Tampilkan postingan dengan label Telaah kritis atas Doktrin Wahabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Telaah kritis atas Doktrin Wahabi. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 November 2011

Inilah Daftar Penerbit Buku dari Kalangan Wahabi ( Hati - Hati)

PENERBIT WAHABI
WASPADALAH....! Buku - Buku "Perusak Aqidah Penebar Fitnah"

- Ash-Shaf Media


- Cahaya Tauhid Press


- Darul Haq


- Darul Falah


- Darul Atsar


- Darul Hadist


- Darus Sunnah


- Darul Qolam


- Darus Salaf


- Darul Ilmi


- Daar An-Naba


- Griya Ilmu


- Hikmah Ahlus Sunnah


- Irsyad Baitus Salam


- Maktabah Salafy Press


- Media Tarbiyah


- Mubarak


- Nikah Media Samara


- Pustaka Elba


- Rumah Dzikir


- Pustaka Imam Abu Hanifah


- Pustaka Ibnu Katsir


- Pustaka Imam Asy-Syafi’i


- Pustaka Imam Muslim


- Pustaka As Sunnah


- Pustaka At Tibyan


- Pustaka At Tazkia


- Pustaka Imam Bukhari


- Pustaka Al Sofwa


- Pustaka Abdullah


- Pustaka Adz Dzahabi


- Pustaka Al Qowam


- Pustaka Al Ghuraba


- Pustaka Tazkia


- Pustaka Sahifa


- Pustaka At Tauhid


- Pustaka Sumayyah


- Pustaka Al-Haura


- Pustaka Al Inabah


- Pustaka An Najiyah


- Pustaka Ar Rayyan


- Pustaka At Taqwa


- Pustaka Salafiyah


- Pustaka Sunnah

Sabtu, 26 November 2011

Debat Aswaja vs Wahabi di Universitas Melbourne







…..Pada waktu itu, sebagian kaum Wahhabi berhasil merusak kamera yang merekam acara dialog. Akan tetapi, untung kaset rekamannya masih utuh dan dapat dipublikasikan sampai sekarang…..


Abdurrahman Dimasyqiyat adalah salah satu tokoh Wahhabi kelahiran Lebanon. Nama lengkapnya Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyat. Karya- karyanya mulai populer di kalangan Wahhabi Indonesia. Bahkan banyak pula tulisannya yang dipublikasikan melalui program software Maktabah Syamilah. Tetapi dari kalangan Wahhabi sendiri tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat.






Masa lalunya penuh dengan skandal. Di setiap tempat yang pernah di singgahinya, ia selalu bikin ulah. Lidahnya selalu menghujat umat Islam, generasi salaf (terdahulu) maupun generasi khalaf (terkemudian). Kerjanya, merubah ajaran agama. Mencela para kekasih Allah. Menyerang orang-orang saleh. Kebiasaannya, mencela orang-orang yang baik. Ia lupa bahwa Allah telah berfirman dalam hadits qudsi, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku deklarasikan perang terhadapnya.” Akibat ulahnya, akhirnya orang-orang banyak tahu kebusukan masa lalunya. Petualangannya dengan wanita- wanita cantik dan kegemarannya mengikuti para biduanita menjadi obrolan dari mulut ke mulut. Banyak pula yang membicarakan kisah-kisah kelamnya ketika di Universitas al-Azhar Cabang Lebanon dulu, dalam pemeriksaan yang suaranya direkam – rekamannya masih ada sampai sekarang, dan saksi-saksinya masih hidup -, di mana dalam rekaman itu ia mengakui telah melakukan perbuatan asusila, yaitu melakukan homo sex, yang dituduhkan kepadanya. Akibatnya, ia pun dikeluarkan dari Azhar Lebanon pada tahun 1972. Kasus itu, diakuinya sendiri. Abdurrahman Dimasyqiyat tidak menepis kejadian itu. Ia tidak menutup-nutupi aib dirinya. Bahkan tanpa merasa malu ia berterus terang telah melakukannya. Seakan-akan ia bangga dengan perbuatannya. Dengan enteng ia berkata, “Pada waktu itu aku masih belum baligh, catatan amal masih belum berlaku bagiku”.
debat
Tentu saja pengakuan seperti ini tidak aneh dari seseorang yang telah memutus hubungan dengan kerabatnya. Menyakiti kedua orang tuanya. Selalu gagal mencari pekerjaan yang mendatangkan hasil yang halal di Lebanon dan di Perancis. Akhirnya, apa boleh dikata, Abdurrahman Dimasyqiyat menjulur-julurkan lidahnya di belakang uang logam dan dolar sebagai penulis bayaran kaum Wahhabi. Ia memulung sisa-sisa makanan di bawah meja orang-orang gendut berperut besar dan berhati keras sekeras batu. Yaitu kaum Musyabbihah (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), dan kaum anti tawassul. Di antara mukjizat Rasulullah, adalah sabda beliau yang memperingatkan umatnya agar berhati-hati dengan kaum Wahhabi sebelum kemunculan mereka. Nabi bersabda, “Kepala kekafiran muncul di arah timur.” Dalam hadits lain, Rasulullah menunjuk ke arah timur, daerah Najd, dan bersabda: “Fitnah akan muncul dari sana, fitnah akan muncul dari sana, dan diucapkannya sampai tiga kali”. Kedua hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari. Akhirnya semua orang tahu siapa sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat. Identitasnya terungkap di Swedia. Ia melarikan diri dari perdebatan setelah menyetujui kesepakatan pada waktu yang dijanjikan. Kemudian ia mengira bahwa pengikut kebenaran melupakannya begitu saja ketika ia di Australia. Ternyata Abdurrahman Dimasyqiyat menyetujui debat publik bersama Syaikh Salim Alwan al-Hasani. Namun kemudian Dimasyqiyat takut, ragu-ragu dan berupaya menghindar. Sementara pengikutnya melakukan terror dan ancaman. Akan tetapi takdir Allah pasti terjadi.


