Jumat, 04 Mei 2012

Al albani tidak konsisten dalam memutuskan sesuatu

Nashiruddin al-Albani Kontradiktif di dalam
Menetapkan Status Hukum Perawi
Pada sebuah riwayat yang menjelaskan tentang
sebuah dalil tawassul, al-albani mengingkari
tentang keshahihan riwayat tersebut dengan
bersikeras menyatakan bahwa salah satu sanad
riwayat tersebut, Sa’id ibn Zaid adalah pribadi
yang cacat dan lemah.
Di dalam bukunya at-Tawassul anwaa’uhu wa
ahkaamuhu, demi untuk mengharamkan hukum
tawassul, beliau berani menghukumi Sa’id ibn Zaid
sebagai cacat dan tidak tsiqah (tidak dapat
dipercaya).
Mari kita lihat pernyataan beliau ini yang
termaktub di dalam kitab karya beliau sendiri “at-
Tawassul Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu halaman
126″
Perhatikan yang di beri tanda kotak merah pada
gambar pertama:
Aku (al-Albani) berkata: “Sanad ini dinyatakan
lemah, tidak selayaknya dijadikan hujjah/dalil
dikarenakan oleh tiga hal: Pertama, Sa’id ibn Zaid
adalah saudara Hammad ibn Zaid yang lemah.
Telah berkata al-Hafizh di dalam [[at-Taqrib]]: ‘Dia
adalah perawi jujur yang suka berhalusinasi’. Adz-
dzahabi berkata di dalam di dalam [[al-Mizaan]]:
Yahya ibn Sa’id: ‘Dia lemah’, Sa’di berkata: ‘Tidak
dapat dijadikan hujjah.’ Mereka melemahkan
hadits-haditsnya, an-Nasa’i dan yang lain berkata:
‘Dia tidak kuat.’ Dan Ahmad berkata: ‘Tidak ada
masalah dengan Sa’id ibn Zaid, sedangkan Yahya
ibn Sa’id tidak memakainya.’ “
Nah, menurut pernyataan beliau di atas, beliau
menetapkan bahwa Sa’id ibn Zaid adalah lemah
dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Namun, anehnya di kitab beliau yang lain yaitu
Irwa’ al-Ghalil jilid 5 halaman 338disebutkan
bahwasanya Sa’id ibn Zaid dinyatakan baik
sanadnya. Mari kita lihat Irwa’ al-Ghalil jilid 5
halaman 338:
Perhatikan yang di beri tanda kotak merah pada
gambar kedua:
Aku (al-Albani) berkata: “Dan ini adalah sanad
yang baik. Semua perawinya adalah orang-orang
yang terpercaya (tsiqah). Mengenai Sa’id ibn Zaid
–saudara Hammad ibn Zaid–, hadits-haditsnya
tidak turun dari darajat hasan, insya’ Alloh Ta’aala.
Dan telah berkata ibn al-Qayyim di dalam [[al-
Farusiyyah]]: ‘Dia sanad haditsnya baik’. “
Nah, saling kontradiksi bukan?
Di satu sisi beliau mengatakan Sa’id ibn Zaid
lemah sanadnya, namun di satu sisi beliau
menetapkan Sa’id ibn Zaid sebagai sanad perawi
yang tsiqah yang derajat hadits-haditsnya tidak
turun dari derajat hasan.
Kesimpulannya adalah, al-Albani pada saat
memerlukan dalil-dalil untuk mengharamkan
amalan tawassul beliau dengan beraninya
mendhaifkan Sa’id ibn Zaid. Namun, di tempat
lain ketika al-Albani memerlukan hadits Sa’id ibn
Zaid sebagai pendukung dalilnya, maka beliau
menyatakan bahwa Sa’id ibn Zaid adalah orang
jujur, terpercaya, dan sanadnya tidak turun dari
derajat hasan.
Semoga bermanfaat.
Di sadur dari Web Jundu Muhammad
http://
jundumuhammad.wordpress.com/2011/09/04/
nashiruddin-al-albani-kontradiktif-di-dalam-
menetapkan-status-hukum-perawi/

Senin, 23 Januari 2012

Pengertian Sunnah


Bismillaah ^_^

ana sampaikan pengertian "sunnah" dari sisi etimologi dan terminologi ^_^ 

Secara etimologi, Sunnah berarti tata cara.[Lisanul al-‘Arab: kata “sunan”] Dalam kitab Mukhtar al-Shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji maupun tercela.[Mukhtar al-Shihah, hlm. 339] Hasbi Ash-Shiddieqy [hlm. 24] menambahkan bahwa suatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik. 

