian. Yang benar “ibadah” itu ada dua macam, yaitu:
1. Ibadah Muqoyyadah (Ibadah yang terikat) seperti:
- Sholat wajib 5 waktu
- Zakat wajib
- Puasa Ramadhan
- Haji, dsb…..
Ibadah-ibadah ini mempunyai keasalannya (keasliannya) dari Nabi saw dalam segala-galanya, hukumnya, teknis pelaksanaannya, waktu dan bentuknya. Kesemuanya diikat (muqoyyad) menurut aturan-aturan tertentu. Tidak boleh dirubah.
2. Ibadah Muthlaqoh (Ibadah yg tdk terikat secara menyeluruh), seperti:
- Dzikir (lisan atau hati) kepada Allah SWT.
- Tafakkur tentang makhluk Allah.
- Belajar atau Mengajar ilmu agama.
- Berbakti kepada ayah dan ibu (birrul walidain)
- dsb……
Ibadah-ibadah  ini mempunyai keasalan dari Nabi saw.  dalam beberapa hal, sedang mengenai bentuk dan teknik pelaksanaannya tidak diikat dengan aturan-aturan  tertentu, terserah kepada ummat,  asal tidak melanggar garis-garis  pokok “Syari’at Islam”.  Pada ibadah muthlaqoh inilah kadang terjadi “bid’ah hasanah”.   Demikianlah paham Ahlussunnah wal jama’ah yang jelas bertentangan dengan  paham “kaum wahhaby”.
*****
Sebagai tambahan ana paparkan contoh-contoh  bid’ah hasanah:
- Membendel Qur’an menjadi kitab (mushaf) diawali dengan  Fatihah dan diakhiri dengan  an-Naas
- Memberi titik-titik dan syakal pada tulisan al-Qur’an (Pada masa Nabi saw. tidak ada titik dan syakalnya)
- Membuat istilah hadits shohih, hadits hasan, hadits dloif,  dsb. (Pada masa Nabi ini juga tidak ada)
- Mengajar/belajar agama di Madrasah-madrasah  secara klasikal (ber-kelas-kelas) dan bertingkat-tingkat  dari dasar, menengah sampai universitas.
- Peringatan Maulid Nabi saw dalam segala bentuk yang tidak bertentangan dengan garis-garis  Syari’ah Islam
Demikian paparan ana semoga bermanfaat dan ana berharap dengan  do’a semoga kita semua dijauhkan Allah dari kesesatan kaum wahhaby ini sampai akhir hayat nanti…. Aamiin Allaahumma Aamiin
*****
Sebagai tambahan lagi,  inilah penjelasan Ulama’-ulama’  ahlussunnah wal jama’ah mengenai pembagian bid’ah.

Pembagian Bid’ah

1. Menurut Imam Syafii
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama sesuatu yang baru yg menyalahi Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dlolalah. Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela (bid’ah hasanah).“  (Kitab Manaqib Syafii, karya Imam Baihaqi juz 1 hal. 469)
2. Menurut Imam Ibn Abdilbarr (seorang hafidz {hafal lebih dari 400 ribu hadits} dan faqih dari Madzhab Maliki)
“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah berdasar lisan arab (bahasa arab) adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam masalah agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi syari’at dan sunnah, maka itu (termasuk) sebaik-baik bid’ah (bid’ah hasanah) (Kitab al-Istidzkaar juz 5 hal. 152)
3. Menurut Imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi (Imam Nawawi)
“Bid’ah terbagi  menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qobihah (buruk) (Kitab Tahdzibil-asmaa’ wal-lughot, karya Imam Nawawi juz 3 hal. 22)
4. Menurut Imam Hafidz Ibn Atsir al-Jazari dlm kitabnya an-Nihayah fi ghoribil-hadits wal-atsar.
“Bid’ah ada dua macam; bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dlolal (sesat)
5. Menurut Imam Qodhi Abu Bakar Ibn Arabi al-Maliki (Ibn Arabi) dlm kitab karyanya “Aridzat al-Ahwadzi Syarh Jami’ al-Tirmidzi,
“Umar berkata: “Ini sebaik-baik bid’ah”. Bid’ah yg dicela hanyalah bid’ah yang menyalahi sunnah.
6. Menurut Imam Ibn Hajar Al-Atsqolani dlm kitabnya Fathul Bari juz 4 hal. 253
“Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dlm naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dlm naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela).”
7. Menurut Imam al-’Aini (762-855 H) seorang hafidz (yg hafal ratusan ribu hadits) dan faqih yang bermadzhab Hanafi berkata dlm kitabnya ‘Umdat al-Qori juz 11 hal. 126:
“Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rosulullah saw. Kemudian bid’ah itu ada dua macam. Apabila masuk dlm naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’ maka dsebut bid’ah hasanah, Apabila masuk dibawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela).”
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa menurut para Ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah, bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Bid’ah Hasanah (bid’ah yg sesuai dg dalil syara’/Qur’an dan Hadits Nabi saw.)
2. Bid’ah Dlolalah (bid’ah yg bertentangan dg dalil syara’/Qur’an dan Hadits Nabi saw.)
Alhamdulillaahirobbil’aalamiin….

