Sabtu, 27 Agustus 2011

BAHAYA WAHABI MENURUT PANDANGAN ULAMA'

BAHAYA WAHABI MENURUT
PANDANGAN ULAMA’


oleh : ibnu mas'ud


Sebelum kita berbicara ancaman wahabi
kepada Islam, baik kita tengok fatwa ulama
tentang WAHABI: bukan apa takut nanti org
kata ana ni buat fitnah.
ﺎﻨﺛﺪﺣ ﺔﺒﻴﺘﻗ ﻦﺑ ﺪﻴﻌﺳ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﺚﻴﻟ ﺡ ﻭ ﻲﻨﺛﺪﺣ
ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﺢﻣﺭ ﺎﻧﺮﺒﺧﺃ ﺚﻴﻠﻟﺍ ﻦﻋ ﻊﻓﺎﻧ ﻦﻋ ﻦﺑﺍ ﺮﻤﻋ
ﻪﻧﺃ ﻊﻤﺳ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ﻮﻫﻭ
ﻞﺒﻘﺘﺴﻣ ﻕﺮﺸﻤﻟﺍ ﻝﻮﻘﻳ ﻻﺃ ﻥﺇ ﺔﻨﺘﻔﻟﺍ ﺎﻨﻫﺎﻫ ﻻﺃ ﻥﺇ
ﺔﻨﺘﻔﻟﺍ ﺎﻨﻫﺎﻫ ﻦﻣ ﺚﻴﺣ ﻊﻠﻄﻳ ﻥﺮﻗ ﻥﺎﻄﻴﺸﻟﺍ
Bahwa ia mendengar Rasulullah saw.
bersabda sambil menghadap ke arahtimur:
Ketahuilah, sesungguhnya fitnah akan
terjadi di sana!Ketahuilah , sesungguhnya
fitnah akan terjadi di sana. Yaitu
tempatmuncul tanduk setan
Al-Allamah Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan
bin Al-Quthub As- SayyidA bdullah Al-
Haddad Ba' Alawi didalam
kitabnya :"Jalaa' uzh zhalaam firrarrdil Ladzii
adhallal 'awaam" sebuah kitab yg menolak
faham wahabi, beliau r a menyebutkan
didalam kitabnya sejumlah hadits,
diantaranya ialah hadits yang diriwayatkan
oleh Abbas bin abdulMuthalib r a sbb :
"Akan keluar di abad ke- 12H nanti
(Muhammad bin Abdul Wahhab lahir 1115–
H / tepat abad 12H ) dilembah BANY
HANIFAH seorang lelaki, tingkahnya seperti
pemberontak, senantiasa menjilat (kepada
penguasa Sa'ud ) dan menjatuhkan dalam
kesusahan, pada zaman dia hidup banyak
kacau-balau , menghalalkan harta manusia,
diambil untuk berdagang dan menghalalkan
darah manusia, dibunuhnya manusia untuk
kesombongan, danini adalah fitnah,
didalamnya orang- orang yang hina dan
rendah menjadi mulia (yaitu para petualang
& penyamun digurun pasir), hawa nafsu
mereka saling berlomba tak ubahnya seperti
berlombanya (ma’ af) anjing dengan
pemiliknya".
Kemudian didalam kitab tersebut Sayyid Alwi
menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini
tiada lain ialah Muhammad bin Abdul
Wahhab dari Tamim. Oleh sebab itu hadits
tersebut mengandung suatu pengertian
bahwa Ibnu Abdul Wahhab adalah orang
yang datang dari ujung Tamim, dialah yang
diterangkan hadits Nabi Shollallohu ‘alaihi
wa sallam yang diriwayatkan oleh Al-Buhari
dari Abu Sa'id Al-Khudri r a bahwa Nabi
Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Sesungguhnya diujung negeri ini ada
kelompok kaum yang membaca Al Qur'an ,
namun tidak sampai melewati kerongkongan
mereka, mereka keluar dari agama seperti
anak panah keluar dari busurnya, mereka
membunuh pemeluk Islam dan mengundang
berhala-berhala, seandainya aku menjumpai
mereka tentulah aku akan membunuh
mereka seperti dibunuhnya kaum 'Ad.
Ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Bakar ra. didalamnya disebutkan BANY
HANIFAH, kaum Musailamah Al-Kadzdzab ,
Beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata,
"Sesungguhnya lembah pegunungan mereka
senantiasa menjadi lembah fitnah hingga
akhir masa dan senantiasa terdapat fitnah
dari para pembohong mereka sampai hari
kiamat".
Dalam riwayat lain disebutkan, "Celaka- lah
Yamamah, celaka karena tidak ada pemisah
baginya" Di dalam Kitab Misykatul Mashabih
terdapat suatu hadits berbunyi sbb, "Di
akhir zaman nanti akan ada suatu kaum
yang akan membicarakan kamu tentang apa-
apa yang belum pernah kamu
mendengarnya, begitu juga (belum pernah)
bapak-bapakmu (mendengarnya ), maka
berhati-hatilah jangan sampai menyesatkan
dan menfitnahmu".
Alloh Subhanahu wa Ta’ ala telah
menurunkan ayat Al Qur'an berkaitan
dengan BANY TAMIM (Muhammad bin
`Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin
Muhammad bin Ahmadbin Rasyid bin Barid
bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi )
sbb: "Sesungguhnya orang- orang yang
memanggil kamu dari luar kamar (mu)
kebanyakan mereka tidak mengerti". (QS . 49
Al-Hujurat : 4). (Imam Muhammad ibn
Ahmad ibn Juzayy, al-Tashil [Beirut , 1403] ,
p.702. Seealso the other tafsir works; also
Ibn Hazm, Jamharat ansab al-‘ Arab[ Cairo,
1382], 208, in the chapter on Tamim) .
Sayyid Alwi Al-Haddad mengatakan :
"Sebenarnya ayat yang diturunkan dalam
kasus BANY HANIFAH dan mencela BANY
TAMIM dan WA"IL itu banyak sekali, akan
tetapi cukuplah sebagai bukti buat anda
bahwa kebanyakan orang-orang Khawarij itu
dari mereka, demikian pula Muhammad bin
Abdul Wahhab dan tokoh pemecah belah
ummat, Abdul Aziz bin Muhammad bin
Su'ud adalah dari mereka".
Al-Allamah Syeikh Thahir Asy-Syafi 'i, telah
menulis kitab menolak faham wahabi ini
dengan judul : "AL- INTISHARU LIL AULIYA' IL
ABRAR". Dia berkata : "Mudah-mudahan
lantaran kitab ini Allah memberi mafa'at
terhadap orang- orang yang hatinya belum
kemasukan bid'ah yang dating dari Najed
(faham wahabi / salafi), adapun orang yang
hatinya sudah kemasukan maka tak dapat
diharap lagi kebahagiannnya, karena ada
sebuah hadits riwayat Buhari : 'Mereka
keluar dari agama dan tak akan kembali'.
Sedang yang dinukil sebagian kecil ulama
yang isinya mengatakan bahwa dia
(Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah
semata-mata meluruskan perbuatan orang-
orang Najed, berupa anjuran terhadap
orang-orang Badui untuk menunaikan
sholat jama'ah , meninggalkan perkara-
perkara keji dan merampok ditengah jalan,
serta menyeru kemurnian tauhid, itu semua
adalah tidak benar.
Diantara kekejaman dan kejahilan kaum
wahabi /salafi adalah meruntuhkan kubah-
kubah diatas makam sahabat-sahabat Nabi
Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang berada di
Mu'ala (Makkah ), di Baqi' & Uhud (Madinah)
semuanya diruntuhkan dan diratakan
dengan tanah dengan mengunakan dinamit
penghancur. Demikian juga kubah diatas
tanah dimana Nabi Shollallohu ‘alaihi wa
sallam dilahirkan, yaitu di Suq al-Leil di
ratakan dengan tanah dengan menggunakan
dinamit dan dijadikan tempat parkir onta,
saat ini karena gencarnya desakan akaum
muslimin international maka kabarnya
dibangun perpustakaan. Benar-benar kaum
wahabi itu golongan paling jahil diatas muka
bumi ini. Tidak pernah menghargai
peninggalan sejarah dan menghormati nilai-
nilai luhur Islam. Wallohu A’lam bish-
Showab dan semoga bermanfa’at.
Aamiin —