Di dalam al-Qur’an kita dapat menjumpai beberapa ayat yang menyebutkan kata “sunnah”. M.M. Azami [M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 16-18.] menelusuri pengertian istilah “sunnah” di dalam al-Qur’an, menurutnya kata “sunnah” disebutkan dalam beberapa ayat berikut ini:

1. Surat an-Nisa’: 26

يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ 

Artinya: “Allah hendak menerangkan hukum syari’ah-Nya kepadamu dan menunjukkanmu ke jalan yang orang-orang sebelum kamu (yaitu para nabi dan orang-orang saleh), serta hendak menerima taubatmu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 

2. Surat al-Anfal: 38

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ

Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir, apabila mereka menghentikan perbutannya maka dosa-dosa mereka yang telah lalu akan diampuni, dan apabila mereka tetap kembali untuk melakukan perbuatan itu maka sunnah (aturan) orang-orang dahulu sudah berlaku.” 

3. Surat al-Isra’: 77

سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا

Artinya: “(Kami menetapkan hal itu) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam ketetapan Kami.”

4. Surat al-Fath: 23

سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا

Artinya: “Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam sunnatullah itu.”

Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam al-Qur’an kata-kata “sunnah” dimaknai dengan arti secara etimologis, yaitu tata cara dan kebiasaan.

Secara terminologi, para ulama ahli hadits mendefinisikan “sunnah” sebagai sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya. 

Adapun ahli Ushul Fiqih mendefinisikan “sunnah” adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang bukan berasal dari al-Qur’an, pekerjaan, atau ketetapannya. 

Berbeda lagi dengan ahli fiqih yang mendefinisikan “sunnah” sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw. baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.[M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 14]

setelah memahami "sunnah" maka fahami juga tentang "bid'ah" yang maknanya adl "hal yang baru yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad semasa hidup beliau"

dan bid'ah (hal yang baru) bukanlah sunnah (amalan atau kebiasaan Nabi), dan bid'ah ini ada 5 hukum, yaitu ada yg wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah

contoh bid'ah yang wajib : 
- pembukuan Qur'an.
- perumusan ilmu tajwid. 
- perumusan ilmu tata bahasa Arab dan sastra Arab.
- perumusan ilmu2 hadits.
- perumusan ilmu ushul fiqh dan fiqh.
- perumusan ilmu kalam/ilmu tauhid.
- perumusan ilmu tasawuf.

contoh bid'ah yang sunnah :
- sholat tarawih berjama'ah sebulan penuh.
- adzan jum'at dua kali.
- maulid nabi.
- yasinan.
- tahlilan.
- istighosah akbar.

contoh bid'ah yang makruh :
- makan bawang.
- makan jengkol.
- menghiasi masjid secara berlebihan.

contoh bid'ah yang haram :
- menafsirkan Qur'an secara serampangan.
- berdusta atas nama Nabi dan Ulama'2 salaf.
- menyesatkan amalan2 muslim yg baik, seperti menyesatkan Maulid Nabi, Yasinan atau menyesatkan tahlilan.

contoh bid'ah yang mubah :
- main FB
- makan dengan menggunakan sendok
- makan sampai kenyang
- main Game Play Station atau Nintendo
- memakai baju batik
- memakai kopyah

Alhamdulillaah... ^_^

Minggu, 01 Januari 2012

ciri ciri warga NU

inilah ciri2 warga NU, jadi yg tidak



mempunyai ciri2 ini, jelas dia bukan warga
NU walaupun ngakunya NU ^_^
1. Nahdlatul Ulama berpedoman kepada Al-
Qur’an, Al-Sunnah , Ijma’, dan Qiyas.
2. Nahdlatul Ulama beraqidah Islam
Ahlusunnah wal Jama’ah dalam bidang
Kalam mengikuti madzhab Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-
Maturidi.
3. Nahdlatul Ulama dalam bidang fiqh
mengikuti salah satu dari Madzhab Empat
Imam (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali)
4. Nahdlatul Ulama dalam bidang tasawuf
mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-
Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.
5. Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, Nahdlatul Ulama berasas kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia