Tampilkan postingan dengan label AMALAN BATIN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AMALAN BATIN. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Juli 2011

Mengenal Syeikh Nawawi Al-Bantani (Imam Masjidil Haram Kelahiran Banten, Indonesia)

Syaikh Nawawi al-Bantani (1)

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (1): Guru Para Ulama Indonesia

oleh: Hery Sucipto Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du… Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT. Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain jugaijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid(mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M.

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (2): Karya dan Karomahnya

oleh: Ust. H. Agus Zainal Arifin
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga, berjudulUqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. KitabNihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.
Bersambung ke bagian 3
  {Edit}

Syaikh Nawawi al-Bantani

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (3): Al-Ghazali Modern, bagian-1

oleh: Mamat Salamet Burhanuddin*
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian.
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
Hidup Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz [pemimpin Ulama daerah Hijaz, red.].
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Bidang Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (4-tammat): Al-Ghazali Modern, bagian-2

oleh: Mamat Salamet Burhanuddin* Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du… Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melalui proses dzikr, muraqabah dan musyahadahsehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab). Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik. Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis. Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama ), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH. Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh K.H. Nawawi Banten., Syekh K.H. Mahfuz Termas, Syekh K.H. Abdul Karim, K.H. Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh K.H. Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia tidak mau mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh K.H. Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Kiai Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Kiai para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi. Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain menjadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain. Sejak abad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektual dari generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun bergeser masuk dalam wilayah politik. Ketika kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan Haramain oleh penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren membentuk sebuah komite yang disebut dengan “komite Hijaz” yang terdiri dari 11 ulama pesantren. Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim, seorang kiai produk perguruan Haramain, komite ini bertugas melakukan negosiasi dengan raja Saudi yang akan memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam perkembangannya komite ini kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayah politik praktis secara intens organisasi ini kemudian mengalami perubahan nama dari Nahdlatul Wathan (NW) sampai jadi Nahdlatul Ulama (NU). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi merupakan sosok ulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU. Sebab karakteristik pola pemikirannya merupakan representasi kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang gerakan purifikasi dan pembaharuan. Kehadiran NU adalah untuk membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang mengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik. Karenanya formulasi manhaj al-Fikr tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi (diuraikan kembali) oleh para ulama NU sebagai garis perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjut institusionalisasi dari arus pemikiran KH. Nawawi Banten

Jumat, 27 Agustus 2010

Amalan Batin

Fazilat Kalimah Toyyibah

Hazrat ABu Hurairah r.h meriwayatkan bahawa Rasullah s.a.w. bersabda, “Sentiasalah memperbaharui iman kamu”. Para sahabat bertanya, “Bagaiman kami memperbaharui iman kami, wahai Rasullah?”. Baginda s.a.w. bersabda, “Perbanyakkan ucapan LAILAHAILLAH [Hadith riwayat imam Ahmad]
Dalam satu riwayat, baginda Rasullah s.a.w bersabda, “Iman akan lusuh seperti mana pakain menjadi lusuh. Oleh itu hendaklah kamu sentiasa memohon kepada Allah supaya Allah memperbaharui iman kamu. Maksud iman menjagi lusuh ialah dengan kemaksiatan yang dilakukan makan kekuatan iman dan nur iman akan pudar.
Oleh itu, keterangan dalam sebuah hadith bahawa apabila sesaorang hamba melakukan kemaksiatan maka lahirlah dihatinya satu tanda hitam. Sekiranya dia bertaubat dengan sebenar-benar taubat maka tanda hitam itu akan lenyap, jika tidak tanda itu akan terus kekal. Apabila dia melakukan lagi dosa yang kedua maka lahirlah tanda yang kedua dan demikianlah seterusnya sehingga hati menjadi hitam dan berkarat. Kemudian keadaan hati itu akan berubah sama sekali sehingga perkataan yang benar tidak lagi akan memberi kesan kepada hatinya.
Diterangkan dalam sebuah hadith bahawa empat perkara yang akan merosakkan hati manusia;
  • Berbahas dengan orang jahil
  • Melakukan banyak dosa
  • Banyak bergaul dengan wanita yang bukan muhram
  • Sering duduk bersama dengan orang yang mati. Baginda ditanya “Siapakah yang dimaksudkan dengan orang yang mati?” Jawab Baginda s.a.w “Setiap orang yang kaya menjadi sombong dengan hartanya.”

Amal Bergantung Kepada Niat

Abul Laith Assamarqandi meriwayatkan dengan sanadnya dari Zaid bin Maisarah berkata: Allah terlah berfirman: Aku tidak menerima perkataan sesaorang hakim, tetapi aku melihat tujuan dan niatnya kepada Ku, maka aku jadikan diamnya untuk berfikir dan bicaranya sebagai zikir meski pun ia tidak berkata-kata.
Aun bin Abdullah berkata: Dahulu orang-orang soleh menulis surat kepada sahabatnya tiga kalimat;
  • Siapa yang beramal untuk akhirat, maka Allah mencukupi segala urusan dunianya.
  • Dan siapa yang memperbaikki niatnya, maka Allah akan memperbaikki zahirnya.
  • Dan sesiapa yang memperbaikki hubungannya dengan Allah, maka allah akan memperbaikki hubungannya dengan sesama manusia.
Nabi s.a.w bersabda: “Niat sesaorang mukmin lebih baik dari amal perbuatannya”
Oleh sebab itu, niat itu mendapat pahala tanpa amal, sedangkan amal tanpa niat tidak ada pahalanya.
Nabi s.a.w bersabda: ” Seorang hamba dihadapkan pada hari khiamat membawa hasanah sebesar bukit, lalu ada seruan; Siapa yang pernah di iniaya oleh Fulan boleh datang untuk dibayar. Maka datanglah beberapa orang lalu mengambil bahagiannya sehingga tiada tinggal satu pun dari hasanah yang banyak itu, sehingga hamba itu menjadi bingung, lalu tuhan berkata kepadanya: Untuk mu ada simpanan pada Ku yang tidak Aku perlihatkan kepada malaikat atau seorang pun dari makhluk Ku, lalu ia bertanya: Apakah itu. Jawab tuhan: Ia itu NIAT mu, yang kau selalu niat akan berbuat kebaikkan, Aku tulis untuk mu berlipat ganda, tujuh puluh lipat ganda.”
Seorang ‘abid Bani Israel, ketika berjalan melihat anak bukit, lalu ia ingin, andaikan bukit itu menjadi tepung, maka akan diberinya makan kepada Bani Israel yang sedang menderita kelaparan. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi ketika itu: Katakanlah kepada ‘abid itu bahawa Allah berfirman; Telah Aku tetapkan bagimu pahala sekiranya bukit itu menjadi tepung dah kamu sedekahkanya.
Juga ada riwayat:
Akan dihadapkan pada hari kiamat seorang hamba, lalu ia meihat dalam suratan amalnya ada haji, umrah, jihad, zakat dan sedekah, maka ia berkata dalam hatinya; dari mana semua itu padahal aku tidak berbuat semua itu, mungkin ini bukan suratan amalku. Maka Allah berfirman; Bacalah itu suratan mu, semasa hidupmu dulu sering berkata, andainya aku mempunya harta nescaya aku jihad. Aku mengetahui akan niatmu itu, maka Aku beri pada mu pahala semua itu.
Abu Hurairah r.a. berkata; Nabi s.a.w bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa mu, dahn tidak melihat harta mu, dan tidak melihat keadaan mu, tetapi melihat amal dan hati mu.

Saat Kematian

jenazah.jpg
Abu Lais meriwayakan dengan sanadnya dari Albaraa’ bin Aazib r.a. berkata: Kami bersama Nabi s.a.w. keluar menghantar jenazah seorang sahabat ansar, maka ketika sampai kekubur dan belum dimasukkan kedalam lahad, Nabi s.a.w. duduk dan kami turut duduk, diam menundukkan kepala bagaikan ada burung diatas kepala kami, sedangkan Nabi.s.a.w mengorek-ngorek dengan dahan yang ditangannya, kemudian baginda mengangkat kepala dan bersadba: “Berlindunglah kamu kepada Allah dari siksa kubur, 2 atau 3 kali diulang.” Lalu bersabda lagi…
“Sesungguhnya seorang mukmin jika akan meninggalkan dunia dan menghadapi akhirat (akan mati), turun kepadanya malaikat yang putih-putih wajahnya bagaikan matahari, membawa kafan dari syurga, maka duduk didepannya sejauh pandangan mata mengelinginya, kemudian datang malaikat maut dan duduk dekat kepalanya dan memanggil: Wahai ruh yang tenang baik, keluarlah menuju keampunan Allah dan ridhoNya”
Nabi s.a.w. bersabda lagi: “Maka keluar rohnya mengalir bagaikan titisan dari mulut kendi, maka langsung diterima, dan langsung dimasukkan kedalam kafan dan dibawa keluar semerbak harum bagaikan kasturi yang terharum diatas bumi, lalu dibawa naik. Maka tidak memalui rombongan malaikat melainkan ditanya: Roh siapakah yang harum ini? Dijawab ruh Fulan bin Fulan, sehingga sampai kelangit, dan disana dibukakan pintu langit, dan disambut oleh penduduknya dan pada tiap langit dihantar oleh malaikat muqorrbun dibawa naik kelangit yang atas hingga sampai kelangit ketujuh.
Maka Allah berfirman: Catatlah suratannya di ILLIYIN. Kemudian dikembalikan ke bumi, sebab daripadanya Kami jadikan, dan di dalamnya Aku kembalikan dan daripadanya pula akan Aku keluarkan pada saatnya.
Maka kembalilah ruh ke jasad didalam kubur, kemudian datang kepadanya dua malaikat untuk menanya: Siapa tuhan kamu? Maka dijawabnya: Allah tuhan ku. Lalu ditanya: Apa agamamu: Dijawab: Islam agama ku. Ditanya: Bagaimana pendapat mu tentang orang yang diutuskan dikalangan kamu? Dijawab: Ia utusan Allah. Ditanya: Bagaimana kamu mengetahui itu? Dijawab: Aku membaca kitab Allah lalu percaya dan membenarkannya.
Lalu terdengar suara: Benar hambaku, maka berikan kepadanya hamparan dari Syurga serta pakain Syurga dan bukakan untuknya pintu menuju ke Syurga, supaya ia mendapat bau dan hawa syurga. Lalu diluaskan kubur sepanjang pandangan mata kemudian datang kepadanya seorang yang bagus wajahnya dan harum baunya seraya berkata: Terimalah khabar gembira, ini saat yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Lalu ia berkata: Siapakah kamu? Jawabnya: Aku, amalmu yang baik. Lalu ia berkata: Ya tuhan segerakan lah hari Khiamat supaya segara aku bertem dengan keluarga ku dan kawan-kawan ku.”
Nabi s.a.w bersabda lagi: Adapun hamba yang kafir jika akan meninggalkan dunia dan menghadapi akhirat, maka turun kepadanya malaikat dari langit yang hitam mukanya dengan berpakaian hitam. Lalu duduk dimukanya sepanjang pandangan mata. Kemudian datang malaikat maut dan duduk disamping kepalanya, lalu berkata: Hai ruh yang jahat, keluarlah menuju murka Allah. Maka tersebar disemua anggota badannya, maka terputus semua urat dan ototnya, lalu diterimanya dan dimasukkan kedalam kain hitam dan dibawa dengan bau yang sangat busuk bagaikan bangkai dan dibawa naik. Maka tidak melalui malaikat melainkan ditanya: Ruh siapakah yang jahat dan busuk itu? Dijawab: Ruh Fulan bin Fulan dengan sebutan yang sangat jijik sehingga sampai kelangit dunia maka diminta buka, tetapi tidak dibuka untuknya.
Kemudian Nabi s.a.w membaca ayat: (maksudnya..) Tidak dibukakan kepada mereka itu pintu-pintu langit dan tidak dapat masuk Syurga hingga unta dapat masukke lubang jarum.
Kemudian diperintahkan: Tulislah orang itu didalam SIJJIN kemudian dilemparkan ruhnya itu begitu saja. Kemudian dikembalikan ruh itu kedalam jasad di dalam kubur, lalu didatangi oleh dua malaikat yang menundukkannya lalu menanya: Siapa tuhan kamu? Jawabnya: Aku tidak tahu. Lalu ditanya: Apa agama mu? Jawabnya: Au tidak tahu. Lalu ditanya: Apa pendapat kamu terhadap orang diutus dikalanga kamu? Jawabnya: Aku tidak tahu.
Maka dengar seruan dari langit: Dusta hambaku, hamparkan untuknya hamparan dari Neraka dan bukakan baginya pintu Neraka. Maka terasa olehnya panas hawa neraka, dan disempitkan kuburnya sehingga terhimpit dan rusak tulang rusuknya. Kemudian datang kepadanya seorang yang buruk wajahnya dan busuk baunya berkata kepadanya: Sambutlah hari yang sangat jijik bagimu, inilah saat yang telah diperingatkan oleh Allah kepadamu. Lalu ia bertanya: Siapakah kamu? Jawabnya: Aku amalanmu yang buruk. Lalu ia berkata: Ya tuhan jangan segerakan hati khiamat, ya tuhan jangan segerakan hari khiamat.
MEMBACA AL-QUR’AN DI DEKAT KUBUR ( DIKUBURAN )