Selasa, 23 Agustus 2011

BAHAYA BELAJAR AGAMA LEWAT INTERNET ATAU BUKU TANPA GURU

oleh Ibnu Mas'ud


وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً (الإسراء : 36 )


“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (QS. Al-Israa’:36)


Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib berkata, “Tidak akan didapat ilmu (yang bermanfa’at-pen) kecuali dengan enam perkara......yaitu harus CERDAS, SEMANGAT, BERSABAR, MEILIKI BIAYA, MEMILIKI GURU PEMBIMBING DAN WAKTU YANG LAMA.”
Berkata Al-Kholil bin Ahmad,


الرجال أربعة رجل يدري ولا يدري أنه يدري فذاك غافل فنبهوه ورجل لا يدري ويدري أنه لا يدري فذاك جاهل فعلموه ورجل يدري ويدري أنه يدري فذاك عاقل فاتبعوه ورجل لا يدري ولا يدري أنه لا يدري فذاك مائق فاحذروه


“Orang-orang itu ada empat macam:
(1) seorang yang mengetahui dan tidak mengetahui bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang lalai maka ingatkalah ia.
(2) Dan seorang yang tidak tahu dan ia mengetahui bahwasanya ia tidak tahu, itulah orang yang jahil (bodoh) maka ajarilah ia.
(3) Dan seorang yang mengetahui dan ia tahu bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang pandai maka ikutilah.
(4) Dan seorang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwsanya ia tidak tahu, itulah orang tolol maka jauhilah dia” (Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 828)


Sudah sejak lama saya ingin membahas tentang hal ini. Baru sekarang Alloh memberi momen yang tepat. Saya menulis ini bukan supaya pembaca jadi tidak pernah lagi kirim2an artikel Islami via email, browsing web2 religius, atau dengerin lantunan Syaikh Sudais dari www.quranicaudio.com, tapi sekedar untuk mengingatkan bahwa itu saja tidak cukup. The internet is not enough [Bukan The world is not enough seperti film nya James Bond] / Internet tidak cukup (Bukan Dunia ini tidak cukup seperti Film nya James Bond).


Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam belajar agama di internet ini, menurut pengamatan saya.


1. Bahaya merasa cukup, menjadi malas bertanya langsung ke Ulama. Dengan adanya sumber yang berlimpah, maka orang mudah merasa sudah tahu, dan merasa tidak perlu lagi bertanya-tanya kepada orang yang lebih tahu. Padahal seringkali apa yang kita baca di internet tidak sepenuhnya kita pahami sebagaimana yang diinginkan oleh penulisnya. Terutama jika situasi dan kondisi penulis tidak sama dengan situasi dan kondisi pembaca. Seperti Qur’an yang terkadang hanya bisa dipahami dari asbabun nuzulnya, bukan hanya dari apa yang tertulis saja…


2. Merasa tidak perlu bersilaturrahim kepada Ulama. Ini juga menjadi penyakit yang sangat parah. Bersilaturrahiim kepada ulama tidak bisa digantikan dengan baca-baca buku dan browsing internet. Pahala duduk dalam majelis ilmu, fadhilah memandang wajah ulama, keutamaan duduk dalam majelis-majelis dzikir, manfaat mendengar bayan dan penjelasan ulama, jelas tidak bisa didapat dengan duduk berlama-lama memencet tuts keyboard dan meng-klik mouse. Dan, bersilaturrahim ini bukan hanya sekedar saat kita ingin bertanya tentang masalah hukum agama saja. Silaturrahiim kepada ulama ini memang banyak fadhilah nya. Dan untuk menanya persoalan pun, sebenarnya tidak sopan kalau cuma sms-an, tapi akan lebih ber-adab jika berkunjung dan meminta nasehat langsung. Tentu saja, untuk saat2 darurat, tidak mengapa jika terpaksa menelepon atau kirim sms…


3. Internet tidak pandai memilah-milah, mana yang penting dan mana yang tidak. Karena internet tidak pandai, lalu kemudian kita sendiri yang memilah-milah, bahan dan apa yang akan kita baca. Dan kemudian kita memilah-milah berdasarkan apa yang terjadi dan kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Masalahnya adalah, terkadang, perkara yang amat penting itu tidak kita jumpai (baca: tidak kita rasakan) dalam kehidupan sehari-hari, padahal itu ada. Akhirnya terkadang kita jadi sibuk dengan membahas perkara2 yang sebenarnya biasa-biasa aja dan melupakan perkara2 lain yang lebih penting, karena hasil googling “I’m Feeling LuckyTM” membawa kita kesana.


4. Internet itu rimba belantara. Tidak ada sesiapapun yang mengontrol benar dan salah di internet. Sebagaimana di hutan dimana yang menjadi raja adalah yang paling kuat, di belantara internet, yang menjadi raja adalah yang paling tinggi rangking google rank-nya. Kalau dalam dunia bisnis dan dunia eknomi yang memang sehari-hari berkutat dengan internet sih tidak masalah. Karena pada saat itu, benar dan salah jadi tidak ada, yang ada hanya request and demand. Tapi dalam hal agama, dimana ulama-ulama hakiki (ulama yang sesungguhnya) sedang sibuk dengan dzikir, muroqobah, dan murajaah, maka orang-orang yang merasa tahu menuliskan apa yang mereka rasa tahu dan dibaca oleh orang yang sama-sama tidak tahu, dan… begitulah. Mudahnya fasilitas forward dan copy paste juga membuat sebuah pendapat yang sebenarnya belum tentu benar, jadi terlihat benar karena ada dimana-mana. Duh..ba...ha...ya....


MENGAPA BELAJAR PERLU GURU ?
MANFAAT BERGURU adalah agar terhindar dari perkara-perkara yang SESAT & untuk mnghindari FITNAH.