Akhirnya perdebatan terjadi. Kebenaran tampak dan kebatilan sirna. Sesungguhnya kebatilan pasti sirna. Abdurrahman Dimasyqiyat telah berkali-kali diminta melalui radio dan surat kabar, agar siap berdebat. Namun ia selalu melarikan diri. Akhirnya ia pun terpaksa datang karena takut malu. Ia datang ke aula Universitas Melbourne pada hari Rabu tanggal 9 November 1994. Di aula itu telah disiapkan meja untuk Syaikh Salim Alwan dan Syaikh Abdurrahman al-Harari. Di depannya ada meja yang disiapkan untuk Abdurrahman Dimasyqiyat dan dua orang temannya. Di tengah meja itu ada mimbar untuk moderator.




Yang menarik perhatian, pada waktu itu Abduraahman Dimasyqiyat membawa komputer yang sering digunakannya untuk mengeluarkan dalil-dalilnya yang lemah. Sepertinya ia memang tidak hapal teks dan tidak menguasai banyak persoalan. Kemampuannya hanya mengulang-ulang pernyataan orang yang menjadi sutradara di belakangnya, yaitu kaum Wahhabi.


Perdebatan dimulai. Syaikh Salim melontarkan pertanyaan kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi menghukumi bahwa memanggil orang yang tidak ada di depannya atau memanggil orang mati (nida’ al-ghaib aw al-mayyit), seperti berkata “Ya Muhammad, atau ya Rasulallah (wahai Muhammad atau wahai Rasulullah)”, itu syirik akbar (besar) sebagaimana ditetapkan oleh Ibn Abdil Wahhab al-Najdi dalam kitab al-Ushul al-Tsalatsah. Sekarang, ini al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad, bahwa Abdullah bin Umar pada suatu hari kakinya mengalami mati rasa. Lalu ada orang berkata kepada beliau, “Sebutkan orang yang paling Anda cintai.” Lalu Ibn Umar berkata, “Ya Muhammad (Wahai Muhammad)”. Maka seketika itu kakinya sembuh. Apakah kalian kaum Wahhabi akan mencabut pendapat kalian. Dan ini yang kami kehendaki. Atau kalian akan memutuskan bahwa Abdullah bin Umar, al- Imam al-Bukhari, para perawi al-Bukhari, dan bahkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam, dan al- Albani pemimpin kalian, mereka semuanya kafir. Coba renungkan inkonsistensi Wahhabi ini. Pendapat mereka dapat mengkafirkan pemimpin-pemimpin mereka sendiri, yaitu Ibn Taimiyah dan al-Albani, bahkan mengkafirkan seluruh umat Islam, antara lain sahabat Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya.” Mendengar pertanyaan Syaikh Salim, mulailah serangkaian kebohongan Abdurrahman Dimasyqiyat. Setelah Syaikh Salim mengajukan pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat kebingungan. Lalu ia berkata: “Lafal “Ya Muhammad”, hanya terdapat dalam naskah cetakan kitab al-Adab al-Mufrad yang di-tahqiq Ustadz Kamal al-Hut. Dalam naskah-naskah lain, yang ada hanya lafal “Muhammad”, tanpa “Ya” untuk memanggil.”


Mendengar pernyataan Dimasyqiyat, Syaikh Salim segera mengeluarkan beberapa naskah al-Adab al-Mufrad yang dicetak oleh percetakan-percetakan lain. Ternyata, semuanya sepakat memakai redaksi “Ya Muhammad”. Sehingga hal tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kemudian, Dimasyqiyat semakin terkejut, ketika Syaikh Salim memperlihatkan naskah kitab al-Kalim al- Thayyib karangan Ahmad bin Taimiyah al-Harrani, panutan kaum Wahhabi yang mereka sebut Syaikhul Islam. Di mana dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah menyebutkan hadits Ibn Umar di bawah judul, “Bab yang diucapkan seseorang ketika kakinya mati rasa”. Naskah ini dicetak oleh kaum Wahhabi dan dikoreksi oleh Nashiruddin al-Albani, pemimpin mereka yang kontradiktif, yang menganggap perbuatan Ibn Umar itu syirik dan menentang tauhid. Dimasyqiyat telah berusaha mengingkari lafal “Ya” yang terdapat dalam hadits Ibn Umar dengan redaksi “Ya Muhammad”. Dimasyqiyat berkata, bahwa ia telah mencari lafal “Ya”, ternyata tidak menemukannya.


Akhirnya Syaikh Salim berkata: “Al-Albani, pemimpin kalian yang kontradiktif, berkata dalam al- Kalim al-Thayyib hal. 120 dalam mengomentari hadits “Ya Muhammad” yang disebutkan dan dianjurkan oleh Ibn Taimiyah untuk diamalkan, sebagaimana terbaca dari judul kitabnya al-Kalim al-Thayyib (kalimat-kalimat yang baik). Al-Albani berkata: “Kami memilih menetapkan “Ya”, karena sesuai dengan sebagian manuskrip yang kami temukan.”


Anda telah gagal wahai Dimasyqiyat. Kami menuntut Anda berdasarkan pimpinan-pimpinan Anda yang kontradiktif, di mana al-Albani menemukan manuskrip yang di dalamnya terdapat lafal “Ya Muhammad”, lalu dia anggap menentang tauhid dan termasuk perbuatan syirik menurut asumsinya. Coba Anda lihat (hal. 16 kitab al-Kalim al-Thayyib), yang dicetak di percetakan al-Syawisy al-Wahhabi dengan nama al- Maktab al-Islami, ta’liq (komentar) Nashiruddin al-Albani, pemimpin Wahhabi yang kontradiktif. Pernyataan al- Albani menjadi dalil yang menggugat Anda dan dia sendiri. Kemudian Syaikh Salim memperlihatkan naskah tersebut, dan berkata kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Aku ulangi pertanyaanku lagi kepada Anda, untuk mengingatkan bahwa Ibn Taimiyah menyebut atsar (hadits) ini dan menetapkannya. Ia tidak menjadikannya sebagai kesyirikan dan kekufuran. Bagaimana komentar Anda. Adakalanya Anda mengatakan bahwa Abdullah bin Umar, al-Bukhari sampai pimpinanmu, Ibn Taimiyah adalah orang-orang sesat dan kafir. Atau Anda mencabut pendapat Anda.”


Mendengar pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat menjadi gagap. Ia tidak menjawab pertanyaan. Tetapi beralih pada tema-tema lain. Lalu Syaikh Salim mengingatkan kepada hadirin, bahwa Dimasyqiyat menghindar dari jawaban. Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya yang tadi dengan pertanyaan tambahan. Yaitu riwayat hadits seorang tuna netra yang diajari oleh Rasulullah agar berdoa, “Ya Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhanku dengan perantara dirimu.” Hal ini agar dilakukan bukan di hadapan Rasul. Hadits ini shahih, riwayat al-Thabarani dan lainnya. Al-Thabarani dan lainnya juga menilainya shahih.


Syaikh Salim berkata: “Apakah Anda berasumsi wahai Abdurrahman, bahwa Rasulullah telah mengajarkan kesyirikan, dan bahwa sahabat yang menjadi perawi hadits tersebut serta al-Imam al- Thabarani mengajarkan kesyirikan? Jelas ini tidak mungkin”. Mendapat pertanyaan tersebut, tampak sekali Abdurrahman Dimasyqiyat lemah, di mana moderator mengingatkan bahwa ia berupaya beralih dari jawaban, dan kelemahannya jelas sekali.


Di tengah dialog tersebut, Abdurrahman Dimasyqiyat mengakui bahwa ia telah menulis beberapa kitab untuk membantah al-Muhaddits al-Habasyi. Akan tetapi ia menerbitkannya dengan memakai nama orang lain, seakan-akan mereka yang menulisnya. Di antaranya kitab al-Radd ‘ala Abdillah al-Habasyi, karya penulis palsu Abdullah al-Syami. Anehnya, laki-laki ini menghendaki agar orang- orang percaya sama dia. Padahal ia mengakui sendiri telah berbuat bohong dan merekayasa dengan menulis buku yang dinisbatkan kepada nama-nama fiktif.