Kalau kita berbicara mengenai hal ini merupakan suatu permasalahn yang khilafiyah yaitu masih ada perbedaan pendapat di anatara para Ulama’. Ulama yang tidak memperbolehkan adanya hal itu mempunyai dalil sedangkan ulama’ yang memperbolehkannya pun mempunyai dalil dan bahkan lebih banyak. Sehingga di sini kami mencoba mengupasnya sedikit agar tidak saling menghina dan menyalahkan bahkan menganggap bid’ah sesuatu.
GOLONGAN YANG TIDAK MEMPERBOLEHKAN
Diantara Ulama yang yang tidak memperbolehkan adanya membaca Al-Qur’an didekat pemakaman bahkan hal itu dikatakan suatu hal yang bid’ah yaitu pendapat yang dipelopori oleh ulama’-ulama’ dari Hijaz – maaf kalau ada yang tersinggung ( Baca Wahabi ). Diantara yang berfatwa seperti hal itu yaitu Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam kitabnya “ AL-AQIDATU AL-ISLAMIYYAH ” beliau berkata.
“ Tidak boleh sedikitpun membaca daripada AL-Qur’an walaupun hanya surat AL-Fatihah. Rasulullah SAWbersabda Janganlah kamu menjadikan rumahmu bagaikan pemakaman. Sesungguhnya syaitan itu akan lari terbirit-birit dari sebuah rumah yang didalamnya dibacakan Surat Al-Baqarah. ( HR Imam Muslim ). Hadits itu memberikan petunjuk bahwasanya pekuburan itu bukan tempat untuk membaca Al-Qur’an sebaliknya adalah ruimah. Dan tidak ada dasarnya yang kuat dari Rasulullah SAW dan Para Sahabatnya bahwasanya mereka telah membaca AL-Qur’an untuk orang-orang yang telah meninggal. Akan tetapi mereka telah berdo’a untuk orang-orang yang telah meninggal. Rasulullah SAW apabila telah selesai mengubur mayit beliau suka berdiri di atas kuburnya dan bersabda Mintalah ampun untuk saudaramu dan mintalah untuk dia kemantapan karena sesungguhnya ia sekarang sedang ditanya.( HR Imam Hakim )
( Aqidah Al-Islamiyyah, 101-102 )
Hadits yang ada di atas juga merupakan salah satu sandaran dari saudara kita yang tidak setuju dengan adanya hadiah pahala untuk orang yang meninggal khususnya menghadiahkan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an.
Selain itu Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas juga jberpendapat bahwa membaca Al-Qur’an dipekuburan itu hukumnya adalah MAKRUH tidak sampai haram dan bid’ah.
“ Dan Imam Malik dan Imam Abu Hanifa telah memakruhkannya karena membaca Al-Qur’an dipemakaman itu tidak ada haditsnya.”
( Fiqhu Sunnah I, 472 )
Akan tetapi pendapat Kedua Imam ini ternya tidak diikuti oleh sebagian besar Ulama yang ber-Madzhab Hanafi dan Maliki. Hal ini membuktikan bahwa para Ulama di Empat Madzhab itu tidak serta merta mengikuti apa yang di fatwakan oleh Imam Madzhab Mereka tetapi mereka meneliti terlebih dahulu apakah sesuai dengan sunnah dan Al-Qur’an. Hal ini akan kami jelaskan terkemudian.
GOLONGAN YANG MEMPERBOLEHKAN
Adapun Golongan yang memperbolehkan adanya bacaan AL-Qur’an di pemakaman dan ini merupakan apa yang kami ikuti. Adapun Ulama-Ulama yang memperbolehkan membaca Al-Qur’an di pemakaman yaitu Ulama’-Ulama’ dari Madzhab Syafi’I dan juga Ulama’-ulama’ Madzhab Hambali dan Jumhur Al-Ulama’. Para Ulama Di atas membolehkan dan bahkan menghukumi sunnah membaca Al-Qur’an di pemakaman itu. Fatwa ini dikemukakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’I ( yang oleh orang yang tidak sependapat bahwa Imam Syafi’I melarang membaca Al-Quran karena tidak sampai padahal yang sebenarnya tidak begitu). Selain itu pendapat Imam Syafi’I ini juga diikuti oleh murid beliau Imam Ahmad bin Hambal dan juga murid dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Seperti yang ada dalam kitab Fiqhu Sunnah
“Para Ulama ahli fiqih telah berbeda pendapat dalam menetapkan hukum membaca Al-Qur’an di pemakaman. Imam Syafi’I dan Imam Muhammad Al-Hasan ( Murid Imam Abu Hanifah ) berpendapat bahwa membaca Al-Quran dipemakaman hukumnya adalah sunnah dan pendapat keduanya disetujui oleh Imam Qadhi Itadhi dan Imam Al-Qorofi dari Madzhab Maliki. Dan Imam Ahmad bin hambal berpendapat bahwa membaca AL-Qur’an di pemakaman itu tidak ada salahnya ( boleh ).”
( Fiqhu Sunnah I, 472 )
Imam Al-Muhaddits Muhammad bin Allan As-Shiddiqi dalam kitab Syarah Riyadh Al-Sholihin berkata “Imam Syafi’I berkata Disunnahkan membaca sebagian ayat Al-Qur’an di dekat mayit dan lebih baik lagi jika mereka membaca Al-Qur’an sampai khatam.”
( DalilAl-Falihin VI, 103 )
Al-Imam Muhyiddin Zakaria An-Nawawi dalam Al-Adzkar mengatakan “berkata Imam Syafi’I ra dan para sahabatnya : Sunnah hukumnya membaca sebagian Al-Qur’an di dekat mayit dan kalau mereka sampai menghatamkannya sangatlah baik.”
( AL-Adzkar, 147 )
Sudah saya jelaskan dalam tulisan yang terdahulu Bahwa dalam hal ini Imam Syafi’I yang seorang Mujtahid Mutlak tidak hanya berfatwa saja tetapi beliau juga langsung mempraktekkannya. Hal itu dijelaskan ketika beliau Imam Syafi’I pindah ke Mesir sekitar tahun 200 H
Sudah populer diketahui banyak orang ( berita yang mutawattir ) bahwa Imam Syafi’I pernah berziarah ke makam Laits bin Sa’ad. Beliau memujinya dan membaca Al-Qur’an di dekat kuburannya dengan sekali khatam. Lalu beliau berkata, Saya berharap semoga hal ini terus berlanjut dan maka pada begitulah pembacaan itu dilakukan..
( Adz-Dzakhiratu Ats-Tsaminah, 47 )
Selanjutnya Seorang Ahli Hadits Al-Imam Syaukani juga berpendapat boleh membaca Al-Qur’an dipemakaman.
“ Dan tidaklah tercela hal itu menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti Iqrau Yasin ‘Ala Mautakum (Bacalah Surat Yasin kepada orang mati diantara kamu). Dan tidak ada perbedaan antara membaca Yasin itu dilakukan secara jama’ah hadir di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian baik dilakukan dimasjid ataupun dirumah. 
( Al-Rasa’il Al-Salafiyyah, 46 )
Dan keterangan mengenai hal ini juga dipertegas mengenai kobolehan atau kesunnahan membaca Al-Qur’an ini di pemakaman oleh Al-Imam Ahmad bin Hambal yang juga merupakan seorang Mujtahid Mutlak. Imam Al-Qurthubi dalam Mukhtashar Tadzkirat Al-Qurthubi berkata
“ Imam Ahmad bin Hambal ra berkata apabila kamu berziarah ke pemakaman, maka bacalah surat Al-Fatihah, Al-Mu’awwidzatain, dan surat AL-Ikhlas. Kemudia hadiahkan pahalanya untuk ahli kubur. Maka sesungguhnya hadiah pahala itu sampai kepada mereka.”
( Mukhtashar Tadzkirat Al-Qurthubi, 25 ini juga bisa kita temukan dalam kitab karangan orang Indonesia yaitu Hujjah Ahlus Sunnah Wa Al-Jma’ah hal 8 )
Adapun pendapat-pendapat tersebut bersumber dari hadits diantaranya yaitu.
“ Dari Ma’qil bin Yasar ra dari nabi SAW beliau bersabda Surat yasin adalah hatii Al-Qur’an Tidaklah seseorang membacanya dengan mengharap rahmat Allah SWT kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah Surat Yasin atas orang-orang yang meninggal diantara kalian.”
( HR Imam Ahmad, Imam Nasa’I, Imam Abu Daud dan dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Hakim )
Sesuai penjelasan Imam Syaukani bahwa Raulullah SAW menyuruh kita membaca Surat yasin untuk yang meninggal adapun mengenai tempat tidak ditentukan , sehingga tidak ada salahnya membacanya di pemakaman. Hal ini bahayak dilakukan oleh para Sahabat yang mulya dan para tabi’in. mereka membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan tidak hanya Surat Yasin.
Hadits dari sahabat Abdullah bin Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW telah bersabda “ Jika telah meninggal salah seorang diantara kamu, maka janganlah kamu menahannya dan segerakanlah membawa kekubur ( maksudnya dikubur ) dan bacakanlah Fatihah Al-Kitab disamping kepalanya.”
( HR Imam Baihaqi dan Thabrani )
“ Dari Sahabat Ali ra Rasulullah SAW bersabda Barang Siapa Memasuki pemakaman lalu membaca Syrat Al-Ikhlas sebelas kali dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang meninggal ( ahli kubur ) maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu.”
( HR Imam Daruqutni, Abu Muhammad Al-Samarqandi dan Imam Rafi’I lihat Haula Khashaish Al-Qur’an hal 45 )
Selain itu ada juga hadits dari Imam Ali ra Bahwa Rasulullah SAW bersabda Barang Siapa Memasuki pemakaman lalu membaca Syrat Al-Ikhlas sebelas kali dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang meninggal ( ahli kubur ) maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu.”
( HR Hafidz As-Salafi secara marfu’ )
Dan juga Hadits mengenai wasiat Ibnu Umar ra yang disebutkan oleh Abu Al-‘Izz AL-Hanafi
“ Dari Ibnu Umar ra bahwa beliau ra berwasiat agar di atas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal surat Al-Baqarah dan akhirnya Dan dari sebagian Sahabat Muhajirin dinukil pula adanya pembacaan surat Al-Baqarah.”
( Syarah Aqidak At-Thahawiyyah, 485 )
Selain itu dari riwayat Imam Baihaqi dengan sanad hasan bahwa Ibnu Umar menyukai( menyunahkan ) agar dibaca di atas kubur sesudah pemakaman awal surat Al-Baqarah dan akhirnya.
( Al-Adzkar Imam Nawawi hal. 206 )
Barangkali teman dalam forum ini sudah tahu siapa itu Ibnu Umar ra yang nama aslinya Abdullah bin Umar ra. Nbeliau merupakan salah satu sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, sekitar 2630 hadits. Selain itu beliau ra juga merupakan satu dari tujuh sahabat yang paling banyak memberi fatwa selain Ibnu umar ra juga Ibnu Abbas ra, Umar bin Khaththab ra, Ibnu umar ra, Aisyah Ummul Mu’minin, Abdullah bin Mas’ud, zaid bin tsabit dan Ali bin Abi Tholib.
Selan itu pujian para Sahabat atau para Tabi’in kepada Ibnu umar juga sangat banyak sehingga sangat tidak mungkin jikalau Ibnu Umar berfatwa sedangkan fatwa beliau ra menentang dengan apa yang dilakukan Rasulullah SAW. Juikalau ada perbedaan maka yang harus dilihat yaitu bagaimana penafsiran kita terhadap suatu hadits tersebut apakah sesuai dengan penafsiran para sahabat tersebut.
Dalam kitab Al-Manhalu Al-Latiif fi Ushuli Al-Hadits Al-Syarif karya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani disebutkan bahwa
“ Diriwayatkan dari Ja’far dia berkata Tidak ada seorang sahabat diantara sahabat-sahabat nabi SAW apabila mendengar hadits darinya yang paling berhati-hati dengan tidak menambah dan mengurangi selain Ibnu Umar.”
Selain Itu Riwayat Dari Malik dia berkata Ibnu Shihab berkata kepadakuu “kamu jangan membanding-bandingkan pendapat Ibnu Umar karena sesungguhnya dia seorang yang menegakkan sunnah sesudah Rasulullah SAW tidak ada sesuatu yang meragukannya darinya baik yang terkait persoalan Rasulullah SAW ataupun Sahabat-sahabatnya.”
Sebenarnya mengenai keadilan Ibnu Umar dalam melaksanakan Sunnah Rasulullah SAW tanpa mengurang dan menambah dan kealiman ke wara’ an sangat banya.
Selain itu juga ada hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda “ Barang siapa memasuki pemakaman lalu membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, dan Al-Takatsur lalu berdo’a. Aku hadiahkan pahala bacaan yang aku baca dari firman-Mu untuk semua ahli kubur dari kalangan mu’minin dan mu’minat. Maka semua ahli kubur itu akam memberikan syafa’at kepada orang yang membaca surat tersebut.”
( HR Abu Qasim Al-Zaila’I, lihat Haula Khashaish Al-Qur’an )
Dan yang terakhir mari kita lihat pendapat salah seorang murid dari Imam Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnu Qoyyim Al-Jauzi dalam kitab beliau
Disebutkan dalam kitab Al-Ruh halaman 11 menulis bahwa Imam Al-Khallal telah meriwayatkan dari Imam Al-Sya’bi dan berkata bahwa jika ada sahabat di kalangan Anshar meninggal dunia mereka bergantian datang / berkumpul di depan kuburnya sambil membaca Al-Qur’an.
Selain itu Imam Al-Khallal dalamkitabnya Al-Jami’ keyila membahas mengenai bacaan Al-Qur’an disamping kubur berkata menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad Ad-Dauri menceritakan kepada kami yahya bin Mu’in menceritakan kepada kami Mubasyar Al-Halabi menceritakan kepada kamiAbdurrahman bin Ala’ bin Al-Lajlaj dari bapaknya ia berkata. Bapakku berkata “ Jika aku telah mati maka letakkan aku di liang lahat dan ucapkan Bismillah wa ‘ala Sunnati Rasulillahdan ratakan tanah atasku dab bacakan permulaan Surat Al-Baqarah disamping kepalaku karena sesungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar ra mengatakan demikian.”
Ibnu Qayyim juga menceritakan bahwa Al-Khallal berkata mengkhabarkan kepada kami Hasan bin Ahmad AL-Warraq menceritakan kepada kami Ali bin Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur dia berkata “ Pernah aku bersama Imam Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Qudomah Al-Jauhari menghadiri jenazah, maka ketika mayyit dimakamkan seseorang lelalki kurus membaca duduk disamping kubur sambil membaca Al-Qur’an . Melihat hal itu Imam Ahmad berkataHai sesungguhnya membaca Al-Qur’an disamping kubur itu bid’ah. Maka ketika kami keluar dari kubur berkatalah Muhammad bin Qudomah kepada Imam Ahmad bin Hambal. Wahai Abu Abdillah bagaimana pendapatmu mengenai Mubassyar Al-Halabi? Imam Ahmad menjawab : Beliau orang yang Tsiqah, apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya ? Muhammad bin Qudomah menjawab : Ya, mengabarkan kepadaku Mubassyar dari Abdurrahman bin Ala’ bin Lajlaj dari bapaknya bahwa ia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan Surat Al-Baqarah dan akhirnya dan dia berkata : Aku telah mendengar Ibnu umar ra berwasiat dengan yang demikian. Mendengar riwayat itu Imam Ahmad berkata : Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar meneruskan bacaan Al-Qur’annya.”
( Dari Kitab Al-Ruh oleh Imam Ibnu Qayyim halaman 11-13 )
Sehingga dari nash dan bukti di atas bahwa membaca Al-Qur’an di pemakaman itu bukanlah sesuatu yang bid’ah tetapi sesuatu yang boleh dilakukan dan bahkan sunnah karena para Sahabat Beliau SAW baik itu sahabat Muhajirin ataupun Anshar melakukannya.
Demikian keteraangan kami semoga bermanfaat, maaf-maaf kalau ada salah tulis dan tulisan yang menyinggung saudaraku semua.
Semoga Allah SWT memberikan Hidayah-Nya kepada kita.
Assalamu’alaikum
Al-Faqir wa Adz-Dzalil Ahmad Abdul Qodir
Sumber:
http://sidogiri.com/modules.php?name=Forums&file=viewtopic&t=644&sid=5efac2ad7f406ba97504f2d91efdc065geovisit();
<img src=”http://visit.geocities.yahoo.com/visit.gif?us1228546861″ alt=”setstats” border=”0″ width=”1″ height=”1″> 1