Adapun fungsi GURU atau SANAD (sandaran) adalah mencegah manusia untuk berbicara semau nya / seenak Gue, atau bicara hanya berdasarkan dari kerangka otaknya doang.


DENGAN SANAD, maka Hal-hal yang diajarkan Rosululloh, terjaga keaslian isi ilmunya, tanpa ada yang dikurangi atau di tambah-tambah (DI MODIFIKASI MANUSIA).


( “laula isnada ma qola sa’a ma sa’a” = jika tanpa isnad memang orang bisa berkata apa saja yang dikehendakinya. )


Belum ada dalam sejarah seorang ulama besar lahir dari belajar kepada buku atau dari internet saja. Ilmu adalah keahlian dan setiap keahlian membutuhkan ahlinya, maka untuk mempelajarinya membutuhkan muallimnya yang ahli (guru pembimbing).


Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid berkata, “Ini hampir menjadi titik kesepakatan di antara para ulama kecuali yang menyimpang.”


Ada ungkapan, “Barangsiapa masuk ke dalam ilmu sendirian maka dia keluar sendirian.” Syaikh Bakr berkata, “Maksudnya barangsiapa masuk ke dalam ilmu tanpa syaikh maka dia keluar darinya tanpa ilmu.”


Syaikh Bakr menukil ucapan ash-Shafadi, “Jangan mengambil ilmu dari shahafi dan jangan pula dari mushafi, lalu Syaikh Bakr berkata, “Yakni jangan membaca al-Qur`an kepada orang yang membaca dari mushaf dan jangan membaca hadits dan lainnya dari orang yang mengambilnya dari buku.”


Sebagian ulama berkata,
فَيَقِيْنُهُ فِي المُشْكِلاَتِ ظُنُوْنُ مَنْ لَمْ يُشَافِهْ عَالِمًا بِأُصُوْلِهِ


Barangsiapa tidak mengambil dasar ilmu dari ulama, maka keyakinannya dalam perkara sulit adalah dugaan


Abu Hayyan berkata,
يَظُنَّ الغَمْرُ أَنَّ الكُتُبَ تَهْدِي أَخَا فَهْمٍ لإِدْرَاكِ العُلُوْمِ


Anak muda mengira bahwa buku membimbing orang yang mau memahami untuk mendapatkan ilmu
وَمَا يَدْرِي الجَهُوْلُ بِأَنَّ فِيْهَا غَوَامِضَ حَيَّرَتْ عَقْلَ الفَهِيْمِ


Orang bodoh tidak mengetahui bahwa di dalamnya terdapat kesulitan yang membingungkan akal orang
إِذَا رُمْتَ العُلُوْمَ بِغَيْرِ شَيْخٍ ضَلَلْتَ عَنِ الصِّرَاطِ المُسْتَقِيمْ


Jika kamu menginginkan ilmu tanpa syaikh, niscaya kamu tersesat dari jalan yang lurus
وَتَلْتَبِسُ الأُمُوْرُ عَلَيْكَ حَتَّى تَصِيْرَ أَضَلَّ مِنْ تُوْمَا الحَكِيْمِ


Perkara-perkara menjadi rancu atasmu sehingga kamu kebih tersesat daripada Tuma al-Hakim


Saya yakin masih banyak nomor alasan lain akan bahaya ilmu tanpa guru. Saya hanya ingin sekedar mengingatkan diri saya sendiri (dan semoga bermanfa’at untuk yang lain), agar kita sering-sering berkunjung kepada ulama, belajar agama di the real world. “Cut your wire sometime” (tapi jangan terus ganti wireless, wkwkwk…). Wallohu A’lam.


Semoga bermanfaat..... Aamiin

Senin, 22 Agustus 2011

Ada Apa dengan Wahabi?

Di tangan kaum Wahabi, wajah Islam yang lembut menjadi penuh kebencian dan caci maki, wajah yang diliputi kasih sayang menjadi penuh dendam dan hujatan…"


Selama ini orang lebih merasakan kerasnya Wahabi dalam praktek-praktek keagamaan. Namun sesungguhnya, secara garis besar, dari manhaj pemikiran Wahabi, mereka juga memiliki beberapa prinsip keberagamaan yang keras.


Pertama, kembali kepada Al-Kitab dan as-sunnah. Prinsip ini bila dilihat dari lahirnya sungguh sangat mempesona siapa pun yang tidak memiliki pengetahuan terhadap syari’at yang didapat dari para ulama dan imam-imam mujtahid. Namun sayangnya, pada hakikatnya mereka hanya menyeru umat untuk?




Kedua, meninggalkan pendapat jumhur (mayoritas) ulama bahkan ijma' (konsensus) ulama umat Islam. Bila demikian halnya sesungguhnya mereka tidak lain?


Ketiga, memahami Al-Kitab dan as-sunnah hanya berdasarkan pemahaman diri sendiri, yang sudah pasti bersumber dari hawa nafsu. Sehingga dengan prinsip ini mereka selalu berusaha sekuat tenaga untuk?


Keempat, memaksa orang lain hanya mengikuti pemahaman yang mereka miliki karena menganggap hanya pemahaman merekalah yang benar sedangkan yang lain salah, meskipun itu datang dari mayoritas ulama dan imam-imam mujtahid umat Islam. Dan pada akhirnya?


Kelima, menganggap sesat siapa pun yang tidak sepaham dengan mereka bahkan dengan mudah mengkafirkannya.


Di samping itu, ada pula fakta-fakta lain yang juga berbahaya. Antara lain, Syaikh Al-Qanuji dalam kitabnya Ad-Dinul Khalish, jilid pertama, halaman 140, menjelaskan, “Taqlid terhadap madzhab termasuk bagian dari kesyirikan.”


Dengan demikian, berdasarkan pernyataan tersebut, umat Islam saat ini secara keseluruhan adalah kafir, karena mengikuti madzhab yang empat.


Syaikh Ali bin Muhammad bin Sinan dalam kitabnya Al-Majmu` Al-Mufid min `Aqidah At-Tawhid, halaman 55, menyatakan, “Wahai seluruh kaum muslimin, keislaman kalian tidak akan membawa guna, kecuali jika kalian mengumandangkan perang yang membabi buta terhadap thariqah tasawuf hingga lenyap, perangilah mereka sebelum kalian memerangi Yahudi dan Majusi.”


Dalam kitab I`shar At-Tawhid, Syaikh Nabil Muhammad mengatakan, “Tasawuf, para pengikut thariqah, dan para penduduk negara-negara Islam seperti Mesir, Libya, Maroko, India, Iran, Asia Barat, Syam, Nigeria, Turki, Romawi, Afganistan, Turkistan, Cina, Sudan, Tunisia, dan Al-Jazair adalah orang-orang kafir.”


Syaikh Hassan Al-`Aqqad dalam kitabnya Halaqat Mamnu`ah, halaman 25, menyatakan, “Kafir orang yang membaca shalawat untuk Nabi sebanyak 1.000 kali atau mengucapkan La ilaha illallah sebanyak 1.000 kali.”


Masih banyak fakta berbahaya yang lain




sumber http://majalah-alkisah.com/

Minggu, 21 Agustus 2011

Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan


Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (2) : dalil Waktu sahur dan Imsyak
Diantara Fitnah wahhaby dibulan Ramadhan :
  1. Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan bahkan Ibnu Taymiyahjuga fatwakan tarawih 20 rekaat
  2. Wahaby Mensyariatkan  Makan Sahur sampai mendekati waktu iqamat shalat subuh dengan dalih mengakhirkan sahur.
  3. WahabyMembid’ahkan Niat Puasa Wajib di Bulan Ramadhan
  4. Wahaby Membid’ahkan amalan membangunkan sahur dan shalat malam
  5. Wahaby Membid’ahkan membaca shalawat kepada nabi dan shahabat selepas shalat tarawih
  6. Wahaby Membid’ahkan komando diantara shalat tarawih
  7. wahaby Membid’ahkan tadarus dibulan ramadhan
  8. Wahaby Membid’ahkan ziarah kubur dibulan ramadhan
Dibulan ramadhan yang penuh berkah ini, Allah Subhanahu wata’ala melipat gandakan pahala amalan sunnah  sehingga menjadi seperti pahala amalan wajib. Sedangkan amalan wajib  adalah seumpama menunaikan 70 amalan wajib (fardhu) dibulan yang lain (Mafhum hadits dari Salman Ra. hadits Riwayat Imam baihaqi, Ibnu Hibban, Ibnu khuzaimah, al-ashbahani, dalam kitab shahihnya dsb).
Maka umat islam berbondong-bondang melakukan amalan-amalan sunnah pada bulan ramadhan ini. Malangnya musuh islam wahhaby menyebarkan fitnah dan membidahkan amalan umat islam (Lihat artikel sesat wahaby Majalah Al-Furqon, Edisi Khusus Th. Ke -9 Romadhon-Syawal 1430 H (September dan Oktober 2009) hal. 35-38. dan kitab sesat  “Qiyamu Ramadhan”, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu˜alaihi wa sallam , Penerjemah :  Qomar Suâ’aidi,  Cetakan Pertama, Penerbit Cahaya Tauhid Press))
Hamba yang dhaif ini mencoba membuat  bantahan terhdap fitnah wahaby dibulan ramadhan, bagi anda yang lebih alim dan lebih teliti lagi mungkin akan menemukan lebih banyak lagi dalil-dalil untuk membantah fitnah keji kaum mujasimmah wahhaby badwi najd ini.
I. Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan
Menurut pendapat jumhur iaitu mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali: 20 rakaat (selain Sholat Witir) berdasarkan ijtihad Sayyiduna Umar bin Khattab. Menurut mazhab Maliki: 36 rakaat berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Imam Malik dalam beberapa riwayat memfatwakan 39 rakaat[6]. Walau bagaimana pun, pendapat yang masyhur ialah mengikut pendapat jumhur bahkan ibnu taymiyah juga tarawih 20 rekaat!!!. Lihat dalam kitab fiqh 4 madzab dibawah ini :
Dalam Kitab “shalat tarawih 20 rekaat karya mufti mesir juga disebutkan seperti diatas :


Di Sisi Syafeiyyah bilangan raka’at terawih adalah 20 rakaat dan bukan 8 sebgaimana yang digembar-gemburkan oleh Mutasyaddid(pelampau) wahabi !