Setelah itu, Syaikh Salim mengulangi menyebut hadits laki-laki tuna netra tersebut yang isinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadapkan diriku kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu, Muhammad, nabi pembawa rahmat”, serta menyebutkan para hafizh yang menilainya shahih. Ternyata Abdurrhman Dimasyqiyat juga mengakui bahwa hadits tersebut shahih.


Lalu Syaikh Salim berkata: “Bagaimana kalian melarang manusia bertawassul dengan Rasul bukan di hadapannya, padahal Rasul telah mengajarkan laki-laki tuna netra tadi untuk bertawassul dengan beliau bukan di hadapannya? Apakah kalian akan mencabut keyakinan kalian. Atau kalian mengira bahwa kalian lebih pandai dari pada Rasulullah ?.”


Mendengar pertanyaan tersebut, Wahhabi yang berprilaku aneh itu kebingungan. Ia kemudian berbicara banyak, tetapi tidak berkaitan dengan topik pertanyaan. Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya, serta mengingatkan hadirin bahwa Dimasyqiyat melarikan diri dari jawaban. Di sini, Abdurrahman Dimasyqiyat mengalihkan pembicaraan pada kebohongan lain. Ia bermaksud mencela Syaikh al-Harari, untuk menutupi kegagalannya.


Ia berkata kepada Syaikh Salim: “Bagaimana Syaikh Abdullah men-tahqiq kitab, yang di dalamnya terdapat redaksi bahwa sebagian auliya berkata kepada sesuatu “kun fayakuun”, tanpa menentang redaksi tersebut, serta mengingatkan rusaknya redaksi tersebut. Kitab tersebut telah dicetak dan saya punya kopiannya.” Mendengar pernyataan tersebut, moderator melakukan intervensi, dan meminta kopian itu agar isinya bisa diperlihatkan kepada hadirin. Ternyata semua yang hadir terkejut. Karena sampul kitab tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kitab tersebut bukan di-tahqiq oleh Syaikh Abdullah. Kitab tersebut justru di-tahqiq dan dikoreksi oleh orang lain, bernama Husain Nazhim al-Hulwani, dan diberi kata pengantar oleh Syaikh Muhammad al-Hasyimi, bukan Syaikh al-Harari.


Di sini, untuk menambah jelas kelemahan dan keanehan ahli bid’ah ini, Syaikh Salim berkata kepada Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi mengkafirkan orang yang mengusap mimbar Nabi atau makam Nabi. Kalian mengklaim mengikuti golongan Hanabilah, berpegang teguh dengan madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal. Padahal Ahmad bin Hanbal berkata, “Boleh mengusap mimbar Nabi, dan pusar yang ada di mimbar itu.” Bahkan Ibn Taimiyah berkata dalam kitab yang dinamakannya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim (hal. 367 terbitan Mathabi’ al-Majd al-Tijariyyah), “Ahmad dan lainnya memberikan keringanan dalam mengusap mimbar dan pusar mimbar itu yang merupakan tempat duduk dan tangan Nabi.” Bagaimana pendapat kalian? Apakah kalian mengkafirkan al-Imam Ahmad, di mana kalian mengklaim mengikuti madzhabnya? Atau kalian mengkafirkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam? Bukankah ini sebuah inkonsistensi?”


Mendengar pertanyaan ini, Dimasyqiyat wahabi yang ahli bid’ah itu tidak bisa menjawab. Ia tampak sekali kelemahannya. Lebih-lebih setelah Syaikh Salim menambah penjelasan dengan menyebut kutipan al- Mirdawi al-Hanbali bahwa Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, seorang imam mujtahid berkata: “Disunnatkan mencium hujrah (makam) Nabi“.


Untuk mengalihkan persoalan, dan menjaga raut mukanya, yang tampak sangat pucat sekali, Dimasyqiyat bertanya kepada Syaikh Salim tentang firman Allah:


الرّحمن على العرش استوى


“Allah Yang Maha Pengasih ber-istawa terhadap ‘Arsy.”


Mendengar pertanyaan tersebut, Syaikh Salim menjelaskan persoalan tersebut dengan sejelas-jelasnya. Beliau memaparkan pendapat Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengenai hal itu, bahwa istiwa’ Allah terhadap Arsy bukan seperti istiwa’-nya makhluk. Istiwa’ dalam ayat tersebut, bukan diartikan duduk dan bukan pula menetap. Akan tetapi istiwa’ tersebut adalah suatu makna yang layak bagi Allah, yang tidak menyerupai makna istiwa’ ketika disandarkan kepada makhluk, sebagaimana dalam perkataan al-Imam Ahmad bin Hanbal, “Allah ber-istawa sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur’an, bukan seperti yang terlintas dalam benak manusia.”


Meskipun Mu’tazilah sama dengan Ahlussunnah dalam menafsrikan istiwa’ dengan makna menguasai (al- qahr) dalam ayat ini, maka hal tersebut tidak bisa dibuat alasan mencela Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Bukankah Mu’tazilah juga mengucapkan kalimat la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah). Apakah Ahlussunnah harus meninggalkan kalimat tersebut karena Mu’tazilah mengucapkannya? Tentu saja tidak.


Setelah perdebatan berjalan dua jam. Sementara penjelasan Syaikh Salim sangat bagus dan jitu. Sedangkan Dimasyqiyat, tidak mampu memberikan jawaban. Untuk menutupi rasa malu, Abdurrahman Dimasyqiyat diam. Kemudian para pengikut dan teman-teman Dimasyqiyat berdiri melakukan kerusuhan dan tindakan yang anarkis secara kolektif. Sehingga sebagian hadirin meminta mereka menghentikan tindakan brutal tersebut.


Setelah mereka tidak mengindahkan pengumuman, akhirnya para hadirin menekan mereka dan polisi mengumumkan selesainya acara. Akhirnya mereka mulai meninggalkan aula Universitas Melbourne. Pada waktu itu, sebagian kaum Wahhabi berhasil merusak kamera yang merekam acara dialog. Akan tetapi, untung kaset rekamannya masih utuh dan dapat dipublikasikan sampai sekarang.


(Diambil dari Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi oleh Muhammad Idrus Ramli)


Untuk cuplikan video tentang Abdurrahman Dimasyqiyat bisa dilihat di situs-situs streaming video seperti Youtube. Beberapa dari video tersebut dapat dilihat di link-link berikut ini:


♦Link 1   ♦Link 2   ♦Link 3   ♦Link4    ♦Link5 

sumber http://www.sarkub.com/2011/debat-aswaja-vs-wahabi-di-universitas-melbourne/

Senin, 24 Oktober 2011

Sedekah dengan membaca Al Fatihah bagi orang yang telah meninggal dunia

Sedekah dengan membaca Al Fatihah bagi orang yang telah meninggal dunia





Oleh Zon Jonggol di Majelis Ahbaburrosul Forum diskusi ·




Sedekah dengan membaca Al Fatihah bagi orang yang telah meninggal dunia


Mereka masih saja mempertanyakan sedekah dengan membaca Al Fatihah bagi orang yang telah meninggal dunia.


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia


حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا


Telah bercerita kepada kami Isma'il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin 'Urwah dari bapaknya dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ


Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba'i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya'mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma'ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim 1674)


Kita boleh bersedekah dengan dzikrullah yakni tasbih, takbir, tahmid, tahlil, membaca Al Fatihah, membaca Yasin, bahkan mengkhatamkan Al Qur'an.


Mereka membantah dengan pendapat masyhur (pendapat secara umum) Imam As Syafi'i bahwa pahala bacaan tidak sampai. Padahal ada penjelasan pahala bacaan yang bagaimana yang tidak sampai.


Al Imam An Nawawi adalah murid Al Imam Syafi’i yang bersambung sanadnya kepada beliau, maka kita mengambil pendapat dari muridnya karena muridnya lebih tahu disaat seperti ketika Al Imam Syafi’i berbicara, sebagaimana yang diriwayatkan berikut,


*****awal kutipan*****
Suatu waktu Al Imam Syafi’i ditanya oleh seseorang yang kaya raya, dia berkata: “wahai Al Imam, aku berjima’ dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan, apa yang harusnya aku lakukan?”,
maka Al Imam berkata : “berpuasalah 2 bulan berturut-turut, dan jika terputus sehari saja maka harus diulang kembali dari awal”,
maka orang itu berkata : “tidak ada yang lain kah”, Al Imam menjawab : “tidak ada”.


Kemudian datang seorang miskin dan bertanya : “wahai Al imam, aku berjima’ dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan, apa yang harus aku perbuat?”
Al Imam menjawab : “berilah makan 60 orang miskin”, orang itu berkata : “ tidak ada yang lainkah wahai Al Imam?”, Al Imam Syafi’I menjawab : “tidak ada”.


Maka muridnya bertanya : “ wahai Al Imam mengapa engkau katakan demikian kepada orang yang bertanya, padahal memberi makan 60 orang miskin atau berpuasa 2 bulan berturut-turut keduanya bisa dilakukan?!”,


maka Al Imam berkata : “karena orang yang pertama adalah orang yang kaya raya, jika dikatakan kepadanya agar memberi makan 60 orang miskin maka bisa jadi ia akan berkumpul dengan istrinya setiap hari di siang bulan ramadhan, dan orang yang kedua karena dia orang miskin jika disuruh puasa maka hal itu sangat mudah baginya karena ia telah terbiasa dengan keadaan lapar setiap harinya, maka disuruh agar memberi makan 60 orang miskin, dan hal ini sulit baginya namun supaya tidak diulanginya lagi perbuatan itu”.


Demikian fatwa Al Imam Syafi’i, maka Al Imam mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i mengatakan bahwa pahala bacaan Al qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.
*****akhir kutipan*****


Jadi syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati), kalau niat tidak lurus seperti niat "jual-beli" maka pahala bacaan tidak akan sampai.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)


Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Ahmad bin Qasim al-Ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasillah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya ”.


Kemudian mereka mempertentangkan dengan mempertanyakan kaitannya dengan firman Allah ta'ala yang artinya, “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS An Najm [53] : 38-39)


Kita paham bahwa bahwa dosa seseorang tidak akan dipikul oleh orang lain namun kebaikan yang diusahakan oleh seseorang dapat diniatkan disedekahkan kepada orang lain tanpa mengurangi kebaikan (pahala) bagi orang yang telah melakukan kebaikan. Ayat tersebut hanya menafikan kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain. Allah Subhanahu wa ta’ala hanya mengabarkan bahwa orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri. Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya (mensedekahkan) kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insani” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”)


Mereka juga mempertentangkan dengan mempertanyakan kaitannya dengan hadit yang lain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim 3084)
Menurut mereka sedekah atas nama si mayyit hanya sampai bila yang mensedekahkan anaknya sendiri.
Pertanyaannya kalau sedekah sampai kepada si mayyit hanya dari anak si mayyit, bagaimana kalau yang bersedekah adalah keluarga si mayyit dan bagaimapula sampainya doa kaum muslim yang mensholat jenazahkan si mayyit ?


Sampai doa ataupun sedekah kaum muslim lainnya kepada si mayyit atas silaturrahmi yang dijalankan si mayyit sewaktu hidup. Selengkapnya telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/27/2011/09/22/sampai-karena-silaturrahim/


Begitupula para ulama menyatakan bahwa do’a dalam shalat jenazah maupun sedekah dari kaum muslim lainnya bermanfaat bagi si mayyit. Contoh, bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya Nabi bersabda: “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)


Senada dengan apa yang disampaikan dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar utang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.




Tidak ada pertentangan antara Al Qur'an dengan As Sunnah maupun pertentangan di dalam Al Qur'an atau di dalam As Sunnah.


Firman Allah Azza wa Jalla,
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa 4 : 82)


Firman Allah ta’ala dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an. Jikalau manusia mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maka pastilah yang salah adalah pemahaman mereka atau karena ketidaktahuan.


Kita tidak boleh memahami Al Qur'an dan Hadits hanya bersandarkan dengan pemahaman secara ilmiah yakni pemahaman menggunakan akal pikiran (otak/ratio/akal) dan memori. Contoh bagaimana akal pikiran tidak akan bisa menerima bahwa membaca Al Fatihah dapat digunakan untuk mengobati penyakit.


Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi; Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa beberapa orang sahabat melakukan perjalanan jauh dan berhenti untuk istirahat pada salah satu perkampungan ‘Arab, lalu mereka minta dijamu oleh penduduk kampung itu. Tetapi penduduk enggan menjamu mereka. Penduduk bertanya kepada para sahabat; ‘Adakah di antara tuan-tuan yang pandai mantera? Kepala kampung kami digigit serangga.’ Menjawab seorang sahabat; ‘Ya, ada! Kemudian dia mendatangi kepala kampung itu dan memanterainya dengan membaca surat Al Fatihah. Maka kepala kampung itu pun sembuh. Kemudian dia diberi upah kurang lebih tiga puluh ekor kambing. Tetapi dia enggan menerima seraya mengatakan; ‘Tunggu! Aku akan menanyakannya lebih dahulu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku boleh menerimanya.’ Lalu dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakannya hal itu, katanya; ‘Ya, Rasulullah! Demi Allah, aku telah memanterai seseorang dengan membacakan surat Al Fatihah.’ Beliau tersenyum mendengar cerita sahabatnya dan bertanya: ‘Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera? ‘ Kemudian sabda beliau pula: ‘Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah aku bagian bersama-sama denganmu.’ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi’ keduanya dari Ghundar Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Abu Bisyr melalui jalur ini, dia menyebutkan di dalam Haditsnya; ‘Kemudian orang itu mulai membacakan Ummul Qur’an, dan mengumpulkan ludahnya lalu memuntahkannya, setelah itu orang itu sembuh. (HR Muslim 4080) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=40&ayatno=62&action=display&option=com_muslim


Kalau kita ketahui terjemahan ayat-ayat Al Fatihah maka secara harfiah (dzahir) tidak akan ditemukan kaitannya dengan "penyembuhan" penyakit


Kita sebaiknya memahami Al Qur'an dan Hadits dengan akal qalbu(hati / lubb) sebagaimana Ulil Albab. Hali ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/11/2011/09/15/pahamilah-dengan-hati/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/16/dalil-akal/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/16/2011/08/23/pemahaman-secara-hikmah/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/15/keyakinan-ilmiah/


Pemahaman secara ilmiah dapat membuat mereka mengingkari pendapat Imam Al-Baihaqy, Imam An-Nawawy dan Ibnu Hajar tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana telah terurai dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/23/2011/09/07/klaim-mereka/


Pemahaman secara ilmiah dapat membuat ulama mereka mengingkari hadits Rasulullah seperti


Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/22/sebaik-baik-manusia/


Semakin hari semakin parah , adanya ulama-ulama memperlakukan perkataan Rasulullah bagaikan perkataan atau tulisan ilmiah semata. Semua karena mereka memahaminya secara dzahir, dengan akal pikiran (otak/rasio/logika) dan memori (ingatan) semata. Kita dapat temukan adanya ulama-ulama yang memperolok-olok "ila hadoroti". Inilah yang dinamakan fitnah akhir zaman.


Sebaiknyalah kita ingat peringatan Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya yang artinya,
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan". (QS Luqman [31]:6)


Sebaiknya janganlah kita merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits dengan akal pikiran masing-masing dan jangan pula mengikuti ulama-ulama yang tidak jujur karena tidak mau mengakui bahwa apa yang mereka sampaikan adalah upaya pemahaman (ijtihad) mereka sendiri malahan mereka mengatasnamakan pemahaman mereka sebagai pemahaman Salafush Sholeh sehingga muslim yang awam akan mengira bahwa setiap apa yang mereka sampaikan adalah pasti kebenaran. Kita harus ingat setiap upaya penterjemahan, penafsiran, pemahaman Al Qur'an dan Hadits, bisa benar dan bisa pula salah.


Marilah kita dalam memahami Al Qur'an dan Hadits mengikuti atau berpedoman dengan pendapat atau pemahaman para Imam Mazhab dan penejelasan dari para pengikutnya sambil kita merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits. Janganlah kita melakukan hal sebaliknya memahami Al Qur'an dan Hadits dengan akal pikiran masing-masing lalu membandingkannya dengan pendapat atau pemahaman para Imam Mazhab karena kita belem tentu berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak


Wassalam






Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Selasa, 11 Oktober 2011

Hukum Membaca Quran di makam (kuburan)



oleh : 


Sunnah hukumnya membaca Al-Qur'an di makam apalagi sampai mengkhatamkannya. Hal itu diterangkan di dalam kitab "Al-Adzkar (الأذكار) karya Imam Nawawi halaman 137 (lihat tulisan yang ada di foto !) sebagai berikut:








Artinya:
"Telah berkata Imam Syafi'i dan sahabat-sahabatnya: Disunnahkan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an di sisi mayit. Mereka berkata: Seandainya mereka mengkhatamkan Al-Qur'an secara keseluruhan, maka itu sesuatu yang baik.


Dan kami meriwayatkan di dalam kitab "Sunan Al-Baihaqi" dengan sanad hadits yang bagus, yaitu: Sesungguhnya Ibnu Umar mensunnahkan membaca awal dan akhir surat Al-Baqarah di makam (kuburan) setelah pemakaman jenazah."

Senin, 22 Agustus 2011

Ada Apa dengan Wahabi?

Di tangan kaum Wahabi, wajah Islam yang lembut menjadi penuh kebencian dan caci maki, wajah yang diliputi kasih sayang menjadi penuh dendam dan hujatan…"


Selama ini orang lebih merasakan kerasnya Wahabi dalam praktek-praktek keagamaan. Namun sesungguhnya, secara garis besar, dari manhaj pemikiran Wahabi, mereka juga memiliki beberapa prinsip keberagamaan yang keras.