IKHLAS – BERSIH HATI DARI SEGALA TUJUAN SELAIN DARI KERIDHOAAN ALLAH

Nabi s.a.w. telah bersabda: “Yang sangat aku takuti atas kamu adalah syirik kecil”. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah apakah syirik kecil itu.” Jawab baginda: “Riya’. Pada hari pembalasan kelak Allah berkata kepada mereka; pergi lah kamu kepada orang-orang yang dahulu kamu beramal kerana mereka di dunia, lihatlah disana kalau-kalau kamu mendapat kebaikkan dari mereka.”
Riya’ adalah beramal untuk dilihat orang, dipuji. Abu Lais berkata: Dikatakan kepada mereka sedemikian itu kerana amal perbuatan mereka ketika didunia secara tipuan, maka dibalas demikian.
Allah membalas tipuan mereka itu dengan membatalkan semua amal perbuatan mereka itu. Kerana mereka dahulu tidak beramal untuk Allah, tiap amal yang tidak dikerjakan ikhlas untuk Allah tidak sampai kepadaNya.
Abu Lais meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah r.a., Nabi s.a.w bersabda: Allah telah berfirman:
“Aku yang terkaya dari semua sekutu. Aku tidak berhajat dari segala amal yang di persekutukan kepada lain dari Ku, maka aku lepas bebas dari amal itu.”
Hadis ini sebagai dalil bahawa Allah tidak menerima amal kecuali yang ikhlas melulu kepadaNya. Maka jika tidak ikhlas tidak diterima dan tidak ada pahalanya bahkan tempatnya tetap dalam neraka jahannam.
Tersebuat dalam surah al-Isyrak:
Sesiapa yang ingin kan dunia dengan amalnya, kami berikan kepadanya dari kekayaan dunia dan bagi sesiapa yang kami kehendakki kebinasaan nya, kemudian kami masukkan dia kedalam neraka jahanam sebagai seorang terhina dan terusir jauh dari rahmat Allah. Dan sesiapa yang inginkan akhirat dan berusaha dengan sungguh dan ikhlas dan disertai iman, maka usaha amal mereka itulah yang terpji.
Dari ayat ini nyatalah bahawa yang beramal kerana Allah maka akan diterima sedangkan yang beramal tidak kerana Allah taidak akan diterima dan hanya mendapat laelah dan susah semata-mata.
Dari Abu Hurairah r.a., Nabi s.a.w bersabda:
Ada kalanya orang yang berpuasa tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga, dan ada kalanya orang yang bangun malam tidak mendapar apa-apa dari ibadatnya kecuali mengantuk, yakni tidak mendapat pahala dari amalnya.
Orang yang beramal dengan Riya’ dan Sumaah itu bagaikan seorang yang keluar kepasar dengan mengisi dompetnya dengan batu, semua orang berasa kagum dan berkata: alangkah penuhnya dompet wang orang itu. Tetapi sama sekali tidak berguna bagi orang itu kerana tidak dapat dibelanjakan wang itu, hanya semata-mata mendapat pujian orang. Demikina jugalah orang yang beramal denga Riya’ dan Sumaah tidak tidak ada pahalanya di akhirat sebagaimana firman Allah dalam surah al-Furqan ayat 23:
Dan kami periksa semua amal perbuatan mereka lalu kami jadikan debu yang berhamburan.
Seorang datang kepada Nabi s.a.w dan berkata: “Ya Rasulullah aku bersedekah dengan mengharap keridhoaan dari Allah dan ingin juga disebut kebaikkan aku”, maka turunlah ayat 111 surah al-Kahfi:
Maka sesiapa yang berharap akan bertemu tuhannya, maka hendaklah berbuat amal yang baik dan janganlah mempersekutukan Allah dalam semua ibadatnya.
Sesiapa yang takut tetapi tidak berhati-hati maka tidak berguna takut itu. Seperti berkata: Aku takut siksa Allah tetapi tidak hati-hati dari dosa, maka tidak berguna takutnya itu.
Sesiapa yang berharap tetapi tidak beramal maka sia-sia harapnya itu. Sesiapa yang niat tapi tidak dilaksanakan, tiak berguna niatnya itu. Sesiapa yang berdoa tanpa usaha, maka sia-sia doanya itu. Sesiapa yang ishtigfar tanpa menyesal, maka tidak berguna ish tigfarnya itu. Sesiapa yang beramal tanpa ikhlas makan sia-sia amalnya itu.
Akan keluar pada akhir zaman satu kaum yangmencari agama dengan menjual agama, memakai pakaian bulu, lidah mereka lebih manis dari madu, sedangkan hati mereka bagaikan serigala.
Abdullah alMubarak meriwayatkan dari AbuBakar bin Maryam dari Dhomirah dari Abi Habib; Rasulullah s.a.w bersabda:
Ada kalanya malaikat membawa amal seorang hamba dan mereka anggap banyak dan mereka menyanjungnya sehingga sampai ke hazrat Allah, lalu Allah berfirman kepada mereka: Kamu hanya mencatat amal hamba Ku sedangkan Aku mengawasi isi dan niat hatinya, hamba Ku ini tidak ikhlas kepada Ku dalam amalnya maka campakkanlah ia kedalam sijjin.
Dan ada kalanya membawa naik amal hamba yang meraka anggap sedikit dan kecil sehingga sampai kepada Allah, maka Allah berfirman kepada Malaikat: Kamu hanya mencatat amal hamba Ku sedangkan Aku mengawasi isi dan niat hatinya, orang iniamat khlas dalam amal perbuatannya kepada Ku, catatlah amalnya dalam illiyin.
Amal yang sedikit tapi Ikhlas lebih baik dari amal yang banyak tapi tidak ikhlas.
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah s.a.w bersabda: Apabila hari Khiamat maka Allah akan menghukum diantara para makhluk dan semua umat bertekuk lutut.
Yang pertama akan dipanggil ialah orang yang pandai alQur’an, orang yang mati fisabilillah dan orang kaya.
Maka Allah bertanya kepada orang yang pandai alQur’an: Tidak kah Aku telah mengajarkan kepada mu atas apa yang Aku turunkan kepada utusanku.
Jawab orang itu: Benar Tuhan ku.
Firman Allah: Lalu apakah yang telah kamu lakukan atas apa yang kamu ketahui itu.
Jawabnya: Aku telah mempelajarinya di waktu malam dan mengamalkannya di waktu siang.
Firman Allah: Dusta kau.
Malaikat juga berkata: Dusta kau, sebenarnya engkau hanya ingin di gelar qari dan ahli dalam alQur’an, dan sudah disebut sedemikian itu.
Lalu dipanggil orang kaya dan ditanya: Apa yang engkau telah perbuatkan terhadap harta yang telah Aku kurniakan itu?
Jawabnya: Aku telah mengunakannya untuk membantu sanak saudara dan bersedekah.
Firman Allah: Dusta kau
Para Malaikat juga berkata: Dusta kau, kau berbuat begitu hanya ingin disebut sebagai dermawan, dan sudah terkenal demikina itu.
Lalu dihadapkan orang yang mati syahid berjihad fisabilillah, ditanya: Kenapa kamu terbunuh?
Jawabnya: Aku telah berperang untuk menegakkan agama Mu sehingga aku terbunuh.
Allah berfirman: Dusta engkau.
Malaikat juga berkata: Dusta engkau, engkau hanya ingin disebut pahlawan yang gagah berani dan sudah disebut demikian itu.
Kemudian Nabi s.a.w memukul paha ku sambil bersabda: HaiAbu Hurairah, ketiga-tiga orang itu lah yang pertama di bakar didalam api neraka pada hari khiamat.
Orang yang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan amal kebaikkannya sebagaimana menyembunyikan kejahatannya. Puncak IKHLAS adalah tidak ingin kepada pujian orang.
Zunnun alMishri ketika ditanya: Bilakah orang diketahui bahawa ia masuk dalam pilihan Allah? Jawabnya: Jika telah meninggalkan isytirehat, dapat memberi apa yang ada, tidak inginkan kedudukkan dan didak mengharapkan pujian dan cacian orang (yakni dipuji tidak merasa bangga dan dicela tidak merasa gundah).
Fazilat Bulan Ramadhan
Daripada Abu Hurairah r.a Rasullah s.a.w telah bersabda “Umatku telah diberikan dalam bulan Ramadhan lm aperkara yang belum pernah diberikan kepada mana-mana umat pun sebelum mereka:
  1. Bau busuk dari mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau kasturi.
  2. Ikan-ikan dilaut akan beristigfar kepada mereka sehingga mereka berbuka.
  3. Setiap hari Allah aan menghiaskan syurgaNya dan berkata “Telah hampir masanya hamba-hamba ku yang soleh akan dilepaskan dari beban-beban dan mereka akan datang kepadamu.
  4. Dirantaikan syaitan-syaitan yang jahat didalam Ramadhan dan mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu dalam Ramadhan ini apa yang biasa diperbuat oleh mereka pada bulan yang lain.
  5. Mereka akan diampunkan pada malam terakhir bulan Ramadhan.
Ditanyakan kepada Rasullah s.a.w. “Adalak ia Lailatul Qadr?”
Baginda menjawab “Tidak! Namun seorang pekerja akan diberikan ganjaranya apabila dia telah menyelesaikan kerjanya.”

Khasiat Ayat Kursi

Ayat Kursi.jpg
Mahfum ayat:
Allah, tidak ada yang benar disembah hanya Dia yang Hidup dan Maha Kaya, tidak pernah ditimpa mengantuk dan tidak pernah tidor, bagin Nya sesuatu yang ada di langit dan di bumi, tidak ada yag boleh membri syafaat kecuali denga izin Nya. Ia maha mengetahui segala apa yang terjadi di hadapan mereka dan dibelakang mereka. Tidaklah mereka meliputi ilmunya sedikit jua kecuali yang dikehendakki Nya. Lebih luas kerusinya darilangit dam bumi. Tidak susah bagi Nya memelihara keduanya. Ia maha Tinggi dan maha Besar.
[Allah! There is no god but He, the Living, the Self-subsisting, Eternal. No slumber can seize Him nor sleep. His are all things in the heavens and on earth. Who is there can intercede in His presence except as He permitteth? He knoweth what (appeareth to His creatures as) Before or After or Behind them. Nor shall they compass aught of His knowledge except as He willeth. His Throne doth extend over the heavens and the earth, and He feeleth no fatigue in guarding and preserving them for He is the Most High, the Supreme (in glory).]
Penjelasan:
Ayat Kursi diturunkan pada suatu malam selepas Hijrah. Menurut riwayat, ketika ayat kursi diturunkan disertai dengan beribu-ribu malaikat sebagai penghantarnya, kerana kebesaran dan kemuliaannya.
Syaitan dan Iblis menjadi gempar kerana adanya suatu alamat yang menjadi perintang dalam perjuangan nya.
Rasulallah s.a.w segera memerintah kepada penulis alQuran iaitu Zaid bin Thabit agar segera menulisnya dan menyebarkannya.
Ada terdapat sembilan puluh lima buah hadis yang menjelaskan fazilat ayat kursi. Sebabnya ayat ini disebut ayat KURSI kerana di dalam nya terdapat perkataan KURSI, ertinya tempat duduk yang megah lagi yang mempunyai martabat.
Perlu di ingat, bukan yang di maksudkan dengan KURSI ini tempat duduk tuhan, tetapi adalah KURSI itu syiar atas kebesaran Tuhan.
Khasiat Ayat Kursi:
  1. Sesiapa yang membaca ayat Kursi dengan istikamah setiap kali selesai sembahyang fardhu, setiap pagi dan petang, setiap kali masuk kerumah atau kepasar, setiap kali masuk ke tempat tidur dan musafir, insyaallah akan diamankan dari godaan syaitan dan kejahatan raja-raja (pemerintah) yang kejam, diselamatkan dari kejahatan manusia dan kejahatan binatang yang memudharatkan. Terpelihara dirinya dann keluarganya, anak-anak nya, hartanya, rumahnya dari kecurian, kebakaran dan kekaraman.
  2. Terdapat keterangan dalam kitab Assarul Mufidah, barang siapa yang mengamalkan membaca ayat kursi, setiap kali membaca sebanyak 18 kali, inyaallah ia akan hidup berjiwa tauhid, dibukakan dada dengan berbagai hikmat, dimudahkan rezekinya, dinaikkan martabatnya, diberikan kepadanya pengaruh sehingga orang selalu segan kepadanya, diperlihara dari segala bencana dengan izin Allah s.w.t.
  3. Salah seorang ulama Hindi mendengar dari salah seorang guru besarnya dari Abi Lababah r.a, membaca ayat Kursi sebanyak anggota sujud (7 kali) setiap hari ada benteng pertahanan Rasulallah s.a.w.
  4. Syeikh Abul ‘Abas alBunni menerangkan: “Sesiapa membaca ayat Kursi sebanyak hitungan kata-katanya (50 kali), di tiupkan pada air hujan kemudian diminumnya, maka inysyaallah tuhan mencerdaskan akalnya dan memudahkan faham pada pelajaran yang dipelajari.
  5. Sesiapa yang membaca ayat Kursi selepas sembahyang fardhu, Tuhan akan mengampunkan dosanya. Sesiapa yang membacanya ketika hendak tidur, terpelihara dari gangguan syaitan, dan sesiapa yang membacanya ketika ia marah, maka akan hilang rasa marahnya.
  6. Syeikh alBuni menerangkan: Sesiapa yang membaca ayat Kursi sebanyak hitungan hurufnya (170 huruf), maka insyaallah, Tuhan akan memberi pertolongan dalam segala hal dan menunaikan segala hajatnya, dam melapangkan fikiranyan, diluluskan rezekinya, dihilangkan kedukaannya dan diberikan apa yang dituntutnya.
  7. Barang siapa membaca ayat Kursi ketika hendak tidur, maka Tuhan mewakilkan dua malaikat yang menjaga selama tidurnya sampai pagi.
  8. Abdurahman bin Auf menerangkan bahawa, ia apabila masuk kerumahnya dibaca ayat Kursi pada empat penjuru rumahnya dan mengharapkan dengan itu menjadi penjaga dan pelindung syaitan.
  9. Syeikh Buni menerangkan: sesiapa yang takut terhadap serangan musuh hendaklah ia membuat garis lingkaran denga nisyarat nafas sambil membaca ayat Kuris. Kemudian ia masuk bersama jamaahnya kedalam garis lingkaran tersebut menghadap kearah musuh, sambil membaca ayat Kursi sebayak 50 kali, atau sebanayk 170 kali, insyaallah musuh tidak akan melihatnya dan tidak akan memudharatkannya.
  10. Syeikul Kabir Muhyiddin Ibnul Arabi menerangkan bahawa; sesiapa yang membaca ayat Kursi sebayak 1000 kali dalam sehari semalam selama 40 hari, maka demi Allah, demi Rasul, demi alQuran yang mulia, Tuhan akan membukakan baginya pandangan rohani, dihasilkan yang dimaksud dan diberi pengaruh kepada manusia. (dari kitab Khawasul Qur’an)

Bismillah Enam

Bismillah 6
Antara Fazilat Bismillah Enam adalah seperti berikut:
  • Luas rezkinya.
  • Makbul segala hajat dan cita-cita.
  • Jika ditiup kepada perempuan nescaya kasih ia kepada kita.
  • Menang dalam peperangan.
  • Penerang hati.
  • Di jauhkan dari segala penyakit.
  • Dibaca 70 kali tiap-tiap hari aman dari ancaman raja-raja dan pembesar yang zalim yang hendak membunuhnya.
  • Dibaca ditempat yahng suci nescaya dapat melihat malaikat, jin dan syaitan.
  • Dibaca dimalam jumaat 20 kali boleh melihat orang didalam kubur.
  • Aman daripada binatang-binatang buas.
  • Air laut menjadi tawar.
  • Terlepas daripada terkena bunuh juka dibaca kepada tubuh badan.
  • Jika ditulis dan dijadikan azimat atau dibaca pada sawah aman daripada ancaman babi, tikus atau burung.
  • Terselamat daripada bahaya musuh dan seteru.
  • Terselamat dari karam dilaut.
  • Jika dibaca pada minyak malam jumaat tiga kali boleh memudahkan perempuan beranak jika meminumnya.
  • Orang yang pekak jika dibaca pada telinganya selama 7 hari nescaya mendengar.
  • Orang gila atau yang dirasuk oleh iblis apabila dibaca ditelinga tiga kali insyaallah lari iblisnya.
  • Boleh tawarkan segala jenis bisa termasuk bisa sengat binatang seperti lebah, ular dan ikan.
  • Boleh tawarkan segala jenis racun dan santau, seperti yang diperbuat daripada miang rebung, ulat buku mati beragan, hempedu katak dan sebagainya.
  • Terkeluar daripada penjara apabila dibaca bersungguh-sungguh.
  • Dijadikan jampi untuk menghalau jin dan syaitan.
Cara untuk merawat pesakit yang menderita kerana perkara diatas; letakkan tangan ditempat yang sakit, tahan nafas dan baca al-Fathihah dan juga ayat Bismillah Enam ini. Tiup tempat tersebut dah urut sedikit. Baca juga ayat ini pada air untuk disapukan pada tempat yang sakit dan untuk di minum. Angin akan keluar daripada pesakit dan diikuti oleh muntah, insyaallah.
Doa ini juga boleh digunakan kepada binatang yang termakan rumput yang diracun atau yang dipatuk ular. Kaedah rawatannya adalah dengan memberi makan rumput dan meminum air yang telah dibacakan dengan doa diatas.
AMAL LAH BISMILLAH ENAM INI KERANA IANYA MENJADIKAN SEGALA JENIS RACUN AKAN TAWAR DAN TIDAK MEMBERI MUDHARAT KEPADA PENGAMAL KALAU TERMINUM. GELAS YANG MENGANDUNGI RACUN AKAN PECAH KALAU DIPEGANG OLEH PENGAMAL BISMILLAH ENAM. INSYAALLAH.