Didalam muka surat ini pula dijelaskan kenyataan Ibnu Hajar yang menyatakan di sisi kami selain ahli Madinah adalah 20 raka’at.sementara Ahli Madinah melakukan mereka itu dengan 36 raka’at.
Ibnu Taymiyah yang katanya imam badwi Najd wahaby juga fatwakan tarawih 20 rekaat :
Bacalah sendiri penulisan Dr Ali Juma’ah tantang terawih .Nak terjemahkan kurang masa.Walaubagaimana pun telah ana jelaskan dalam tajuk Terawih 20 rakaat. Didalam penulisan Dr Ali Jumaah juga menyatakan Ibnu Taimiyyah yang didokong oleh golongan MUTASYADDID(pelampau) juga memfatwakan bilangan rakaat terawih 20 rakaat.
Untuk dalil-dalil dalam perkara ini lihat pada artikel ini di bagian pertama.
http://salafytobat.wordpress.com/2009/09/04/fitnah-dan-bid%E2%80%99ah-wahaby-salafy-palsu-di-bulan-ramadhan-1/
II. Wahaby Mensyariatkan  Makan Sahur pada saat fajar sidiq telah tiba (sampai mendekati waktu iqamat shalat subuh dengan dalih mengakhirkan sahur).
Wahaby mentafsirkan makna hadits “mengakhirkan sahur” dengan makna :
mensyariatkan makan sahur sehingga lewat fajar sidiq bahkan mendekati waktu iqamat shalat subuh!
Padahal waktu puasa yang sebenarnya adalah dari terbit fajar sidiq sampai terbenam matahari sehingga menurut  imam madzab manapun akan batal puasa orang yang menyengaja makan setelah tahu fajar sidiq sudah tiba.
Adapun beberapa riwayat tentang sahabat yang masih makan sahur sewaktu adzan subuh adalah :
-          Kita pahami Mereka (para sahabat) memulai sahur sebelum adzan subuh (sebelum fajar sidiq) tetapi saat adzan subuh dikumandangkan mereka masih belum selesai makan. Jadi mereka secepatnya menghabiskan makanan tersebut. Bukan menyengaja memulai makan setelah tahu fajar sidiq telah datang. Hati-hatilah dengan tafsiran ahlul hawa khawarij wahhaby!
Dalil-dalil Waktu Sahur dan Hukum Imsak
  1. Firman Allah:”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”. (QS. 2:187).2. HR. Bukhari:Dari Sahl bin Sa’d, ia mengatakan: “diturunkan oleh Allah ayat ” .. dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” dan belum diturnkan kalimat “yaitu fajar [minal fajr]“, maka masyarakat kalau ingin melaksanakan puasa, salah satu diantara mereka mengaitkan benang putih dan benang hitam, dan mereka meneruskan makan hingga terang bagi mereka keduanya. Lalu Allah menurunkan kalimat “minal fajr, yaitu fajar”, maka mereka tahu, bahwa yang dimaksud adalah malam dan siang.3. HR. Turmudzi:Dari Samurah bin Jundub ra, ia mengatakan: RasululLah SAW mengatakan: Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian, dan juga fajar yang memanjang, akan tetapi [yang melerai adalah] fajar yang menyebar di ufuk.4. HR. Bukhari:Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi SAW, ia mengatakan: Janganlah adzan Bilal mencegah salah satu di antara kalian dari makan sahurnya , karena ia mengumandangkan adzan di tengah malam, untuk mengingatkan di antara kalian yang bangun dan untuk membangunkan di antara kalian yang tidur.5. HR. Bukhari:
    .
    Dari ‘Aisyah ra, dari Nabi SAW, ia mengatakan: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq” [9] (HR. Bukhari no. 1918, 1919)..
6. HR. Bukhary Muslim
diriwayatkan dari Anas radliyallaahu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit bahwa dia pernah berkata :
”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami berangkat shalat (shubuh). Maka aku (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur? Ia (Zaid) menjawab : خمسين آية (kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” (HR. Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Berdasarkan hadits No. 5, maka inilah waktu yang paling tepat untuk berhenti makan atau sahur yaitu kadar membaca 50 ayat al-quran (dengan tartil dan wajar) sebelum adzan subuh (pada zaman nabi adzan ummi maktum).
Jadi pada zaman rasulullah ada dua adzan yaitu adzan bilal untuk membangunkan manusia agar shalat tahajud dan sahur, serta yang kedua adzan ummi maktum untuk shalat subuh.
Inilah salah satu dasar waktu imsak (waktu yang meragukan antara malam dengan fajar sidiq) yang mana seorang muslim akan berhati-hati atas perkara yang subhat ini.
taqrir003.0
Habib Hasan bin Ahmad bin Saalim al-Kaaf menyebut dalam “at-Taqriiraat as-Sadiidah fil Masaa-ilil Mufiidah” yang merupakan talkhish daripada ajaran guru-guru beliau terutama sekali al-’Allaamah al-Faqih al-Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin Zain BinSmith, pada halaman 444 menyatakan, antara lain:-
و يمسك ندبا عن الأكل قبل الفجر بنحو خمسين آية – ربع ساعة
…”Dan imsak daripada makan (yakni bersahur) itu mandub (disunnatkan) sebelum fajar kira-kira sekadar pembacaan 50 ayat ( sekadar seperempat jam @ 15 minit)”. Yakni seseorang itu disunnatkan melakukan imsak sebelum fajar kira-kira 15 minit atau kadar pembacaan 50 ayat yang sederhana dengan kelajuan yang sederhana. Inilah yang dimaksudkan oleh ulama kita sebagai waktu imsak yang disunnatkan sebagai langkah berhati-hati dan mengikut sunnah Junjungan Nabi s.a.w. Sedangkan imsak setelah masuk fajar adalah wajib. Oleh itu seseorang masih boleh makan-minum selepas waktu imsak tadi selagi mana waktu Subuh belum masuk kerana imsak pada waktu itu dihukumkan sunnat. Tidaklah benar dakwaan yang dibuat oleh Hafiz Firdaus & the gang yang menyatakan bahawa menetapkan waktu imsak beberapa minit sebelum fajar itu sebagai bid`ah dan tidak punya dasar dalam Islam. Ukuran minit-minit tersebut diambil daripada kadar pembacaan 50 ayat tersebut, yang merupakan kadar yang dinyatakan dalam beberapa hadits shohih sebagai senggang waktu antara sahur Junjungan s.a.w. dengan masuknya sholat. Antara hadits-haditsnya ialah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari berbunyi:-
عَنْ أنس عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال تَسَحَّرْناَ مع النبي صلى الله عليه و سلم ثم قام إلى الصلاة. قلت: كم كان بين الأذانِ و السُّحُوْرِ؟ قال: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيةً
Daripada Sayyidina Anas meriwayatkan bahawa Sayyidina Zaid bin Tsabit r.a. berkata: “Kami telah makan sahur bersama-sama Junjungan Nabi s.a.w., kemudian baginda bangun mengerjakan sembahyang. Sayyidina Anas bertanya kepada Sayyidina Zaid:- “Berapa lamanya antara azan (Subuh) dengan masa makan sahur itu ?” Dia menjawab: “Kira-kira sekadar membaca 50 ayat.”
Hadis ini menunjukkan bahawa jarak atau senggang masa antara bersahurnya Junjungan s.a.w. dan azan Subuh ialah kira-kira 50 ayat. Sekali-kali ianya tidak membawa makna yang Junjungan s.a.w. makan sahur sehingga berkumandang azan Subuh, yang jelas ialah ia menyatakan bahawa Junjungan bersahur dan berhenti kira-kira kadar pembacaan 50 ayat sebelum masuk waktu Subuh. Inilah yang difahami oleh para ulama kita sehingga menetapkan kesunnahan berimsak dalam kadar pembacaan 50 ayat tersebut yang dianggarkan pada kadar 10 – 15 minit. Senggang masa antara sahur dan masuk fajar (azan subuh) yang dinamakan sebagai waktu imsak yang dihukumkan sunnat imsak (menahan diri daripada perkara membatalkan puasa), diperjelaskan lagi dalam sepotong hadits yang juga riwayat Imam al-Bukhari berbunyi:-
عَنْ أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم و زيد بن ثابت تَسَحَّرَا، فلما فرغا من سحورهما قام نبي الله صلى الله عليه و سلم فصلى. قلنا لأنس: كم كان بين فراغهما من سحورهما و دخولهما في الصلاة ؟
قال: قدر ما يقرأ الرجل خَمْسِيْنَ آيةً
Daripada Sayyidina Anas bin Malik r.a. bahawa Junjungan Nabi s.a.w. bersahur bersama-sama dengan Sayyidina Zaid bin Tsabit. Apabila kedua mereka selesai daripada sahur mereka, baginda bangun mendirikan sembahyang. Kami bertanya kepada Anas: “Berapa lamakah masa (senggang waktu) di antara selesai mereka berdua daripada sahur dan masuk mereka berdua kepada sembahyang (yakni “berapa lamakah masa antara selesai Junjungan dan Zaid bersahur dan masuknya waktu sholat Subuh”). Dia menjawab: “Sekadar 50 ayat yang dibacakan seseorang.”
7. Mukmin wajib meninggalkan perkara yang subhat
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ                                                        [رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah e bersabda: Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “.                        (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Dari nash-nash di atas, ada beberapa kesimpulan sebagai berikut:
[1] Waktu berakhirnya sahur [mulai berpuasa] adalah terbitnya fajar yang menyebar di ufuk, yang dalam fikih disebut sebagai “fajar shadiq”, bukan fajar yang memanjang vertikal, yang dalam fikih dinamai “fajar kadzib”.
Fajar kadzib adalah terangnya ufuk secara vertikal, yang beberapa menit kemudian diikuti oleh kegelapan kembali. Sementara fajar shadiq adalah fajar yang semakin lama semakin terang hingga matahari terbit.
[2] Sebelum turun kalimat “minal fajr, [yaitu fajar]“, sebagian sahabat ada yang mengira, bahwa yang dimaksud dari ayat di muka adalah terangnya pagi hingga tampak jelas perbedaan antara benang putih dan benang hitam. Baru setelah turunnya kalimat tsb, mereka mengerti bahwa yang dimaksud adalah terbitnya fajar. Jadi sejak terbitnya fajar, puasa telah dimulai.
[3] Pada masa Nabi SAW, ada dua adzan yang dikumandangkan di pagi buta. Pertama adzannya Bilal ra. sebelum terbit fajar, untuk membangunkan mereka yang tidur, dan untuk mengingatkan mereka yang telah bangun akan dekatnya fajar. Karena itu, Nabi memberitahukan kepada para sahabat, bahwa adzan Bilal tidak untuk mengumandangkan datangnya subuh atau terbitnya fajar, dus, tidak merupakan peringatan mulainya berpuasa. “Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian”.
Adzan kedua adalah adzannya Ibnu Ummi Maktum, yang dikumandangkan saat terbitnya fajar. Dan ini adalah waktu di mulainya berpuasa.
[4] Fajar kadzib dan fajar shadiq adalah gejala alam seperti halnya terbitnya mega merah di ufuk barat [pertanda waktu Maghrib], condongnya matahari ke barat [pertanda waktu Dzuhur], dan gejala-gejala alam lainnya. Gejala-gejala alam ini, sejak lama sekali telah dapat diketahui melalui ilmu falak [astronomi], sehingga untuk mengetahuinya tidak perlu melalui pengamatan alam secara langsung. Fajar misalnya, untuk mengetahuinya tidak perlu kita keluar ke alam bebas, kemudian mengamatinya dengan mata telanjang, akan tetapi cukup dengan memanfaatkan kemajuan di bidang astronomi.
Karena itu, penentuan waktu salat kita, dan juga waktu imsak puasa kita, selama ini secara keseluruhan memakai standar ilmu falak, bukan melalui pengamatan alam secara langsung. Dan pada kenyataannya, penentuan ini lebih akurat dan lebih bisa dipertanggungjawabkan ketimbang pengamatan secara langsung tsb.
[5] Ilmu Falak yang banyak berkembang di penanggalan kita masih bersifat “taqdiry”, atau bersifat perkiraan, belum mampu menetapkan waktu dengan keakuratan 100 %. Masih terdapat keragu-raguan sekitar satu hingga dua menitan dari waku faktualnya. Karena itu, dalam penanggalan yang banyak berkembang di negara kita, terdapat waktu “ihtiyath”, waktu preventif atau jaga-jaga. Misalnya, waktu dzuhur: sesuai dengan ketentuan ilmu falak yang ada, adalah jam 12:00. Akan tetapi karena keakuratannya belum mampu mancapai 100 %, maka dalam penanggalan ditambahi lima menit. Jadi yang tercatat dalam penanggalan adalah 12:05, dengan asumsi ada waktu preventif 5 menit. Begitu pula waktu-waktu salat lainnya, ada penambahan antara tiga hingga lima menit dalam catatan di penanggalan.
[6] Dengan asumsi waktu preventif 5 menit, maka waktu subuh [terbitnya fajar] yang mestinya jatuh pada jam 4:30 [misalnya], menjadi jatuh pada jam 4:35 dalam pencatatan di penanggalan. Waktu yang sama, yakni terbitnya fajar, jika digunakan untuk menentukan mulainya berpuasa, maka akan terjadi pengajuan jam, dari jam 4:30 menjadi 4:20, dengan asumsi waktu preventif imsak 10 menit. Kalau waktu preventifnya adalah lima menit, maka waktu imsak sebagaimana dalam penanggalan adalah 4:25.
Dengan menghitung dua waktu preventif sekaligus, yakni preventif subuh dan preventif imsak, maka bisa dimengerti kalau jarak antara waktu imsak dan adzan subuh adalah 10 hingga 15 menit. Secara teoritik, mestinya waktu subuh dan waktu imsak adalah sama, yakni terbitnya fajar shadiq, akan tetapi dalam kenyataan yang tertulis dalam penanggalan bisa terpaut antara 10 hingga 15 menit.
Dengan melihat keterangan-keteranan ini, sebaiknya dalam berimsak mengikuti penanggalan yang ada. Akan tetapi jika terpaksa, bisa saja meneruskan makan dan minum hingga mendekati adzan subuh sekitar 5 menitan.
Demikian, semoga membantu.