Rabu, 25 Mei 2011

Pengertian Bid'ah Menurut Empat Imam Madzhab

Pengertian Bid'ah Menurut Empat Imam Madzhab

Oleh: Syaikh. Prof. Dr. Ali Jum'ah (Mufti Republik Mesir)
  
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
"Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR. An-Nasa`i)
 Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits yang berbicara tentang bid'ah. Namun untuk memahami perkara bid'ah ini tidak asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau tekstual dari hadits tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak pernah dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah yang sesat, dan jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari para ulama salafush-shalih kita yang telah terebih dahalu mengkajinya.
 
Definisi Bid'ah
Untuk mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus terlebih dahulu memahami arti bid'ah secara bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi/syariat).
Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi):
Yaitu hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah (baca: mubtadi') menurut adat terkesan tercela.
Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.
Bid'ah Menurut Istilah (Terminologi/Syariat):
Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut syara':
Cara yang pertama: cara atau jalan yang dimotori oleh Al Izz bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:
"Amal perbuataan yang belum pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam;
1. Bid'ah wajib.
2. Bid'ah haram
3. Bidah sunah
4. Bid'ah makruh
5. Bid'ah mubah
Adapun untuk mengetahui semua itu adalah menegembalikan semua perbuatan yang dinggap bid'ah itu di hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib (bid'ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan itupun menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan itupun menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lih. Qawa'id Al Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2. h. 204)
Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di zaman Nabi dinamakan bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang kebalikannya/buruk . (lih. Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).
Cara kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah adalah: menjadikan pengertian bid'ah menurut syariat lebih khusus dari pada menurut bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya berlaku untuk suatu perkara yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan bid'ah wajib, sunah, mubah dan seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz bin Abdussalam. Cara kedua ini membatasi istilah bid'ah pada suatu amal yang diharamkan saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan bahwa bid'ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu bid'ah menurut bahasa. (lih. Jami' Al Ulum Wa Al Hikam h. 223)
 Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai hakikat pegertian bid'ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid'ah yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana perbuatan itu tidak memiliki dasar syar'i yang menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari sabda Nabi SAW,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Setiap perbuatan bid'ah itu sesat."
Definisi yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama, ahli fikih dan imam yang diikuti. Imam Syafi'i —sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi— bahwa beliau berkata, "Perkara baru yang tidak ada di zaman nabi SAW itu ada dua ketagori, pertama, perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid'ah yang sesat (bid'ah dhalalah). Kedua, perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela." (Riwayat Al Baihaqi. Lih. kitab Manaqib Asy-Syafi'i, juga oleh Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya`. 9/113)
 Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya` Ulumuddin, juz 2, h. 248)
Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah hukum), "Bid'ah itu tebagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh…" di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata, "Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah). (lih. An-Nanawi dalam Al Adzkar)
 Adapun Ibnu Al Atsir berkata, "Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah dhalal (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji… dia pun menambahkan: bid'ah yang baik pada dasarnya adalah sunah. Karena itu hadits Nabi SAW, "Bahwa setiap perkara baru itu bid'ah." Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan bertolak belakang dengan Sunnah." (lih. An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir juz 1. h. 80)
Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah secara istilah syar'i, menurutnya: Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji. Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi SAW seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan pulsa, voucher, mengucapkan selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via telepon, dan lain sebagainya. Red)."
Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari'at) berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda, "Siapa yang memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya." Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula, "Siapa yang memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengamalkannya." Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Begitupula dengan yang dikatakan Umar, "Ini (shalat Tarawih berjama'ah) bid'ah yang baik". Jika perbuatan itu termasuk katagori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan terpuji, karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih. Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, belia menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi SAW, "Ikutilah Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun setelahku." Juga sabda beliau lainnya, "Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali…" Adapun hadits nabi SAW, "Setiap perkara baru adalah bid'ah" dipahami jika perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (lih. Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)
 Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid'ah:
Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.
Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini:
a. Bid'ah wajib: seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."
b. Bid'ah haram: seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji`ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur`an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamant ini masih jahiliyah shingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.
c. Bid'ah sunah: seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at.
d. Bid'ah makruh: seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur`an.
e. Bid'ah mubah: seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur`an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.

Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.
Adapun dalil yang menjadi dasar pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:
1. Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan Ramadhan dengan mengatakan, ni'matil bid'atu hadzihi (ini sebaik-baik bid'ah).
Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata: aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata, "Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal." Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata, "Ni'matil bid'atu hadzihi (inilah sebaik-baik bid'ah). Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam." (HR. Bukhari)
2. Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di masjid adalah bid'ah, padahal itu merupakan perkara baik.
Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata: aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah, kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab, "Bid'ah". (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Hadits-hadits yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan buruk diantaranya adalah yang diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai pada nabi SAW):
"Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
 Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada dua pandangan para ulama: pertama, seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat.
Kedua, pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.
Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan fasiq (wal 'iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam. Wallahu a'lam