PUASA – syarat syarat batiniah

Puasa itu terdiri dari tiga peringkat:
  • Puasa umum
  • Puasa khusus
  • Puasa khusus dari khusus
Puasa umum iaitu mencegah perut dan kemaluan daripada memenuhi keinginnannya.
Adapun puasa khusus adalah puasa orang salih, dengan mencegah pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota-anggota tubuh lainnya dari dosa. Kesempurnaannya adalah dengan enam perkara:
PERTAMA. Memicingkan mata dan mencegah dari memandang kepada yang dicela dan makruh dan kepada yang membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingati Allah. Pandangan adalah merupakan panah yang beracun dari panah-panah Iblis yang di kutuk Allah. Barangsiapa yang meninggalkan pandangan kerana takutkan Allah nescaya dicampakkan oleh Allah keimanan dan kemanisan didalam hatinya. Lima perkara yang membatalkan puasa orang yang berpuasa adalah berdusta, mengumpat, mengadu domba, bersumpah palsu dan memandang dengan nafsu.
KEDUA. Menjaga lidah dari perkataan sia-sia, mengumpat, mengadu domba, berkata keji, kata permusuhan, kata-kata yang mengandungi riak. Lebih baik mendiamkan diri dan memenuhi waktu dengan berzikir dan membaca quran. Mengumpat dan berbohong adalah merosakkan puasa. Puasa adalah benteng, sesaorang yang berpuasa janganlah berkata keji dan perkataan jahil.
KETIGA. Mencegah pendengaran dari mendengar tiap-tiap yang makhruh. Setiap yang haram diucapkan maka haram juga lah mendengarnya. Maka berdiam diri sambil mendengar umpatan adalah haram.
KEEMPAT. Mencegah anggota tubuh yang lain dari segala dosa, tangan dan kaki dari segala yang makruh serta mencegah perut dari segala harta syubhat sewaktu berbuka. Tidak bererti puasa itu jika berbuka dengan bahan yang haram.
KELIMA. Tidak membanyakkan makanan yang halal waktu berbuka. Karung yang dibenci oleh Allah adalah perut yang penuh dengan makanan yang halal. Masakan dapat memperolehi faedah berpuasa untuk mengalahka nafsu, apabila semasa berbuka makan dengan banyak, dengan berbagai-bagai jenis makanan. Maksud dari berpuasa itu adalah mengosongkan perut untuk menghancurkan hawa nafsu, untuk menguatkan jiwa kepada bertakwa.
Malam Lailatul Qadar adalah malam yang terbuka padanya sesuatu dari alam malakut. Barang siapa yang menjadikan diantara hatinya dan dadanya tempat menampung makanan, maka terhijablah daripadanya. Barang siapa yang mengosongkan perutnya pun belum cukup unutk mengangkat hijab, sebelum cita-citanya kosong dari selain dari Allah.
KEENAM. Apabila sesudah berbuka, hatinya bergoncang antara takut dan harap kerana tidak diketahui sama ada puasanya diterima atau tidak. Sekira puasanya diterima, dia adalah sebahagian dari orang-orang muqarrabin, sekiranya tertolak maka ia adalah sebahagian orang-orang mamqutin.
Ada pun yang khusus dari khusus itu adalah puasa hati dari segala cita-cita yang hina dan segala fikiran duniawi yang mencegah selain dari Allah Azza wa jalla. Di kira batal lah puasa ini dengan berfikir selain dari Allah dan hari akhirat, dan berfikir tentang hal dunia, kecuali dunia yang dimaksudkan untuk agama.
Sesaoang yang berpuasa khusus dari khusus ini sekiranya berfikir pada siangnya apakah bahan yang akan di makan ketika berbuka nanti, nescaya itu dikira satu kesalahan padanya, kerana kurang percaya kepada rezeki yang Allah janjikan.
Inilah tingkat nabi-nabi, orang-orang sidik dan orang-orang muqarrabin, yang sentiasa menghadap hati kepada Allah Azza wa jalla.

Hikmat Surah al-Fathihah

BISMILLAH HIRRAHMANIRRAHIM
Sesiapa yang mengekalkan mambaca AlFathihah diantara sembahyang sunat subuh dengan Fardhu Subuh sebanyak 41 kali, makan fazilatnya ialah:
  • Meminta pangkat melainkan dapat.
  • Ia miskin melainkan kaya.
  • Ia berhutang melainkan dibayar Allah akan hutangnya
  • Ia sakit melainkan disembuhkan Allah.
  • Ia lemah malainkan dikuatkan Allah.
  • Ia berdagang di negeri orang,melainkan dimuliakan, dikasihi dan sampai cita-cita.
Berkata beberapa ulama termasuk beberapa orang murid kepada al-Sheikh al-Tamimi menyatakan:
“Suatu masa penyakit Taun dan wabak telah menyerang negeri Maltan dengan dahsyatnya kerana itu beberapa bayak kematian telah berlaku di negeri itu pada setiap hari.”
“Lalu tuan Sheikh al-Tamimi meminta sahabat dan muridnya membaca Fatihah keatas sesiapa yang dihinggapi oleh penyakit Taun dan wabak tersebut.”
“Maka kami pun membaca dan meniupkannya ke atas orang sakit itu, seketika lamanya kami lihat orang sakit itu pun sembuh dang penyakitnya berkurangan.”
Begitulah Fazilatnya sesiapa yang membaca 41 kali Fathihah keatas seorang yang sakit setelah itu dihembuskan kepadanya, Insya Allah afiat.

Pagar atau pendinding rumah.

Kaedah berikut dilakukan untuk mendinding rumah dan kawasannya juga tempat-tempat lain.
Untuk memagar rumah, mulakan dari bahagian kanan rumah. Mula-mula pacakkan teras kayu asam jawa disatu penjuru rumah (sebelah kanan) dan ketuk dengan pemukul besi hingga tenggelam paras bumi. Pijak tunggu tadi sambil mengadap ke penjuru lain yang di tuju dan baca:
  • Ini tembok Nabi Sulaiman
  • Dalamnya laut luarnya kota
  • Kalau kamu pecah kota ini
  • Kamu akan berenang dalam laut.
Tiup menghala penjuru yang hendak dituju. Baca bimillahal-Fathihah dan surah Yasin dari awal hingga ayat ke 9.

yasin1to9.jpg
Kemudian berjalan menuju ke arah penjuru lagi satu dengan membaca ayat ini berulang-ulang. Sambil membaca, Air Yasin di renjiskan disepanjang jalan ke penjuru yang dituju. Apabila tiba dipenjuru yang dituju, paku satu lagi tersa kayu asam jawa seperti yang dilakukan sebelum ini. Kemudian berdiri diatasnya sambil memandang penjuru yang berikutnya. Buat seperti tadi ke penjuru ketiga, kemudian seterusnya kembali ke penjuru yang mula-mula tadi.
Setelah menanam kesemua empat teras batang kayu asam jawa yang disediakan, pijaklah teras kayu asam jawa yang pertama tadi kemudian buat lingkungan di bahagian atas seluruh kawasan yang dipagar tadi, dengan isyarat tangan. Untuk tujuan ini, Air Yasin atau garam boleh digunakan untuk melinkungi bahagian atas rumah tadi.
Sekiranya terdapat penceroboh yang berniat buruk memasukki kawasan yang telah dipagar ini, nescaya ia akan rasakan bagai berada di tengah-tengah lautan yang luas, terkapai-kapai berenang unutk menyelamatkan dari lemas.
Begitu lah kebesaran Allah. ALLAHUAKHBAR.

Hikmat Surah al-Fathihah 2

Mengembalikan Pangkat
Sesiapa yang di pecat dari pekerjaannya atau jatuh pangkat yang disandang olehnya dan sukakan ia kembali kepada pangkatnya, hendaklah ia membaca Fathihah sebanyak 41 kali diantara Sunat Subuh dan Fardhunya selama 40 hari.
Jangan kurang dari bilangan ini dan jangan putuskan ayat-ayat yang dibaca.
Insayallah kembalilah pangkatnya semula atau menyandang pangkat yang lebih tinggi, percayalah kepada khudrat Allah.
Mendapat Zuriat
Sesiapa yang mandul tidak mendapat anak selama ia berkahwin dan suka pula hendak mendapat zuriat atau anak, hendaklah ia mengamalkan membaca surah Fathihah sebagaimana kaedah peraturan seperti ini:
Hendaklah membaca Fathihah sebanyak 41 kali selam 40 hari dengan tidak putus-putus dan tidak kurang bilangannya.
Masanya ialah diantara Sunat Subih dan Fardhu Subuh.
Insyaallah ia akan mendapat zuriat yang salleh lagi baik.
Fathihah di atas kapas.
Sesiapa membaca Fathihah 7 sebanyak 7 kali, kemudian diludahkan diatas sekeping kapas dan ditampalkan pada tempat yang luka atau kudis atau apa-apa sehaja penyakit kulit, akan bercantum lukanya dan sembuh kudisnya, dengan izin Allah.
Bacaan untuk pelayar
Jika di baca Fathihah sebanyak 41 kali di belakang orang yang hendak belayar, Inyaallah di selamatkan ia dalam pelayarannya dan di kembalikan semula ke tanah air dalam keadaan sihat afiat.
Jika hendak membereskan sesuatu pekerjaan
Sesiapa yang melakukan pekerjaan dan hendak selesaikan pekerjaan itu denga baik, bacalah Fathihah di tengah malam sebanyak 41 kali.
Insyaallah dimudahkan allah pekerjaannya dengan tidak mendapat suatu gangguan dan apa saja pekerjaanya dengan izin allah semuanya beres.
Jika berasa dahaga
Sesiapa yang berada dalam pelayaran atau perjalanan atau sesat maka takut ia dahaga atau lapar, hendaklah ia membaca Fathihah sekali diatas tapak tangannya, kemudian ditiupkan diatas tapak tangannya itu dan disapukan kemuka dan perutnya.
Insyaallah ia tidak akan merasa lapar atau dahaga pada hari itu.
Mengubat sakit telinga.
Jika mengidap sakit telinga baru atau pun lama, hendaklah dituliskan Fathihah dalam satu bekas ekmudian dihapuskan tulisan itu dengan minya mawar dan titikkan kedalam telinga, insayaallh afiat.
Minyak Fathihah.
Jika di bacakan 70 kali Fathihah kedalam minyak (apa saja jenis minyak) dan disimpan unutk persediaan bagi sakit-sakit angin, akhmar dan bagi menyegarkan tenaga dan urat. Juga bagi penyakit belakang dan pinggang. Insyaallah afiat apabila di gosokkan.
Menjadi Penawar.
Jika disengat binantang berbisa seperti lipan, kala atau ikan bersengat hendaklah diambil segelas air masuk kan sebutir garam jantan ( besar ) dalam air itu dan bacakan Fatihah sekali.
Kemudian di beri minum, Insyaallah akan hilang bisanya.

Doa Fatihah – Tok Kelaba

Syaikh Muhammad Husain bin ‘Abdul Lathif al-Fathani atau lebih dikenali dengan panggilan Tok Kelaba al-Fathani adalah ulama yang berasal dari Kelaba, Beris, Fathani Darus Salam. Beliau dilahirkan pada tahun 1280H/1863M dan kembali ke rahmatUllah pada 21 Sya`baan 1367H. Beliau juga terkenal dengan gelaran Tok Hadis kerana banyak menghafal hadis. Dalam karya beliau yang berjodol “Hadaaiqush Sholawaat fil khalawaat wal jalawaat“, beliau menisbahkan dirinya sebagai al-Kelantani muhtidan wal Kalabawiy baladan wal-’Asy`ari i’tiqaadaan wasy-Syafi`i madzhaban wal Junaidiy qudwatan wal-Haddadiy ‘amalan (yang dibangsakan kepada negeri Kelantan asal; Dan yang dibangsakan kepada Kelaba negeri; Dan yang dibangsakan kepada Im,am Abil Hasan ‘Ali al-Asy`ari i’tiqad pada ilmu Usuluddin; Dan yang dibangsakan kepada Imam Syafi`i pada Ilmu Fiqh; Dan yang dibangsakan kepada Imam Abil Qaasim al-Junaid al-Baghdadi ikutan pada Ilmu Tasawwuf; Dan yang dibangsakan kepada Habib ‘Abdullah al-Haddad amal pada wiridnya). Selain dari hadits, beliau juga banyak menghafal kitab-kitab antara yang dihafalnya ialah kitab “Furu’ Masa-il“.
Pada halaman 308 karangannya tersebut, beliau menulis sepotong doa yang elok dijadikan munajat kita sebagai upaya memohon keselamatan dengan berwasilahkan surah al-Fatihah:-
Soal: Adakah doa yang warid daripada Nabi s.a.w. dibaca kemudian daripada Fatihah yang tersebut itu atau tiada?
Jawab: Tiada berjumpa hamba faqir daripada kitab-kitab yang sudah faqir baca dan lihat, bahkan ada dapat daripada khat guru saya dari Fathani iaitu inilah doanya: “Ya Allah, dengan haq al-Fatihah dan dengan sir al-Fatihah, wahai Tuhan yang menghilangkan kebimbangan, wahai Tuhan yang menghilangkan kesedihan, wahai Tuhan yang menghindarkan segala bala bencana, Hindarkanlah kami ya Allah dari segala bala bencana, wabak penyakit, kebimbangan, kesedihan, pancaroba, kesusahan dan kemurkaan, demi rahmatMu wahai Tuhan yang Maha Pengasih.
Mudah-mudahan ada manfaatnya doa salihin tersebut bagi kita….. al-Fatihah.

Dzikrul Jalaalah

Tiada tuhan selain Allah
wujud sepanjang zaman
Tiada tuhan selain Allah
disembah setiap tempat
Tiada tuhan selain Allah
disebut setiap lidah
Tiada tuhan selain Allah
dikenali dengan keihsanan
Tiada tuhan selain Allah
setiap masa sentiasa mentadbir ‘alam
Tiada tuhan selain Allah
(Kami mohon) keamanan, keamanan dari kehilangan iman dan dari fitnah godaan syaithan. Wahai Tuhan yang sifat keihsananNya kekal abadi, telah banyak keihsananMu terhadap kami, keihsananMu yang berkekalan. Wahai Tuhan yang Maha Penyayang, Wahai Tuhan yang Maha Penganugerah, Wahai Tuhan yang Maha Pengasih, Wahai Tuhan yang Maha Pemurah, Wahai Tuhan yang Maha Pengampun, Wahai Tuhan yang Maha Pemaaf, ampunkanlah kami dan rahmatkanlah kami, Engkaulah sebaik-baik Pengasih.
Dzikrul Jalaalah adalah satu doa yang biasa diamalkan oleh para ulama kita. Ianya merupakan amalan berzikir menyebut lafaz tahlil diikuti permohonan untuk keamanan dari hilangnya keimanan dan keamanan dari fitnah godaan syaithan yang terkutuk. Dan ianya diakhiri dengan memohon keampunan dan rahmat Allah s.w.t. Almarhum Buya al-Maliki rahimahUllah dalam “Khulaashatu Syawaariqil Anwaari min ad`iyatis Saadatil Akhyaar” menganjurkan agar ianya dibaca setelah membaca asma-ul husna. Bisa sahaja dzikir dan doa ini dibaca tanpa didahului asma-ul husna sebagaimana diamalkan oleh sebahagian guru kita. Ya ianya bisa diamalkan kapan sahaja, sebaiknya dengan dawam. Mudah-mudahan kabul dan terpelihara dari hilangnya iman tatkala menghembuskan nafas kita yang terakhir…. Allahumma aamiin.