Sabtu, 20 Agustus 2011

BETULKAH NASHIRUDIN AL-ALBANI AHLI HADITS ?






Oleh Ibnu Mas'ud
Di kalangan salafi (wahabi), lelaki satu ini dianggap muhaddits paling ulung di zamannya. Itu klaim mereka. Bahkan sebagian mereka tak canggung menyetarakannya dengan para imam hadis terdahulu. Fantastis. Mereka gencar mempromosikannya lewat berbagai media. Dan usaha mereka bisa dikata berhasil. Kalangan muslim banyak yang tertipu dengan hadis-hadis edaran mereka yang di akhirnya terdapat kutipan, “disahihkan oleh Albani, ”. Para salafi itu seolah memaksakan kesan bahwa dengan kalimat itu Al-Albani sudah setaraf dengan Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah dan lainnya.


Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”). Bahkan ketika ia diminta oleh seseorang untuk menyebutkan 10 hadits beserta sanadnya, ia dengan entengnya menjawab, “Aku bukan ahli hadits sanad, tapi ahli hadits kitab.” Si peminta pun tersenyum kecut, “Kalau begitu siapa saja juga bisa,” tukasnya.


Namun demikian dengan over pede-nya Albani merasa layak untuk mengkritisi dan mendhoifkan hadis-hadis dalam Bukhari Muslim yang kesahihannya telah disepakati dan diakui para ulama’ dari generasi ke generasi sejak ratusan tahun lalu. Aneh bukan?.


Siapakah Nashirudin al- Albani?


Dia lahir di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M dan meninggal dunia pada tanggal 21 Jumadal Akhirah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania. Pada masa hidupnya, sehari-hari dia berprofesi sebagai tukang reparasi jam. Dia memiliki hobi membaca kitab-kitab khususnya kitab-kitab hadits tetapi tidak pernah berguru kepada guru hadits yang ahli dan tidak pernah mempunyai sanad yang diakui dalam Ilmu Hadits.


Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah, meskipun begitu dia berani mentashih dan mentadh’iftan hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadh’ifkan hadits adalah tugas para hafidz (ulama ahli hadits yg menghapal sekurang-kurangnya seratus ribu hadits).
Namun demikian kalangan salafi menganggap semua hadits bila telah dishohihkan atau dilemahkan Albani mereka pastikan lebih mendekati kebenaran.


Penyelewengan Albani


Berikut diantara penyimpangan-penyimpangan Albani yang dicatat para ulama’


1) Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dia sebutkan dalam kitabnya berjudulAlmukhtasar al Uluww hal. 7, 156, 285.
2) Mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan para nabi dan orang-orang soleh seperti dalam kitabnya “at-Tawassul” .
3) Menyerukan untuk menghancurkan Kubah hijau di atas makam Nabi SAW (Qubbah al Khadlra’) dan menyuruh memindahkan makam Nabi SAW ke luar masjid sebagaimana ditulis dalam kitabnya“Tahdzir as-Sajid” hal. 68-69.
4) Mengharamkan penggunaan tasbih dalam berdzikir sebagaimana dia tulis dalam kitabnya “Salsalatul Ahadits Al-Dlo’ifah” hadits no: 83.
5) Mengharamkan ucapan salam kepada Rasulullah ketika shalat dg kalimat “Melarang Assalamu ‘alayka ayyuhan-Nabiyy”. Dia berkata: Katakan “Assalamu alan Nabiyy” alasannya karena Nabi telah meninggal, sebagaimana ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul “Sifat shalat an-Nabi”.
6) Memaksa umat Islam di Palestina untuk menyerahkan Palestina kepada orang Yahudi sebagaimana dalam kitabnya “Fatawa al Albani”.
7) Dalam kitab yang sama dia juga mengharamkan Umat Islam mengunjungi sesamanya dan berziarah kepada orang yang telah meninggal di makamnya.
8) Mengharamkan bagi seorang perempuan untuk memakai kalung emas sebagaimana dia tulis dalam kitabnya “Adaab az-Zafaaf “,
9) Mengharamkan umat Islam melaksanakan solat tarawih dua puluh raka’at di bulan Ramadan sebagaimana ia katakan dalam kitabnya “Qiyam Ramadhan” hal.22.
10) Mengharamkan umat Islam melakukan shalat sunnah qabliyah jum’at sebagaimana disebutkan dalam kitabnya yang berjudul “al Ajwibah an-Nafiah”.


Ini adalah sebagian kecil dari sekian banyak kesesatannya, dan Alhamdulillah para Ulama dan para ahli hadits tidak tinggal diam. Mereka telah menjelaskan dan menjawab tuntas penyimpangan-penyimpangan Albani. Diantara mereka adalah:


1. Muhaddits besar India, Habibur Rahman al-’Adhzmi yang menulis “Albani Syudzudzuhu wa Akhtha-uhu” (Albani, penyimpangan dan kesalahannya) dalam 4 jilid;
2. Dahhan Abu Salman yang menulis “al-Wahmu wath-Thakhlith ‘indal-Albani fil Bai’ bit Taqshit” (Keraguan dan kekeliruan Albani dalam jual beli secara angsuran);
3. Muhaddits besar Maghribi, Syaikh Abdullah bin Muhammad bin as-Siddiq al-Ghumari yang menulis“Irgham al-Mubtadi` ‘al ghabi bi jawazit tawassul bin Nabi fil radd ‘ala al-Albani al-Wabi”; “al-Qawl al-Muqni` fil radd ‘ala al-Albani al-Mubtadi`”; “Itqaan as-Sun`a fi Tahqiq ma’na al-bid`a”;
4. Muhaddits Maghribi, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin as-Siddiq al-Ghumari yang menulis “Bayan Nakth an-Nakith al-Mu’tadi”;
5. Ulama Yaman, ‘Ali bin Muhammad bin Yahya al-’Alawi yang menulis “Hidayatul-Mutakhabbitin Naqd Muhammad Nasir al-Din”;
6. Muhaddits besar Syria, Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah yang menulis “Radd ‘ala Abatil wal iftira’at Nasir al-Albani wa shahibihi sabiqan Zuhayr al-Syawish wa mu’azirihima” (Penolakan terhadap kebatilan dan pemalsuan Nasir al-Albani dan sahabatnya Zuhayr al-Syawish serta pendukung keduanya);
7. Muhaddits Syria, Syaikh Muhammad ‘Awwama yang menulis “Adab al-Ikhtilaf” dan “Atsar al-hadits asy-syarif fi ikhtilaf al-a-immat al-fuqaha”;
8. Muhaddits Mesir, Syaikh Mahmud Sa`id Mamduh yang menulis “Tanbih al-Muslim ila Ta`addi al-Albani ‘ala Shahih Muslim” (Peringatan kepada Muslimin terkait serangan al-Albani ke atas Shahih Muslim) dan “at-Ta’rif bil awham man farraqa as-Sunan ila shohih wad-dho`if” (Penjelasan terhadap kekeliruan orang yang memisahkan kitab-kitab sunan kepada shohih dan dho`if);
9. Muhaddits Arab Saudi, Syaikh Ismail bin Muhammad al-Ansari yang menulis “Ta`aqqubaat ‘ala silsilat al-ahadits adh-dha`ifa wal maudhu`a lil-Albani” (Kritikan atas buku al-Albani “Silsilat al-ahadits adh-dha`ifa wal maudhu`a”); “Tashih Sholat at-Tarawih ‘Isyriina rak`ataan war radd ‘ala al-Albani fi tadh`ifih”(Kesahihan tarawih 20 rakaat dan penolakan terhadap al-Albani yang mendhaifkannya); “Naqd ta’liqat al-Albani ‘ala Syarh at-Tahawi” (Sanggahan terhadap al-Albani atas ta’liqatnya pada Syarah at-Tahawi”;
10. Ulama Syria, Syaikh Badruddin Hasan Diaab yang menulis “Anwar al-Masabih ‘ala dhzulumatil Albani fi shalatit Tarawih”.


Hendaknya seluruh umat Islam tidak gegabah menyikapi hadits pada buku-buku yang banyak beredar saat ini, terutama jika di buku itu terdapat pendapat yang merujuk kepada Albani dan kroni-kroninya. Wallohu A’lam bish-Showab.


Semoga bermanfa’at untuk kehati-hatian dalam mengambil ilmu dan ulama’. Aamiin

Senin, 15 Agustus 2011

Contoh bid'ah dlolalah dan hasanah

oleh  Zon Jonggol



 
Alhamdulillah, pagi ini ada yang bertanya tentang contoh bid'ah dlolalah dan hasanah telah menginspirasi kami menuliskan tulisan kali ini.

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS adz Dzariyat [51]:56 )

Oleh karenanya segala bentuk perilaku / perbuatan, akhlak, hati, pikiran, semuanya, seharusnyalah untuk beribadah kepada-Nya.

Ibadah terdiri dari dua kategori yakni amal ketaatan dan amal kebaikan.

Amal ketaatan adalah ibadah yang terkait dengan menjalankan kewajibanNya (perkara kewajiban) dan menjauhi laranganNya (perkara larangan dan pengharaman).
Amal ketaatan adalah perkara mau tidak mau harus kita jalankan atau kita taati.
Amal ketaatan jika tidak dijalankan atau ditaati akan mendapatkan akibat/ganjaran baik ganjaran baik atau pahala maupun ganjaran buruk atau dosa.
Amal ketaatan adalah bukti ketaatan atau “bukti cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Amal ketaatan dikenal juga sebagai perkara syariat artinya syarat yang harus dipenuhi atau ditaati sebagai hamba Allah Azza wa Jalla.

Amal kebaikan adalah ibadah diluar amal ketaatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Amal kebaikan adalah perkara yang dilakukan atas kesadaran kita sendiri untuk meraih kecintaan atau keridhoan Allah Azza wa Jalla.
Amal kebaikan adalah ibadah yang jika tidak dilakukan tidak berdosa.
Amal kebaikan adalah “ungkapan cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Amal kebaikan adalah upaya kita untuk mendekatkan diri  kepada Allah Azza wa Jalla.

Bid'ah dlolalah adalah bid'ah dalam amal ketaatan, bid'ah dalam perkara kewajiban, larangan dan pengharaman.
Bid'ah hasanah/mahmudah adalah bid'ah (perkara baru)  di luar amal ketaatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits.  