Hujan Oh Hujan

Hujan merupakan anugerah Allah kepada kita. Biasanya ia turun sebagai rahmat untuk disyukuri, dan kekadang ianya menjadi bala` ujian untuk disabari. Air seperti juga api, boleh menjadi sebab kehidupan dan boleh juga menjadi pemusnah. Oleh itu, apabila hujan turun, maka disunnatkan kita memohon kepada Allah Tuhan yang menurunkan hujan tersebut, agar ianya menjadi hujan rahmat, hujan yang memberi manfaat kepada kita dan tidak membawa bahaya serta kemudaratan.
Imam an-Nawawi rhm. menulis dalam “al-Adzkar” halaman 278 dalam “Bab maa yaquulu idzaa nazalal mathar” (Bab apa yang diucapkan tatkala turun hujan) bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. apabila melihat hujan turun, baginda berdoa:-
Allahumma shoyyiban naafi`aan
“Ya Allah, jadikan hujan ini hujan yang memberi manfaat”
Manakala pada halaman 280, Imam an-Nawawi rhm. menulis:-
Telah kami riwayatkan dalam Shohih al-Bukhari dan Shohih Muslim daripada Sayyidina Anas r.a. yang menyatakan: ” Telah masuk seorang lelaki ke dalam masjid pada hari Jumaat tatkala Rasulullah s.a.w. sedang berdiri berkhutbah. Lelaki tersebut berkata kepada Junjungan Nabi s.a.w.: “Wahai RasulAllah, telah binasa segala harta (akibat kemarau) dan telah terputus segala jalan (yakni usaha), maka mohonlah kepada Allah agar Dia menurunkan hujan kepada kami.” Maka Junjungan s.a.w. pun mengangkat kedua tangan baginda seraya berdoa tiga kali dengan ucapan: “Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami.” Anas berkata: “Demi Allah, tidak kami melihat satu awan pun di langit walau secebis antara kami dan bukit Sala`. Tiba-tiba muncul awan di langit seperti rupa perisai, maka tatkala awan tersebut berada di tengah langit, ia berkembang dan kemudian menurunkan hujan. Demi Allah, tidaklah kami melihat matahari selama seminggu (yakni terus menerus hujan turun selama seminggu). Kemudian telah masuk seorang lelaki kepada Junjungan Nabi s.a.w. pada Jumaat yang berikutnya sedang Junjungan berkhutbah. Lelaki tersebut berkata:- “Wahai RasulAllah, telah binasa segala harta (yakni sebab banjir) dan telah putus segala jalan (yakni usaha), maka mohonlah kepada Allah untuk menahannya dari turun (yakni menahan hujan dari berterusan turun)”. Maka Junjungan Nabi s.a.w. pun mengangkat tangan baginda seraya berdoa:-
“Allahumma hawaalayna wa laa ‘alainaa. Allahumma ‘alal aakaami wadhz-dhziraabi wa buthuunil awdiyati wa manaabitisy-syajar”
“Ya Allah, jadikanlah hujan ini turun di sekitar kami dan tidak atas kami. Ya Allah, turunkanlah ianya atas segala gunung-ganang, bukit-bukau, lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.”
Seketika juga kami keluar dan berjalan di bawah sinaran matahari (yakni, hujan berhenti turun).
Mudah-mudahan dapat kita amalkan dua doa yang mubarak ini yang diajar oleh Junjungan s.a.w. untuk menyambut hujan agar ianya menjadi sesuatu yang bermanfaat dan tidak memudaratkan. Mudah-mudahan Allah selamatkan negara kita dari segala bencana dan malapetaka. Mudah-mudahan Allah memberikan kesabaran kepada saudara-saudara kita yang telah ditimpa bencana serta menggantikan kemusnahan yang mereka alami dengan yang baharu dan pahala yang berlipat ganda. Allahumma aamiin.
Selain dari itu, eloklah diamalkan juga Sholawat Habib Hasan Ahmad BaHarun yang pernah aku postkan dahulu. Untuk memudahkan, maka aku postkan sekali lagi untuk tatapan kalian. Mudah-mudahan dalam dijadikan wasilah untuk mengajukan permohonan bagi kesejahteraan diri, ahli keluarga, harta benda dan kaum muslimin sekaliannya dari segala bala bencana, malapetaka, kemalangan, wabak penyakit, kezaliman bahaya hujan dan sebagainya.
Ya Allah Ya Tuhanku
Limpahkanlah sholawat ta’dhzimMu
Atas Junjungan Maulana Muhammad
Sebaik-baik makhluk ciptaanMu
Sholawat yang dengan keberkatannya
Engkau selamat sejahterakan kami
Juga ahli keluarga kami, anak-anak kami
Kaum kerabat kami, orang yang kami cintai
Guru-guru kami, murid-murid kami
Rakan taulan kami, jiran tetangga kami
Engkau selamat sejahterakan
Segala rumah kediaman kami, masjid kami
Ma’had kami, madrasah kami,
Ladang kami, pejabat tempat kerja kami,
Sekalian tempat kami dan segala harta-benda kami,
Dari bahaya gempa bumi dan pergerakannya
Dari bahaya hujan, angin, petir dan sebagainya
Dari bahaya kereta, kapal terbang, kapal laut dan lain kenderaan
Dari bahaya wabak, bala bencana, malapetaka dan seumpamanya
Dari bahaya jin, manusia, haiwan, thoghut, syaitan dan tipuannya
Dari bahaya jatuh, binasa, terbakar, tenggelam dan segala musibah
Dari bala` pada urusan agama, dunia dan akhirat
Kabulkanlah Ya Ilahi
Demi jah tuah Junjungan Nabi Pilihan al-Musthofa
Limpahkanlah juga sholawat
Ke atas ahli keluarga dan para sahabat baginda
Bersama-sama salam kesejahteraan yang sempurna

Ratib al-Haddad

Amalan peninggalan Imam al-Haddad rhm. yang terkenal dan banyak diamal orang kita di rantau sini, bahkan di seluruh pelusuk dunia Islam. Amalan yang berkat ini ialah ratib beliau yang terkenal dengan panggilan “Ratibusy Syahiir” atau “Ratibul Haddad“. Ratib ini telah banyak diamal oleh para ulama kita terdahulu dan posting aku kali ini hanya untuk mengkhabarkan beberapa nukilan ulama kita di Nusantara ini berhubung Ratibul Haddad. Aku mulakan dengan tulisan ulama terbilang yang paling produktif menulis iaitu Tok Syaikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathani. Di mana dalam “Kaifiyyah Khatm al-Quran” pada halaman 256 – 260, beliau memuatkan Ratibul Haddad sepenuhnya dan memberi pengenalan ratib ini dalam bahasa ‘Arab (maaflah aku masih tak dapat nak tulis dalam font Arabic, masih tak tahu apa penyakitnya) yang bererti: “Inilah ratib Tuanku Wali yang ‘arif billah, Imam ahlillah, asy-Syaikh al-Kabiir pada jalan Allah, Quthub rahaa-ddin, ‘Ayn a’yaanish Shiddiiqiin as-Sayyid ‘Abdillah bin ‘Alawi bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdullah yang dikenali sebagai al-Haddad Ba ‘Alawi al-Husaini…..” Dan pada halaman 261, Tok Syaikh Daud menukilkan satu faedah bahawa Sayyidina al-Imam Ahmad bin Zain mendengar daripada sebahagian orang sholeh dan ahli ilmu menyatakan yang Imam al-Haddad berkata:-
Bahawasanya sesiapa yang membaca ratib ini teristimewa lafaz tahlilnya dengan adab, hudhur hati, yakin dan niat (ikhlas bertaqarrub kepada Allah) dan menyempurnakan tahlilnya 1,000 kali, nescaya akan terzahir baginya sesuatu daripada segala nur milik Allah ta`ala.
Syaikh Ahmad bin Muhammad Kasim ulama kelahiran Jelebu, Negeri Sembilan pada tahun 1901M dan kembali ke rahmatullah pada tahun 1943. Menuntut ilmu ke Makkah al-Musyarrafah dan akhirnya membuka madrasah “al-Mubtadi` li Syari`ah al-Musthofa al-Hadi” atau madrasah “Nur ad-Diniyyah” di Melaka. Di madrasahnya Ratibul Haddad dijadikan wirid tetap dibaca setiap malam.
Tuan Guru Haji Muhammad Sulum @ Sulung al-Fathani (1895M – 1954M) pula menukilkan Ratibul Haddad dalam khatimahnya bagi karangannya “Gugusan Cahaya Keselamatan” di mana sebagai pengenalannya beliau menulis:-
“Kenyataan wirid yang sangat berkat dunia dan akhirat bagi waliyullah yang besar Habib ‘Abdullah al-Haddad dan ratib baginya.”
Bahkan ramai lagi ulama kita yang menjadikan Ratibul Haddad ini sebagai pakaian mereka seperti al-’Alim al-’Allaamah asy-Syaikh Muhammad Husein bin Abdul Lathif al-Fathani yang dikenali sebagai Tok Kelaba al-Fathani dan juga ulama terbilang Acheh Darus Salam, asy-Syaikh Teungku Hasan Krueng Kalee yang empunya kitab berjodol “Risalah Lathifah fi adabi adz-dzikri wa at-tahlil wa kaifiyyati tilaawati ash-Shomadiyyah ‘ala thoriqati Quthubil Irsyad al-Habib ‘Abdullah al-Haddad“.
Sebagai penutup, aku nukilkan di sini artikel berjodol “Syarh Ratib al-Haddad – Dari Yaman ke Dunia Melayu” karangan Fadhilatul Ustaz Wan Mohd. Shoghir bin Wan Abdullah al-Fathani (mudah-mudahan Allah memanjangkan usia beliau serta memanfaatkannya bagi agama dan umat).
Syarh Ratib al-Haddad
Dari Yaman ke Dunia Melayu
SEKURANG-KURANGNYA ada dua jenis “wirid” atau disebut juga dengan “Ratib” yang sangat berpengaruh di kalangan orang-orang Arab, terutama golongan “Habaib” (Habib-Habib atau Saiyid/Syed) yang datang ke dunia Melayu. Yang pertama disebut “Ratib Al-Haddad” dan yang satu lagi dinamakan “Ratib Al-Attas”. Sebahagian besar yang diketahui oleh para pengamalnya, “Ratib Al-Haddad” ialah satu amalan yang dapat menenangkan jiwa, penuh berkat, terdapat beberapa fadhilat yang kadang-kadang menyalahi adat. Wirid atau ratib yang tersebut adalah disusun berdasarkan ayat-ayat al-Quran, doa, selawat, istighfar, dan sejenisnya. Yang pertama mengamalkannya ialah Al-Quthub al-Ghauts al-Habib as-Saiyid ‘Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad Ba’alawi al-Huseini al-Hadhrami asy-Syafi’ie. Ulama besar keturunan Nabi Muhammad S.A.W ini dilahirkan di Tarim, Yaman, pada 5 Safar 1044 H/30 Julai 1634 M dan wafat pada 7 Zulqa’idah 1132 H/10 September 1720 M.
Artikel ini bukan menceritakan riwayat hidup ulama yang tersebut tetapi adalah lebih memperkenalkan satu-satunya manuskrip bahasa Melayu yang membahas secara mendalam tentang “Ratib Al-Haddad”. Perlu saya sebutkan di sini bahawa hingga kini belum dijumpai “Ratib Al-Haddad” bahasan yang mendalam sepertinya dalam bentuk cetakan bahasa Melayu. Sungguh pun demikian, belum begitu lama, terdapat yang diusahakan oleh Syed Ahmad bin Muhammad bin Zain bin Semit cetakan yang ditulis dalam bahasa Arab, cetakan yang kedua Zulhijjah 1417 H/1997M, diterbitkan oleh Pustaka Nasional Singapura. Manuskrip yang dalam bahasa Melayu diselesaikan pada hari Ahad, jam 4.00 petang, bulan 24 Syawal 1224 H/2 Disember 1809 M. Disalin kembali tahun 1317 H/1899 M. Judul lengkap manuskrip dalam bahasa Arab “Sabil al-Hidayah wa ar-Rasyad fi Syarh ar-Ratib al-Haddad”. Judul terjemahan dalam bahasa Melayu “Jalan Pertunjuk dan Pengajaran Pada Menyatakan Faedah Kelebihan Quthub Bangsa Haddad”. Karangan asal dalam bahasa Arab dilakukan oleh keturunan ulama tersebut, beliau ialah Habib ‘Alawi bin Ahmad bin al-Hasan bin ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad. Nama penterjemah dari bahasa Arab ke bahasa Melayu tidak dinyatakan, kemungkinan adalah diterjemahkan oleh yang mengaku pemiliknya bernama Ahmad Salim ibnu al-Marhum Syeikh Mat Juban Pontianak, Kampung Melayu.
Selain yang diberi judul di atas terdapat lagi manuskrip dalam bahasa Melayu, tetapi bahasan kandungannya berbeza, ialah “Kaifiyat Qiraat ar-Ratib al-Haddad“. Judul ini diterjemah oleh Saiyid Ahmad bin Muhammad al-’Aidrus, tidak terdapat tarikh selesai penterjemahan. Manuskrip ini bekas dimiliki oleh Ahmad bin ‘Abdullah bin Qadhi. Manuskrip “Kaifiyat Qiraat ar-Ratib al-Haddad” lebih bercorak cara-cara mengamalkan ratib, tanpa mengemukakan dalil. Sedang “Sabil al-Hidayah wa ar-Rasyad” (manuskrip yang pertama) secara garis besar kandungannya ialah lebih mengutamakan dalil-dalil al-Quran dan hadis lebih lengkap untuk membuktikan bahawa amalan yang diajar oleh Quthub al-Ghauts al-Habib as-Saiyid ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad adalah tidak menyimpang dari ajaran Islam yang diajarkan oleh datuk nenek beliau, iaitu Nabi Muhammad S.A.W. Jika kita membuat perbandingan kandungan yang terperinci antara manuskrip bahasa Melayu dengan yang bahasa Arab cetakan Pustaka Nasional Singapura ternyata ada beberapa perkara yang dibicarakan dalam manuskrip Melayu tidak terdapat dalam yang bahasa Arab. Demikian juga sebaliknya.
Dalam manuskrip yang bahasa Melayu dicatatkan tulisan Saiyid ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad dalam “Kitab Manaqib“, kata beliau, “Barangsiapa orang yang membiasakan atas ratib kami, nescaya dikurniai [oleh] Allah Ta’ala akan dia sebaik-baik kesudahan mati di dalam kalimah … “. Yang dimaksudkan di sini ialah mati dalam agama Islam dan beriman. Sebagaimana terdapat pada salah satu doa dalam ratib, yang terjemahannya “… matikan kami dalam agama Islam“. Doa ini pula ada hubungkait dengan doa dalam ratib juga, yang maksudnya, “Kami semata-mata ridha terhadap Allah, tuhan kami, kami suka agama Islam, adalah agama kami dan Nabi Muhammad S.A.W, Nabi kami. ” Terhadap Allah, Islam dan Nabi adalah sangat ditekankan dalam ilmu ‘aqidah supaya beri’tiqad dengan jazam dan betul. Perlulah diperhatikan, kerana sewaktu kita masuk kubur yang tersebut adalah pertama-tama perkara yang ditanya. Selain fadhilah untuk menghadapi sakarat al-maut, beliau sebut juga bahawa “Ratib al-Haddad” berfungsi “Dipeliharakan [oleh] Allah Ta’ala daripada terbakar, dan kecurian, dan tiada terbunuh orang akan dia … Ratib ini dibaca tiap-tiap ditimpa dukacita, nescaya diberi [oleh] Allah kesukaan“. Semua yang diriwayatkan bahawa bacaan-bacaan dalam ratib ada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam hadits shahih.
Sebagai bukti “Ratib al-Haddad” sangat berpengaruh, dalam rangka “Majlis Haul Habib as-Saiyid ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad”, telah diadakan perhimpunan acara membaca ratib tersebut di Masjid Baitul Aman, di Jalan Damai, Kuala Lumpur, pada malam Sabtu 1 Zulqa’idah 1426 H/3 Disember 2005 M. Yang hadir selain dari seluruh Malaysia, ramai pula yang datang dari Singapura, Brunei Darussalam, Indonesia, India, Yaman, dan negara-negara lainnya. Acara diteruskan ke Batu Pahat (Johor), Temerloh (Pahang) dan Singapura. Selain membaca “Ratib al-Haddad” juga diadakan ceramah yang khusus membicarakan kehebatan dan jasa-jasa besar Saiyid ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad dalam penyebaran Islam. Karya-karya beliau telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa dan tersebar di seluruh dunia.
Mudah-mudahan Allah mencucurkan hujan rahmat dan keredhaan atas Shohibur Ratib Imam al-Haddad serta para ulama kita terdahulu …… al-Fatihah.
**************************************************
Ikhwah, sebenarnya hujjah yang dikemukakan oleh Cik Anon kita ini, adalahatsar Sayyidina ‘Abdullah bin Mas`ud r.a. Anon kita dengan taksubnya menshohihkan atsar tersebut dengan bersandarkan kepada al-Albani dan bukunya (maap le, kalam al-Albani ngak ada nilai di sini, kamu juallah perkataannya tempat lain). Tanpa menjelaskan kepada kita status atsar tersebut di sisi para ahli hadits yang lain. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam ad-Daarimi dalam sunannya, jilid 1 halaman 68, dengan sanad daripada al-Hakam bin al-Mubarak daripada ‘Amr bin Yahya daripada ayahnya daripadadatuknya (Amr bin Salamah). Menurut sebahagian muhadditsin, kecacatan atsar ini adalah pada rawinya yang bernama ‘Amr bin Yahya (yakni cucu Amr bin Salamah). Imam Yahya bin Ma`in memandang “riwayat daripadanya tidak mempunyai nilai”. Imam adz-Dzahabi menyenaraikannya dalam kalangan rawi yang lemah dan tidak diterima riwayatnya, dan Imam al-Haithami menyatakan bahawa dia adalah rawi yang dhoif. Jadi sanad atsar ini mempunyai pertikaian di kalangan muhadditsin, sekalipun dinyatakan shohih oleh panutan Cik Anon kita, al-Albani.
Jika pun atsar tersebut dianggap shohih, maka Cik Anon sepatutnya merujuk kepada tafsiran dan penjelasan para ulama yang muktabar mengenainya. Anon juga tidak berlaku amanah bila tidak memaklumkan bahawa berhubung zikir bersama-sama atau berjemaah dalam satu majlis mempunyai sandaran yang banyak lagi shohih daripada hadits-hadits Junjungan Nabi s.a.w. dan atsar – atsar. Cik Anon juga gagal memahami bahawa puak yang ditegur oleh Sayyidina Ibnu Mas`ud adalah golongan KHAWARIJ. Maka atsar Sayyidina Ibnu Mas`ud lebih kepada kritikan beliau kepada para pelaku yang tergolong dalam firqah Khawarij. Di mana golongan Khawarij memang terkenal dengan kuat beribadah, kuat sholat, kuat berpuasa, kuat membaca al-Quran, banyak berzikir sehingga mereka merasakan diri mereka lebih baik daripada para sahabat Junjungan s.a.w. Maka kritikan Sayyidina Ibnu Mas`ud ini ditujukan kepada kelompok Khawarij yang mereka itu mengabaikan bahkan mengkafirkan para sahabat kerana beranggapan ibadah mereka lebih hebat daripada para sahabat.
Oleh itu, janganlah digunakan atsar yang ditujukan kepada kaum Khawarij untuk kamu gunakan terhadap saudara kamu yang sangat memuliakan para sahabat Junjungan Nabi s.a.w. Sungguh sikap kamu ini jelas sikap Wahhabi yang menggunakan ayat-ayat yang ditujukan kepada orang kafir dan musyrikin untuk dijadikan peluru menghentam, membid`ah, mensyirik, mengkafirkan sesama Islam. Jangan kamu ingat para ulama kami tidak tahu mengenai atsar Sayyidina Ibnu Mas`ud ini. Takutlah kamu kepada Allah, kerana seperti yang kamu katakan bahawa agama ini milik Allah bukannya hakmilik kamu dan bukan milik ikutan kamu golongan serpihan umat itu. Jangan kamu merobek perkara yang telah dipandang baik dan elok, kalau tidak dengan ijma’ umat ini, setidak-tidaknya baik dan elok di sisi jumhur. Jangan kamu taksub dan fanatik kepada seorang imam kamu untuk menuding jari bahawa para Imam kami dan ulama kami membuat-buat bid`ah. Insaflah wahai Cik Anon, khazanah ilmu Islam itu luas, seluas lautan lepas tidak bertepi, bukan hanya dalam karangan-karangan al-Albani sahaja.
Akhir sekali, aku nukilkan di sini kalam Imam as-Sayuthi rhm. berhubung atsar Sayyidina Ibnu Mas`ud ini. Ikhwah dan Cik Anon boleh rujuk tulisan Imam Besar ini yang dengan jodol “Natiijatul Fikri fil Jahri fidz Dzikri” dalam “al-Hawi lil Fatawi” juz 1. Di situ Imam asy-Sayuthi menyenaraikan 25 hadits dan atsar yang diriwayatkan oleh asy-Syaikhan hinggalah yang diriwayatkan oleh al-Mirwazi berhubung berzikir secara jahar dan majlis zikir berjemaah. Berhubung atsar Ibnu Mas`ud, Imam asy-Sayuthi pada halaman 394 menyatakan, antara lain:
(Jika engkau kata) Telah dinukilkan yang Sayyidina Ibnu Mas`ud telah melihat satu kaum bertahlil dengan mengangkat suara dalam masjid, lalu beliau berkata: “Tidak aku melihat kamu melainkan (sebagai) pembuat bid`ah”, sehingga dikeluarkannya mereka dari masjid tersebut. (Kataku – yakni jawapan Imam as-Sayuthi) Atsar daripada Sayyidina Ibnu Mas`ud r.a. ini memerlukan penjelasan lanjut berhubung sanadnya dan siapa yang telah mengeluarkannya daripada kalangan para hafidz dalam kitab-kitab mereka. Jika dikatakan ianya memang tsabit, maka atsar ini bercanggah dengan hadits-hadits yang banyak lagi tsabit yang telah dikemukakan yang semestinya didahulukan (sebagai pegangan) berbanding atsar Ibnu Mas`ud apabila berlaku percanggahan. Kemudian, aku lihat apa yang dianggap sebagai keingkaran Sayyidina Ibnu Mas`ud itu (yakni keingkarannya terhadap majlis-majlis zikir bersama-sama tadi) akan penjelasan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “az-Zuhd” yang menyatakan:- Telah memberitahu kami Husain bin Muhammad daripada al-Mas`udi daripada ‘Aamir bin Syaqiiq daripada Abu Waail berkata:- “Mereka-mereka mendakwa ‘Abdullah (yakni Ibnu Mas`ud) menegah daripada berzikir (dalam majlis-majlis zikir), sedangkan ‘Abdullah tidak duduk dalam sesuatu majlis melainkan dia berzikirUllah dalam majlis tersebut.” Dalam kitab yang sama, Imam Ahmad juga meriwayatkan bahawa Tsabit al-Bunani berkata:-“Bahawasanya ahli dzikrUllah yang duduk mereka itu dalam sesuatu majlis untuk berdzikrUllah, jika ada bagi mereka dosa-dosa seumpama gunung, nescaya mereka bangkit dari (majlis) dzikrUllah tersebut dalam keadaan tidak tersisa sesuatupun dosa-dosa tadi pada mereka”, (yakni setelah berzikir, mereka memperolehi keampunan Allah ta`ala).
Ikhwah, sekali lagi aku ingatkan bahawa para ulama kita bukan orang jahil dan bukanlah orang tidak takutkan Allah. Sungguh mereka lebih takutkan Allah, daripada kita semua, termasuklah Cik Anon kita. Oleh itu, berhati-hatilah bila mengkritik fatwa dan pandangan mereka. Aku sekadar membawa kalam mereka.
Allahu a’laam.

Berzikirlah

Junjungan Nabi s.a.w. bersabda: “Ucapan yang paling dikasihi Allah ada empat, iaitu:- SubhanAllah wal Hamdulillah wa La ilaha illa Allah wa Allahu Akbar”. Inilah kalimah-kalimah yang paling dikasihi Allah, yang sewajarnya sentiasa basah bibir kita menyebutnya. Setidak-tidaknya didisiplinkan diri kita untuk mengucapkannya 100 kali pagi dan 100 kali petang, agar kita memperolehi kebajikan yang banyak. Sibuk mana pun kita, cubalah disiplinkan diri, disela-sela waktu yang kita ada. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dalam “Sunan“, juzuk 5, halaman 288 – 289, sepotong hadits berdarjat hasan ghoribdaripada Muhammad bin Waziir al-Waasithiy daripada Abu Sufyan al-Humairiy iaitu Sa`id bin Yahya al-Waasithiy daripada adh-Dhahhak bin Humrah daripada ‘Amr bin Syu`aib daripada ayahandanya daripada nendanya bahawa Junjungan Nabi s.a.w. bersabda:-
من سبح الله مائة بالغداة و مائة بالعشي كان كمن حج مائة حجة، ومن حمد الله مائة بالغداة و مائة بالعشي كان كمن حمل على مائة فرس في سبيل الله أو قال غزا مائة غزوة، ومن هلل الله مائة بالغداة و مائة بالعشي كان كمن أعتق مائة رقبة من ولد إسماعيل، و من كبر الله مائة بالغداة و مائة بالعشي لم يأت في ذلك اليوم أحد بأكثر مما أتى به إلا من قال مثل ما قال أو زاد على ما قال
“Sesiapa yang bertasbih mensucikan Allah 100 kali waktu pagi dan 100 kali waktu petang, maka dia umpama orang yang mengerjakan 100 kali haji; Sesiapa yang bertahmid memuji Allah 100 kali waktu pagi dan 100 kali waktu petang, maka dia umpama orang yang menunggang 100 ekor kuda di jalan Allah, atau disabdakan baginda “orang yang berperang 100 peperangan (jihad)”; Sesiapa yang bertahlil mengesakan Allah 100 kali waktu pagi dan 100 kali waktu petang, maka dia umpama orang yang memerdekakan 100 orang hamba daripada keturunan Nabi Isma`il; Dan sesiapa yang bertakbir membesarkan Allah 100 kali waktu pagi dan 100 kali waktu petang, maka tiada seorang pun yang datang pada hari tersebut membawa pahala amalan yang lebih banyak daripadanya selain orang yang mengucapkan takbir seperti yang dia baca atau lebih banyak lagi.”
Besar sungguh rahmat dan kemurahan Allah, sungguh Allah itu asy-Syakuur, amalan yang sedikit dan ringan diganjariNya dengan berlipat-lipat kali ganda. Masih mahu lari ke tuhan-tuhan lainkah kita, ketuhanan yang palsu semuanya, selain Allah al-Haq. Kerajaan bagi bonus sebulan gaji, kita sudah gembira (yang tak gembira tu, kena demand le lebih kat Pak Lah), naik gaji 10%, kita gembira, Ini Allah balas ganjaran entah berapa peratus lipat gandanya (yang faham matematik kira sendiri, aku dah tak cukup jari nak kira), tak percaya lagikah kita kepada kasih sayang Allah terhadap hamba-hambanya yang beramal. Oleh itu, hendaklah kita sentiasa menjadi hamba-hamba yang taat beramal kebajikan, Allah tidak akan mempersia-siakan amalan hamba-hambaNya yang tulus beramal.

Khamis, September 21

Majlis Dzikir

Halaqah-halaqah dzikir di mana umat berkumpul biasanya dalam lingkaran berkeliling untuk sama-sama menyebut dan memuji Allah s.w.t. dan bersholawat serta bermunajat adalah satu perkara yang sudah jelas hukumnya dan tidak perlu kepada perbahasan yang panjang. Antara dalil ialah hadits shohih riwayat Imam al-Bukhari dalam “Shohih”nya pada “Kitab ad-Da`awaat” yang diriwayatkan daripada Qutaibah bin Sa`iid daripada Jariir daripada al-A’masy daripada Abu Sholih daripada Sayyidina Abu Hurairah r.a. di mana diriwayatkan bahawa:- Junjungan s.a.w. bersabda:-
Bahawasanya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang tugas mereka ialah mengelilingi segenap pelosok bertujuan mencari ahli dzikir. Maka apabila mereka menemui satu kaum (yakni satu kumpulan manusia) yang sedang berdzikrullah, mereka pun berseru sesama sendiri (yakni sesama malaikat tadi): “Marilah kepada hajat (tuntutan / tujuan) kamu (yakni tugas mereka mencari ahli dzikir tadi)”.
Junjungan meneruskan sabdaan:
“Maka malaikat-malaikat tersebut menyelubungi mereka (yakni kaum yang berdzikir itu) dengan sayap-sayap mereka sehingga ke langit dunia.”
Junjungan
meneruskan sabdaan:
“Lalu Tuhan mereka bertanya kepada para malaikat tersebut, sedangkan Dia lebih mengetahui daripada mereka: “Apa yang diucapkan oleh hamba-hambaKu?” Para malaikat menjawab: “Mereka bertasbih kepadaMu, bertakbir kepadaMu, bertahmid kepadaMu, bertamjid kepadaMu (mengagungkan Allah).”
Junjungan
meneruskan sabdaan:
“Maka Allah berfirman: “Adakah mereka melihatKu?”
Junjungan
meneruskan sabdaan:
“Lalu para malaikat menjawab: “Tidak, demi Allah mereka tidak melihatMu.”
Junjungan
meneruskan sabdaan:
“Maka Allah berfirman: “Dan bagaimana jika sekiranya mereka melihatKu?”
Junjungan
meneruskan sabdaan:-
“Para malaikat itu berkata: “Jika sekiranya mereka melihatMu, nescaya jadilah mereka lebih kuat beribadah keranaMu, lebih kuat bertamjid keranaMu dan lebih banyak bertasbih keranaMu.”
Junjungan meneruskan sabdaan:
“Allah berfirman: “Lalu apakah yang dipohon mereka kepadaKu?”
Junjungan meneruskan sabdaan:
“Para malaikat menjawab: “Mereka memohon kepadaMu akan syurga.”
Junjungan meneruskan sabdaan:
“Allah berfirman: “Dan adakah mereka melihatnya (yakni melihat syurga)?”
Junjungan
 meneruskan sabdaan:-
“Para malaikat menjawab: “Tidak, demi Allah, mereka tidak melihatnya.”
Junjungan meneruskan sabdaan:
“Allah berfirman: “Maka bagaimana jika sekiranya mereka melihatnya?”
Junjungan meneruskan sabdaan:
“Para malaikat menjawab: “Jika sekiranya mereka melihatnya, nescaya sangat berkehendaklah mereka kepadanya, lebih sungguh-sungguh memohonnya dan lebih besar keinginan terhadapnya.”
Junjungan meneruskan sabdaan:
“Allah berfirman: “Lalu dari apa mereka memohon perlindungan?”
Junjungan meneruskan sabdaan:-
“Para malaikat menjawab: “Daripada api neraka.”
Junjungan meneruskan sabdaan:
“Allah berfirman: “Dan adakah mereka melihatnya?”
Junjungan meneruskan sabdaan:-
“Para malaikat menjawab: “Tidak, demi Allah, mereka tidak melihatnya.”
Junjungan meneruskan sabdaan:-
“Allah berfirman: “Maka bagaimana jika sekiranya mereka melihatnya?”
Junjungan meneruskan sabdaan:-
“Para malaikat menjawab: “Jika sekiranya mereka melihatnya, nescaya jadilah mereka lebih kuat melepaskan diri daripadanya dan lebih takut lagi.”
Junjungan meneruskan sabdaan:
“Maka berfirmanlah Allah: “Maka Aku persaksikan kamu bahawa sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka.”
Junjungan meneruskan sabdaan:-
“Berkata satu malaikat daripada malaikat-malaikat tersebut: “Di antara mereka (yakni antara kaum yang berdzikir itu) ada fulan (yakni orang) yang bukan daripada kalangan mereka, sesungguhnya dia datang kerana sesuatu hajat keperluannya.” Allah berfirman: ” Mereka sekalian adalah kaum/kumpulan yang tidak celaka orang yang ada bersama mereka.”
Ikhwah, inilah antara dalil yang menggalakkan perhimpunan-perhimpunan dzikir. Untuk kesimpulan buat posting ini, aku nukil perkataan almarhum Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad dalam bukunya “Miftahul Jannah” yang telah diterjemah dalam bahasa Inggeris oleh murid beliau Dr. Mostafa al-Badawi dengan jodol “Key to the Garden” pada halaman 116 – 117:-
This hadith indicates what merits lies in a gathering for Remembrance and in everyone present doing it aloud and in unison, because of the phrases,”They are invoking You” in the plural, and “They are the people who sit“, meaning those who assemble for Remembrance and do it in unison, something which can only be done aloud, since someone whose Remembrance is silent had no need to seek out a session in someone else’s company. This is further indicated by the hadith which runs, “I am with him when he remembers Me; when he remembers Me within himself I remember him within Myself, and when he mentions Me in an assembly, I mention him in a better assembly.” Thus, silent Remembrance is differentiated from Remembrance said out loud by His saying, “….. remembers Me within himself,” meaning “silently,” and “in a better assembly,” meaning “aloud”.
Marilah kita sama-sama mempertingkatkan kerajinan diri untuk hadir ke majlis-majlis dzikir, termasuklah majlis-majlis ilmu yang bermanfaat. Tetapi adalah tidak benar, jika ditafsirkan majlis dzikir terhad kepada majlis – majlis ilmu sahaja sebagaimana tafsiran sesetengah geng anak Pak Wahab.
اللهم اجعلنا من الذاكرين لك كثيرا
“Ya Allah, jadikanlah kami dari golongan orang yang banyak berdzikir kepadaMu”