Imam as Syafi’i ~rahimullah membolehkan perkara baru dalam amal kebaikan (amal sholeh), dikatakan beliau sebagai, “apa yang baru terjadi dari kebaikan“
Imam Asy Syafi’i ~rahimullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”

Contoh bid'ah dlolalah dan hasanah antara lain

1. Jika berkeyakinan bahwa tidak mengikuti peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah berdosa, atau sebaliknya berkeyakinan bahwa mengikuti peringatan Maulid Nabi adalah berdosa  termasuk bid'ah dlolalah.

Penetapan larangan  yang tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah kejahatan (bid'ah dlolalah)
Sungguh sebesar-besarnya kejahatan diantara kaum muslimin adalah orang yang mempermasalahkan hal yang tidak diharamkan/dilarang, kemudian menjadi diharamkan/dilarang karena ia mempermasalahkannya“. (HR. al-Bukhari)

Betul! Tetapi mereka itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

2. Jika berkeyakinan bahwa sholat Tarawih adalah kewajiban dalam bulan Ramadhan atau berkeyakinan tidak melaksanakan sholat Tarawih adalah berdosa, termasuk bid'ah dlolalah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghindari bid'ah dlolalah dalam perkara kewajiban
Rasulullah bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687)
Selengkapnya,
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam berkata, telah mengabarkan kepada kami'Abdah dari Yahya bin Sa'id Al Anshari dari 'Amrah dari 'Aisyah berkata, "Pada suatu malam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat di kamarnya, saat itu dinding kamar beliau tidak terlalu tinggi (pendek) hingga orang-orang pun melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri shalat sendirian. Orang-orang itu pun berdiri dan shalat di belakang beliau, hingga pada pagi harinya orang-orang saling memperbincangkan kejadian tersebut. Kemudian pada malam keduanya beliau kembali shalat, dan orang-orangpun mengikuti shalat beliau kembali. Mereka melakukan ini selama dua atau tiga malam hingga setelah malam itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam duduk di rumahnya dan tidak keluar melaksanakan shalat seperti malam sebelumnya. Pada pagi harinya orang-orang mempertanyakannya, lalu beliau bersabda: "Aku khawatir bila shalat malam itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian." (HR Bukhari 687)

Oleh karenanya kita sebaiknya berkeyakinan bahwa sholat Tarawih adalah amal kebaikan selama bulan Ramadhan bukan amal ketaatan.

3. Jika seorang ustadz memberikan untaian doa/dzikir kepada muridnya dan menyampaikan adanya kewajiban berdoa dengan untaian doa/dzikir tersebut  atau  jika muridnya tidak berdoa dengan untaian doa/dzikir tersebut maka ia berdosa, termasuk bid'ah dlolalah.

Dosa/keburukan adalah sesuatu yang mendekatkan/mengakibatkan neraka
Pahala/kebaikan adalah sesuatu yang mendekatkan/mendapatkan surga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)

Pada hakikatnya bid'ah dlolalah adalah mengada-ada atau membuat perkara baru dalam perkara kewajiban, larangan dan pengharaman.

Selama berkeyakinan terhadap perkara baru di luar amal ketaatan yakni di luar perkara menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan (larangan dan pengharaman) sebagai amal kebaikan dan selama perkara baru tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka hal itu adalah kebaikan.

4.  Azan kedua atau adzan sebelum adzan sholat Jum'at yang diperkenalkan oleh Sayyidina Ustman radliallahu 'anhu selama diyakini sebagai amal kebaikan bukan bagian dari amal ketaatan sholat jum'at maka hal itu adalah kebaikan.

Telah menceritakan kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b dariAz Zuhri dari As Sa'ib bin Yazid berkata, Adzan panggilan shalat Jum'at pada mulanya dilakukan ketika imam sudah duduk di atas mimbar. Hal ini dipraktekkan sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar dan 'Umar radliallahu 'anhuma. Ketika masa 'Utsman radliallahu 'anhu dan manusia sudah semakin banyak, maka dia menambah adzan ketiga   di Az Zaura'. Abu 'Abdullah berkata, Az Zaura' adalah bangunan yang ada di pasar di Kota Madinah. (HR Bukhari 861)

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin Abu Salamah Al Majisyun dari Az Zuhri dari As Sa'ib bin Yazid, Sesungguhnya orang yang menambah adzan ketiga pada shalat Jum'at adalah 'Utsman bin 'Affan radliallahu 'anhu, ketika penduduk Madinah semakin banyak. Dan tidak ada mu'adzin bagi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kecuali satu. Dan adzan shalat Jum'at dilaksanakan ketika Imam sudah duduk, yakni duduk di atas mimbar. ( HR Bukhari 862 )

Dikatakan adzan ketiga karena adzan setelah khatib naik mimbar dan iqamah dihitung dua.

Sayyidina Ustman ra memperkenalkan adzan ketiga ketika jumlah kaum muslim di Madinah telah bertambah banyak guna memberikan kesempatan kepada kaum muslim untuk bersiap-siap seperti memenuhi Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti berikut,

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Muhammad bin Asma' berkata, telah mengabarkan kepada kami Juwairiyah bin Asma' dari Malik dari Az Zuhri dari Salim bin 'Abdullah bin 'Umar dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma, bahwa ketika 'Umar bin Al Khaththab berdiri khuthbah pada hari Jum'at, tiba-tiba ada seorang laki-laki Muhajirin Al Awwalin (generasi pertama), sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, masuk (ke dalam Masjid). Maka 'Umar pun bertanya, "Jam berapakah ini?" Sahabat tersebut menjawab, " Aku sibuk, dan aku belum sempat pulang ke rumah  hingga akhirnya aku mendengar adzan dan aku hanya bisa berwudlu." Umar berkata, "Hanya berwudlu' saja! Sungguh kamu sudah mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk mandi (di hari Jum'at)." (HR Bukhari)

5.  Selama berkeyakinan bahwa salam-salaman setelah mengucapkan salam pada amal ketaatan sholat wajib selama berkeyakinan sebagai amal kebaikan bukan sebagai bagian dari amal ketaatan sholat wajib maka hal itu adalah kebaikan.

Oleh karenanya hal yang sebaiknya kita ingat selalu bahwa jika ulama hendak menetapkan atau berfatwa sehubungan perkara kewajiban, larangan dan pengharaman maka wajib mengikuti atau “turunan” dari apa yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan karena perekara kewajiban, larangan dan pengharaman hanyalah hak Allah Azza wa Jalla semata.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

Jika ulama menetapkan atau berfatwa dalam perkara amal ketaatan tanpa dalil dari Al Qur’an dan Hadits maka jelaslah mereka terperosok atau terjerumus dalam bid’ah dlolalah. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada

Kenapa mengada-ada atau membuat perkara baru dalam perkara yang menjadi hak Allah Azza wa Jalla berupa penetapan kewajiban, larangan dan pengharaman adalah bid'ah dlolalah, kesesatan yang akan bertempat di neraka ?

Karena mengada-ada atau menetapkan kewajiban, larangan dan pengharaman yang tidak pernah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla maupun tidap pernah disampaikan/dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah bentuk penyembahan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Penyembahan diantara manusia yang menetapkan dan yang mengikutinya.

Betul! Tetapi mereka itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/03/bentuk-penyembahan/