Gelengan Zikir

Ikhwah, rezeki semuanya daripada pemberian Allah, dah jadi rezeki mike Ukhtina Mardhiah, tergolek bahan untuk aku buat posting pertanyaanmu. Aku cakap pasal gaya-gaya zikir dulu, hak lain tunggu dulu noooo. Ikhwah, yang kumaksudkan dengan gaya di sini ialah perlakuan zahir seseorang tatkala berzikir, yakni biasa kita lihat sewaktu berzikir ada yang mengeleng – gelengkan kepalanya ke kiri ke kanan dan sebagainya. Bagi sebahagian orang yang menerima baiah thoriqat, maka dalam ijazah zikir mereka diajar gaya-gaya tertentu sewaktu melaksanakan zikir tersebut dengan falsafahnya masing-masing. Ada yang mengajar agar tarikan kalimah “Laa” itu bermula dari bawah pusat, kemudian dibawa sehingga ke dahi kemudian diturunkan kalimah “ilaha” ke bahu kiri dan akhirnya dipalu kalimah “Allah” terus masuk ke dalam hati sanubari. Ada yang menarik kalimah “La ilaha” daripada hati sanubari sebagai isyarat mengeluarkan dan menafikan segala aghyar yang ada di dalamnya, kemudian dilontarkan ke belakang melalui bahu kanan, kemudian dikembalikan kalimah “illa” ke bahu kanan dan dipukul kalimah “Allah” ke dalam hati sanubari. Gaya-gaya ini biasanya diajar oleh syaikh yang mursyid kepada anak muridnya sewaktu menerima baiah thoriqat mereka. Bagi yang bukan ahlinya maka mereka memandang sinis perlakuan ini tanpa terlebih dahulu melihat dan mengkaji dalil dan alasan mereka berbuat sedemikian. Oleh itu, kalau nak tahu pergilah bertanya dengan mereka-mereka yang ahlinya, seperti Ustaz Jahid Haji Sidek, Prof. Dr. Harun Din dan sebagainya. Jangan tanya ngan THTL, MAZA, pilot, karang percuma free je kena bid`ah haarrrrraammmmmm.
Bagi orang awam yang tidak berthoriqah seperti di atas, mereka juga apabila berzikir, kebiasaannya dan pada umumnya, bergerak-gerak dan tergeleng-geleng kepala mereka. Sebenarnya semua ini punya sebab, alasan dan dalil. Antaranya ialah riwayat daripada Sayyidina Ali r.a. yang mensifatkan perlakuan para sahabat antaranya:-
فإذا أصبحوا فذكروا الله مادوا كما يميد الشجر في يوم الريح
fa idza ashbahuu fa dzakarUllah maaduu kamaa yamiidusy syajar fi yawmir riih” yang bermaksud: “para sahabat apabila mereka berpagi-pagi mereka berzikrullah dalam keadaan bergerak (bergoyang) seperti goyangan pokok-pokok pada hari berangin.” Perkara ini juga disebut oleh Mufti Syaikh Ahmad bin Muhammad Sa`id Linggi dalam kitabnya “Faraa-idul Maatsir al-Marwiyyah lith Thoriqah al-Ahmadiyyah” di mana pada mukasurat 56 sebagai berikut:-
  • Al-Hafidz Abu Nu`aim meriwayatkan bahawa as-Sayyid al-Jalil al-Fudhail bin ‘Iyyadh berkata:- “Sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. apabila berzikir mereka menggerakkan badan condong ke kiri ke kanan seperti pohon kayu yang condong ditiup angin kuat.” Inilah di antara cara berzikir untuk keterangan lanjut mengenai cara ini, hendaklah ia menggerakkan tubuh badannya condong ke sebelah kanan memulakan dengan perkataan nafi “La” (daripada ayat tahlil La ilaha illa Allah) di sebelah kanan kerana nafsu yang condong kepada kejahatan ada di sebelah kanan. Kemudian menyebut lafaz “Allah” ketika badannya condong ke sebelah kiri, supaya hati menerima segala cahaya dan rahsia lafaz “Allah“.
Ustadz Muhibbul Aman Aly, pengasuh ruangan Istifta, Majalah Dakwah Bulanan terbitan Habib Taufiq as-Segaf dengan nama “Cahaya Nabawiy” dalam edisi 44 Th. IV Sya’ban-Ramadhan 1427H/September – Oktober 2006M telah ditanya mengenai dalil yang menjelaskan tentang cara membaca tahlil yang menoleh ke kanan dan ke kiri. Soalan tersebut dijawab:-
  • Sebenarnya tidak ada keharusan (peringatan: “harus” di sini mengikut pengertian bahasa Indonesia yang bererti “wajib atau mesti” dalam bahasa kita, jadi makna “tidak ada keharusan” ertinya “tidak ada kewajipan atau kemestian”, fahami betul-betul jangan salah faham karang sosat jalan) menggerak-gerakkan kepada ke kanan dan ke kiri dalam tatacara membaca kalimat tahlil. Akan tetapi jika cara itu dapat menambah kekhusyu’an pembaca dalam menghayati makna kalimat, maka hukumnya sunnahSedangkan cara yang umum adalah menoleh ke kanan pada kalimah nafi (la ilaha) dan menoleh ke kiri pada kalimah itsbat (illaAllah). Cara ini berdasarkan riwayat hadits yang artinya:- “Berkata Rasulullah s.a.w. kepada ‘Ali kw.: “Dengarkan perkataanku tiga kali, kemudian tirukan tiga kali dan aku mendengarkannya”. Lalu Rasulullah s.a.w. mengucapkan ‘La ilaha illa Allah‘ tiga kali dengan menoleh ke kanan pada kalimah nafi dan menoleh ke kiri dalam kalimah itsbat sambil memejamkan matanya. Demikian juga tentang gerakan badan secara spontan yang biasa dijumpai pada saat berdzikir, hukumnya adalah boleh. Karena gerakan itu merupakan reaksi spontan yang wajar ketika perasaan sedang terbawa oleh bacaan dzikir. Lihat: Bariqoh Mahmudiyah juz IV hal. 139 – 140Mausu`ah Yusufiah hal 175.
Oleh itu, janganlah dibesar-besarkan masalah manusia berzikir dengan gerakan badan dan gelengan kepala. Aku sendiri kalau berzikir dengan duduk diam je samalah macam berjalan tak hayun tangan gamaknye, macam robot. Apa yang lebih patut difikirkan kita dan mereka yang seberang tu ialah anak-anak muda termasuk juga kekadang anak-anak tua, yang tergeleng-geleng, terloncat-loncat kat konsert Jom Heboh yang turut diadakan di Negeri Darus Sunnah yang langsung tidak sunnah. Sebenarnya banyak lagi dalil, cuma aku tak larat nak muatkan di sini. Insya-Allah, ada kesempatan di lain ketika,dua`ukum.
  • p/s – Cahaya Nabawiy online ada gak, tapi update biasanya lambat. URLnya kat:- http://www.cahayanabawiy.or.id/

Tidur lagi

Satu lagi posting mengenai amalan sebelum tidur, harap ikhwah jangan pulak tertidur, bukan apa dah terlanjur kitab ada di tangan, apa lagi habaq mai le, kalau dah tahu jadi ingatan, kalau tak tahu, jadi tahu, betui tak, jangan jadi togey sudah. Hidup tahu, jangan hidup tak tahu.
Baiklah, kita semua sedia maklum bahawa beristighfar memohon keampunan Allah merupakan amalan yang mesti bagi kita hamba yang banyak dosa ini. Lidah hendaklah dibiasakan mengucapkan ucapan “Aku mintak keampunan Allah yang Maha Agung”, mudah-mudahan dari lidah terus ke hati, tapi ada gak ulama habaq yang lidah itu cuma dalil bagi apa yang ada dalam hati. Apa-apa pun yang penting betul-betul mintak keampunan Allah s.w.t. Selain beristighfar selepas sholat, kita juga dianjurkan untuk beristighfar sebelum tidur, bahkan benar-benarlah kita mohon keampunan Allah sebelum kita tidur kerana tidur itu saudaranya mati. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits berdarjat hasan gharib dalam Sunannya pada kitab ad-Da`awaat daripada Sholeh bin ‘Abdullah daripada Abu Mu`aawiyah daripada al-Washshaafi daripada ‘Athiyyah daripada Sayyidina Abu Sa`id r.a. daripada Junjungan Nabi s.a.w. bersabda:- “Sesiapa yang ketika merebahkan dirinya ke tempat tidur mengucapkan istighfar 3 kali, Allah akan mengampunkan dosa-dosanya walaupun seumpama buih lautan, sebanyak bilangan daun pokok, sebanyak bilangan pasir halus dan sebanyak bilangan hari-hari dunia.”
Selain beristighfar, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan satu doa ringkas yang sayogia kita amalkan sewaktu hendak melelapkan mata kita. Doanya اللهم قني عذابك يوم تبعث عبادك (Allahumma qinii ‘adzaabaka yawma tab`atsu ‘ibaadak) atau setengah riwayat “tab`atsu” diganti dengan “tajma’u” yang membawa erti permohonan agar diselamatkan Allah daripada azabnya pada hari kebangkitan atau hari perhimpunan di padang Mahsyar kelak. Haditsnya diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi daripada Ibnu Abu ‘Umar daripada Sufyan daripada ‘Abdul Malik bin ‘Umair daripada Rabi`iy bin Haraasy daripada Sayyidina Hudzaiifah al-Yamaani yang mengkhabarkan bahawa Junjungan Nabi s.a.w. apabila hendak tidur baginda meletakkan tangannya dibawah kepala baginda dan mengucapkan doa tersebut. Darjat haditsnya ialah hasan shohih. Jadi geng anak Pak Wahab tentu tak dak masalah nak amalkan…kan..kan…kan…. lainlah kalau dah tak caya sama Imam at-Tirmidzi.

Wirid Tidur

Waktu kecik-kecik dahulu, aku diajar dengan beberapa bacaan untuk diamalkan sebelum tidur. Bacaan-bacaan tersebut dinukilkan daripada kitab tok-nenek dahulu, kitab yang masyhur, di mana rata-rata golongan tua dahulu mengenali dan memilikinya. Kitabnya tak lain tak bukan kitab “Perukunan” dikenali juga sebagai “Perukunan Besar” karangan Syaikh Abdur Rasyid Banjar. Dalam kitab itu disebut sekali akan kaifiat dan kelebihannya, dan tidaklah aku ketahui akan sumber darjat riwayatnya itu. Tetapi bagiku, bacaan-bacaan tersebut tidaklah menjadi kesalahan atau bid`ah dholalah untuk diamalkan kerana semua bacaan – bacaan tersebut adalah tsabit pada syarak, cuma kelebihan yang dinyatakan dan waktu atau kaifiyat bacaannya sahaja yang mungkin kita yang jahil ini tidak tahu samada ianya warid daripada Junjungan s.a.w. dalam rupa bentuknya tersebut. Oleh itu jika kita dituntut untuk berhusnudz dzan, maka husnudz dzan terhadap ulama terdahulu terlebihlah wajar. Tujuan aku nukilkan di sini bukanlah untuk meninggalkan riwayat-riwayat yang shohih berkenaan doa, wirid dan zikir tidur sebagaimana diketahui umum dalam banyak hadits seperti riwayat Imam al-Bukhari berkenaan Ayatul Kursiy yang jika dibaca tatkala hendak tidur dipelihara kita daripada syaitan hingga ke pagi atau hadis berhubung tasbih Siti Fathimah r.anha atau hadits Imam at-Tirmidzi yang menyatakan apabila seseorang hendak tidur lalu membaca istighfar 3 kali nescaya diampunkan akan dosa kesalahannya walaupun sebanyak buih lautan, sebanyak bintang-bintang atau dedaun pohonan, sebanyak pasir halus dan sebanyak bilangan hari dunia. Kunukilkan di sini sekadar untuk dijadikan amalan tambahan bagi sesiapa yang berkehendak, sesiapa yang tidak mahu maka tidaklah ada apa-apa paksaan, kerana kita Ahlus Sunnah wal Jama`ah memang terkenal dengan sikap tasamuh yang tinggi sesama ahli kalimah “La ilaha illa Allah“. Oleh itu, harap jangan ada yang nak bercekak ngan aku dalam apa yang hendak kusampaikan, kerana kalau ada yang cekak, aku pun cekak, bila sama-sama cekak maka tidaklah boleh berlawan lagi sebab satu perguruan, terpaksalah guna buah 6 tolak 6. Tapi la ni dah timbul 2 cekak pulak, satu cekak Hanafi lagi satu cekak Syafi`i, kot. Eh, melalut pulak aku dalam arena seni pertahanan diri cekak mencekak ni (p/s – aku melawak je, jadi ahli cekak tak kiralah dari kumpulan mana, jangan marah nooo sebab aku dulu pun cekak jugak).
Berbalik kepada kitab Perukunan” maka tersebutlah pada mukasurat 25 – 26 demikian itu kitab begini bunyinya: “Sabda Rasulullah s.a.w. kepada sahabat:-Barangsiapa hendak tidur, jika belum membaca Quran 30 juzuk, jangan engkau tidur, maka baca olehmu akan Fatihah 3 kali maka serasa membaca Quran 30 juzuk. Barangsiapa hendak tidur jika belum perang sabilillah jangan engkau tidur, maka baca olehmu قل هو الله احد (al-Ikhlash) 3 kali maka serasa perang sabilillah. Barangsiapa hendak tidur jika belum memerdekakan hamba 40 orang jangan engkau tidur, maka baca olehmu sholawat 3 kali maka serasa memerdekakan hamba 40 orang. Maka barangsiapa hendak tidur jika belum memberi makanan segala mukminin maka jangan engkau tidur, maka baca olehmu Allahummagh fir lil mu`miniina wal mu`minaat wal muslimiina wal muslimaat 3 kali maka serasa memberi makanan segala mukminin. Barangsiapa hendak tidur jika belum naik haji jangan engkau tidur, maka baca olehmu akan SubhanAllah walhamdulillah wa la ilaha illaAllah wa Allahu Akbar 3 kali maka serasa naik haji.”
Begitulah, keterangan dalam kitab “Perukunan”, dan pernah juga aku terjumpa dalam kitab lain riwayat yang sedikit berbeza di mana Junjungan s.a.w. diriwayatkan bersabda kepada Siti ‘Aisyah r.anha ketika hendak tidur, “Wahai ‘Aisyah, jangan engkau tidur sebelum mengkhatamkan al-Quran, menjadikan para nabi mensyafaatimu kelak di hari kiamat, menjadikan semua orang Islam meredhaimu dan sebelum engkau mengerjakan haji dan umrah.” Siti Aisyah r.a. bertanya kepada Junjungan s.a.w.: “Ya RasulAllah, ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, apa yang engkau perintahkan aku lakukan empat perkara tersebut dalam waktu itu tidaklah dapat aku laksanakan.” Junjungan s.a.w. tersenyum dan menyatakan:- “Apabila engkau membaca suratul Ikhlas 3 kali, maka seolah-olah engkau mengkhatamkan al-Quran, apabila engkau membaca sholawat kepadaku dan ke atas para nabi maka kami akan mensyafaatimu pada hari kiamat, apabila engkau beristighfar untuk sekalian orang mukmin, maka telah redhalah mereka akan dikau, dan apabila engkau membaca SubhanaAllah wal hamdulillah wa la ilaha illaAllah wa Allahu Akbar, maka seolah-olah engkau berhaji dan berumrah.
Begitulah ikhwah, antara amalan yang disebut dalam kitab-kitab ulama dahulu. Sekadar untuk tatapan kalian, dan jika yang hendak memakainya, silalah, sesiapa yang tidak mahu, maka silalah jugak, yang penting jangan sampai tidur bersila, karang lenguh pinggang dan lutut.
اللهم اغفر للمؤمنين و المؤمنات و المسلمين و المسلمات
سبحان الله و الحمد لله و لا إله إلا الله و الله أكبر
باسمك اللهم احيا و اموت

Doa Jihad



AD-DU`A’ SILAAHUL MU`MIN

Tartib Ziarah Dhorih ash-Sholihin




Ikhwah, rehat sebentar dan atas permintaan yang tidak dapat aku tolak, maka kupaparkan di sini doa-doa yang dibaca sewaktu berziarah ke maqam para awliya yang disusun oleh al-Imam al-’Aarif bIllah al-Habib ‘Abdullah bin Husain bin Thohir, yang diamalkan sewaktu ziarah dan sebelum membaca yaasin dan bertahlil. Kepada yang berhajat, bolehlah beramal, sesiapa yang tidak mahu, tiadalah apa-apa paksaan. Ini bukan aku yang punya amalan, jadi janganlah nak marah ngan aku pulak. Mudah-mudahan amalan kita semua diterima Allah, mendapat rahmat daripadaNya serta mendapat syafaat daripada Junjungan s.a.w. dan keberkatan para awliya.

Sholawat & Istighfar

Imam asy-Syihab ar-Romli telah ditanya:
  • ” Adakah istighfar lebih afdhal daripada sibuk bersholawat dan mengucap salam ke atas Nabi s.a.w. atau dibezakan iaitu bagi orang yang kebiasaannya taat sholawat lebih afdhal dan bagi orang yang kebiasaannya maksiat istighfar lebih afdhal ?
Dijawab oleh Imam tersebut:-
  • “Bahawasanya menyibukan diri dengan sholawat dan salam ke atas Nabi s.a.w. lebih afdhal daripada menyibukan diri dengan istighfar secara mutlak.”
Jadi banyakan sholawat, tapi jangan pula lupa beristighfar dan memohon keampunan Allah s.w.t.

Jumaat Terakhir Bulan Rajab

Shohibus Samahah Almarhum Mufti Syaikh Ahmad bin Muhammad Sa`id bin Jamaluddin al-Linqi al-Malayuwi dalam kitabnya “Tuhfatul Awthan wal Ikhwan ” menulis:-
  • Daripada “Fawaaid”asy-Syaikh ‘Ali al-Ajhuri rhm. bahawa barangsiapa membaca ia pada akhir Jumaat daripada Rajab dan khatib di atas mimbar akan “AHMADU RASULULLAH MUHAMMADUR RASULULLAH” 35 kali tiada putuslah dirham-dirham daripada tangannya di dalam tahun itu.
Sewajar kita amalkan, mudah-mudahan timbul keberkatan dalam kelancaran rezki, hendaklah dibaca sewaktu Khatib duduk antara dua khutbah.

Zikir Berjamaah

Kutelaah akan kitab “Miftahul Falah wa Mishbahul Arwah” karangan panutanku Imam Ibnu Athoillah as-Sakandari yang merupakan khalifah Imam Abul ‘Abbas al-Mursi yang merupakan khalifah Imam Abul Hasan ‘Ali asy-Syadzili di mana termaktub antara lain:-
“Sebahagian orang berpendapat bahawa zikir yang dilakukan oleh satu orang dan zikir yang dilakukan secara berjemaah ibarat muadzdzin (tukang azan) yang tunggal dan muadzdzin jamaah. Sebagaimana muadzdzin jamaah suara-suara mereka lebih lantang dan lebih kuat sehingga boleh menembusi ruang udara yang tidak mungkin dijangkau oleh suara muadzdzin tunggal, demikian pula dengan zikir jamaah, ianya lebih banyak memberikan pengaruh ke dalam qalbu dan lebih memiliki kekuatan untuk mengangkat hijab qalbu berbanding zikir yang dilakukan secara sendirian. Selain itu, setiap orang akan mendapatkan pahala zikirnya sendiri dan pahala mendengar zikir orang lain.”
Allahummaj ‘alna minadz dzakiriin.

Tasbih 1000 Imam al-Haddad

Ini adalah seutas tasbih yang mengandungi 1000 bijian yang dinisbahkan kepada Imam Quthubul Irsyad al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad r.a. Bid`ah atau tidaknya menggunakan tasbih, bukan persoalanku, tetapi aku yakin para ulama tidak menyimpang dari jalan salafus sholeh yang tentunya berteraskan kepada jalan Junjungan Nabi s.a.w. Sekian ramai ulama yang a’laam yang tasbih sentiasa berada di tangan mereka untuk membantu mereka berzikir kepada Allah dan untuk menjalankan zikrullah pada tangan dan jari jemari mereka. Antaranya Imam Hasan al-Bashri, Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani, Imam as-Sayuthi dan banyak lagi. Renung sejenak, bukankah mereka-mereka ini layak untuk dijadikan ikutan (worthy to be followed), bukankah mereka-mereka ini warisnya Rasulullah s.a.w. ? Kalau bukan mereka, maka siapakah lagi yang layak ? Penggunaan tasbih telah merata di kalangan umat ini zaman berzaman berkurun-kurun sejak dahulu sehingga kini. Justru itu kenapa baru kini dipermasalahkan ? Bukankah atsar telah jelas menyatakan “ma ra ahu muslimuna hasanan fa huwa ‘inda Allahi hasan” [Apa-apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka ianya juga baik di sisi Allah]. Tidak cukupkah endorsement yang telah diberikan oleh para ulama tersebut baik secara senyap atau secara terang melalui tulisan dan amalan ? Kalau pun khilafiyyah, maka ianya persoalan pegangan pribadi, tidak pernah terdengar pihak yang mewajibkan penggunaannya, maka kenapa ada pihak yang mengharamkan penggunaannya ? Kalau khilafiyyah, hendaknya berlapang dada. Allahumma faqqihna fid din.

Ni`al al-Musthofa s.a.w. 4

Rupa bentuk lakaran ni`al yang tercatat dalam kitab “Jawahirul Bihar” karangan Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani.
  • Menurut Kiyai Haji Abdul Jalil Bakri, Mudir Pesantren Darut Tauhid, Brongkal, Pagelaran, Malang, Jawa Timur, sebahagian ulama menyatakan bahawa antara kelebihan timtsal / lakaran / gambaran / mitsal ni`al Junjungan s.a.w. adalah:-
  1. Apabila timtsal ni`al ini disimpan dalam rumah, maka rumah tersebut selalu mendapat perlindungan Allah dari berbagai marabahaya seperti kebakaran, kecurian dan sebagainya, serta penghuni-penghuni rumah tersebut akan memperolehi rahmat, barakah, keamanan, selama di rumah tersebut tiada suatu apapun yang menjadi pantangan masuk malaikat rahmat ke dalamnya.
  2. Apabila timtsal ini dibawa berpergian, maka perjalanannya diberkati dengan keamanan dan selamat serta berhasil.
  3. Apabila timtsal ini ditaruh di badan orang sakit, maka insya-Allah cepat disembuhkan Allah dengan keberkatan Sayyidina Empunya Ni`al.

Rabu, Ogos 31

Ni`al al-Musthofa s.a.w. 3

Malam ini 27 Rajab, umat sibuk memperingati Isra` dan Mi’raj Junjungan. Kemuliaan Junjungan terlalu amat sehingga apa sahaja bersama Junjungan turut menjadi mulia, seperti diisyaratkan oleh ayat “al-ladzi baarakNaa haulahu” (yang Kami, yakni Allah, berkati sekitarnya”), jika ayat tersebut menceritakan keberkatan Masjidil Aqsa, maka Junjungan s.a.w. ini kemuliaannya keberkatannya keagungannya melebihi segala selain Allah s.w.t., fikirkanlah wahai saudara lalu jadikanlah dirimu berada dalam daairah sekitar Junjungan s.a.w. dan sekitar pewaris dan khalifah Junjungan. Kemuliaan Junjungan tertumpah sehingga ke ni`alnya yang dibawa bersama menghadap Rabbul Jalil sehingga lakaran ni`al tersebut yang dilakar demi kecintaan kepada tuan empunyanya mengandungi keberkatan dan rahsia yang sukar diungkapkan. Lakaran ni`al Junjungan Nabi s.a.w. mempunyai rahsia dan keistimewaan di kalangan sebahagian ulama sehingga ianya dijadikan simbol bagi Usrah Dandarawi (iaitu pengamal Thoriqat Ahmadiyyah Rasyidiyyah Dandarawiyyah) di Mesir. Antara kelebihannya ialah seperti diceritakan oleh Imam al-Qasthaalani dalam kitabnya “al-Mawaahibul Laduniyyah” juz ke-2 mukasurat 174:-
Dan di antara kelebihannya yang telah dicuba manfaat dan keberkatannya ialah apa yang dikisahkan oleh seorang syaikh yang sholeh, Abu Ja’far Ahmad bin Abdul Majid:- “Aku telah membuat mitsal ni`al ini untuk seorang muridku, maka dia telah berjumpa denganku pada suatu hari dan berkata:- “Kelmarin aku telah melihat keberkatan ni`al ini yang ajaib. Isteriku telah ditimpa sakit yang berat sehingga hampir-hampir binasa, maka aku letakkan mitsal ni`al tersebut pada tempat sakitnya dan berdoa“ALLAHUMMA ARINIY BARAKATA SHOHIBI HADZAN-NA’LI” ( Ya Allah, tunjukkanlah aku keberkatan tuan empunya ni`al ini, yakni Junjungan Nabi s.a.w.), lalu dia disembuhkan Allah pada waktu itu juga.
Telah berkata Abu Ishaq:-”Telah berkata Abul Qaasim bin Muhammad:-”Di antara yang telah mujarrab keberkatannya ialah sesiapa yang membawanya bersama dengan niat untuk mengambil berkat, jadilah dia selamat daripada kejahatan penjahat, memperolehi kemenangan ke atas musuh dan mendapat penjagaan daripada syaitan yang jahat serta dipelihara daripada kedengkian orang-orang yang hasad. Dan jika dibawa oleh orang perempuan hamil yang sedang sakit hendak bersalin pada sebelah kanannya, nescaya dipermudahkan urusannya tersebut dengan pertolongan dan kekuatan Allah.”
Saudara, inilah antara penyaksian ulama kita berhubung lakaran ni`al al-Musthofa s.a.w. Percaya atau tidak terpulanglah, al-madad fil masyhad fil I’tiqaad nailul murad” (“Bantuan/ Sokongan sekadar penyaksian dan dalam pegangan teguh tercapainya tujuan”). Untuk pengetahuan, Imam al-Qasthaalani adalah seorang ulama terbilang, pemuka ilmu hadits dan fiqh mazhab Syafi`i. Antara gurunya ialah Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dan as-Sakhawi. Banyak mengarang kitab antara yang masyhur ialah Irsyadus Sari fi syarhi Shohihil Bukhari” merupakan syarah Shohih Bukhari dalam 10 jilid besar dan al-Is`aad fi talkhis al-Irsyad” merupakan furu’ feqah Syafi`i. Maka terpulanglah. Alfu Alfi Sholaatin Wa Alfu Alfi Salaamin ‘Alaika, Ya Shohibal-Mi’raaj. Alfu Alfi Sholaatin Wa Alfu Alfi Salaamin ‘Alaika, Ya Shohiban-Na’lain. (Jutaan sholawat dan salam untukmu Wahai Tuan Empunya Mi’raaj; Jutaan sholawat dan salam untukmu Wahai Tuan Empunya Dua Ni`al).

Rabu, Julai 27

Ni’al 2


Lakaran Ni`al al-Mustafa s.a.w. yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad Redha Khan Barelwi dan ditulis padanya bait-bait syair dalam bahasa Urdu yang menyanjung Junjungan al-Mustafa s.a.w. Syaikhul Hadits Maulana Zakaria al-Kandahlawi dalam catatannya untuk kitab “Syamail at-Tirmidzi” menyatakan:-“Gambar lakaran capal dan kelebihan serta keberkatannya telah diberikan dengan begitu terperinci di dalam kitab “Zadus Sa`id” karangan Maulana Asyraf ‘Ali Thanwi (rahmatullah ‘alaihi). Khasiatnya tidak putus-putus. Alim tersebut telah mengalaminya beberapa kali. Beliau berkata dengan menyimpan sebuah gambar lakaran capal ini seseorang itu akan diberkati dengan ziarah bertemu Rasulullah, akan dilepasi daripada ancaman kuku besi penzalim, mencapai kemasyhuran dan berjaya di dalam segala cita-cita melalui tawassul capal ini. ” Moga kita juga dapat memperolehi keberkatan ini, jika belum, bersabarlah mungkin belum ada rezeki, mungkin kecintaan belum benar-benar tulus, mungkin kekotoran jiwa belum memungkinkan pertemuan dengan sebersih-bersih dan sebaik-baik makhluk. Nartaji minkas syafa`ah, Ya RasulAllah.

Sandal Junjungan Mahkota Kemegahan

Ulama membuat lakaran atau imej sandal Junjungan s.a.w. demi kecintaan kepada Junjungan s.a.w. sehingga merasakan sandal di telapak kaki Junjungan s.a.w. lebih mulia dan lebih bertuah daripada diri mereka. Hal ini amat payah untuk difahami oleh orang – orang yang tidak mengenal cinta dan orang yang tidak pernah mengecapfana-ur-rasul. Perhatian diberikan hatta ke sandal Kekasih s.a.w. bukan kerana sandal tetapi kerana yang empunyanya. Tulusnya cinta pada Sang Kekasih telah menyebabkan keberkatan. Berbagai ulama telah mengarang berbagai kitab mengenai lakaran sandal atau ni`al al-Mustafa s.a.w. ini. Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani memperkatakannya serta membawa nukilan berbagai ulama dalam kitabnya “Jawahirul Bihar” jilid ke-3, Maulana Asyraf Ali Thanwi dalam “Zadus Sa`id”, Imam Ibnu ‘Asakir dalam kitabnya“Timtsalu Na’l an-Nabiy“, Imam Ibnu Muqri dalam kitabnya “Qurratul Aynayn fi Tahqiq Amr an-Na’layn“, Imam Abul Abbas al-Maqqari dalam kitabnya “Fathul Muta`al fi Madhin-Ni`al”, Imam al-Qashthalani dalam kitabnya “Mawahibul Laduniyyah” dan ramai lagi. Insya-Allah, jika diizinkan Rabbul Jalil kan kucuba mengutarakan serba sedikit mengenai keberkatannya buat renung sahabat yang berhajat. (Gambar sekadar hiasan)

Ni’al al-Musthofa s.a.w.

Sandal/Capal Junjungan menjadi simbol kepada para pencinta baginda bahawasanya segala tindak-tanduk, amal-perbuatan, bahkan apa saja hendaklah sentiasa atas jalan dan di bawah qadam Junjungan s.a.w. agar tidak tersimpang perjalanan menuju keredhaan Allah. Kemuliaan Junjungan tiada tara, sehingga Junjungan tidak diperkenankan Rabbul ‘Izzah untuk menanggalkan sandal baginda sehingga pertemuan di tempat pertemuan “qaba qawsaini aw adna” sandal masih berada di tapak kaki Junjungan. Sehebat-hebat mahkota para raja dan pemerintah tidak dapat melawan kemuliaan yang telah dicapai oleh sandal Junjungan s.a.w. Alfu alfi sholaatin wa alfu alfi salaamin ‘alaika Ya Shohiban Na’lain. (Gambar sekadar hiasan)