Pertama, kembali kepada Al-Kitab dan as-sunnah. Prinsip ini bila dilihat dari lahirnya sungguh sangat mempesona siapa pun yang tidak memiliki pengetahuan terhadap syari’at yang didapat dari para ulama dan imam-imam mujtahid. Namun sayangnya, pada hakikatnya mereka hanya menyeru umat untuk?




Kedua, meninggalkan pendapat jumhur (mayoritas) ulama bahkan ijma' (konsensus) ulama umat Islam. Bila demikian halnya sesungguhnya mereka tidak lain?


Ketiga, memahami Al-Kitab dan as-sunnah hanya berdasarkan pemahaman diri sendiri, yang sudah pasti bersumber dari hawa nafsu. Sehingga dengan prinsip ini mereka selalu berusaha sekuat tenaga untuk?


Keempat, memaksa orang lain hanya mengikuti pemahaman yang mereka miliki karena menganggap hanya pemahaman merekalah yang benar sedangkan yang lain salah, meskipun itu datang dari mayoritas ulama dan imam-imam mujtahid umat Islam. Dan pada akhirnya?


Kelima, menganggap sesat siapa pun yang tidak sepaham dengan mereka bahkan dengan mudah mengkafirkannya.


Di samping itu, ada pula fakta-fakta lain yang juga berbahaya. Antara lain, Syaikh Al-Qanuji dalam kitabnya Ad-Dinul Khalish, jilid pertama, halaman 140, menjelaskan, “Taqlid terhadap madzhab termasuk bagian dari kesyirikan.”


Dengan demikian, berdasarkan pernyataan tersebut, umat Islam saat ini secara keseluruhan adalah kafir, karena mengikuti madzhab yang empat.


Syaikh Ali bin Muhammad bin Sinan dalam kitabnya Al-Majmu` Al-Mufid min `Aqidah At-Tawhid, halaman 55, menyatakan, “Wahai seluruh kaum muslimin, keislaman kalian tidak akan membawa guna, kecuali jika kalian mengumandangkan perang yang membabi buta terhadap thariqah tasawuf hingga lenyap, perangilah mereka sebelum kalian memerangi Yahudi dan Majusi.”


Dalam kitab I`shar At-Tawhid, Syaikh Nabil Muhammad mengatakan, “Tasawuf, para pengikut thariqah, dan para penduduk negara-negara Islam seperti Mesir, Libya, Maroko, India, Iran, Asia Barat, Syam, Nigeria, Turki, Romawi, Afganistan, Turkistan, Cina, Sudan, Tunisia, dan Al-Jazair adalah orang-orang kafir.”


Syaikh Hassan Al-`Aqqad dalam kitabnya Halaqat Mamnu`ah, halaman 25, menyatakan, “Kafir orang yang membaca shalawat untuk Nabi sebanyak 1.000 kali atau mengucapkan La ilaha illallah sebanyak 1.000 kali.”


Masih banyak fakta berbahaya yang lain




sumber http://majalah-alkisah.com/

Minggu, 21 Agustus 2011

Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan


Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (2) : dalil Waktu sahur dan Imsyak
Diantara Fitnah wahhaby dibulan Ramadhan :
  1. Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan bahkan Ibnu Taymiyahjuga fatwakan tarawih 20 rekaat
  2. Wahaby Mensyariatkan  Makan Sahur sampai mendekati waktu iqamat shalat subuh dengan dalih mengakhirkan sahur.
  3. WahabyMembid’ahkan Niat Puasa Wajib di Bulan Ramadhan
  4. Wahaby Membid’ahkan amalan membangunkan sahur dan shalat malam
  5. Wahaby Membid’ahkan membaca shalawat kepada nabi dan shahabat selepas shalat tarawih
  6. Wahaby Membid’ahkan komando diantara shalat tarawih
  7. wahaby Membid’ahkan tadarus dibulan ramadhan
  8. Wahaby Membid’ahkan ziarah kubur dibulan ramadhan
Dibulan ramadhan yang penuh berkah ini, Allah Subhanahu wata’ala melipat gandakan pahala amalan sunnah  sehingga menjadi seperti pahala amalan wajib. Sedangkan amalan wajib  adalah seumpama menunaikan 70 amalan wajib (fardhu) dibulan yang lain (Mafhum hadits dari Salman Ra. hadits Riwayat Imam baihaqi, Ibnu Hibban, Ibnu khuzaimah, al-ashbahani, dalam kitab shahihnya dsb).
Maka umat islam berbondong-bondang melakukan amalan-amalan sunnah pada bulan ramadhan ini. Malangnya musuh islam wahhaby menyebarkan fitnah dan membidahkan amalan umat islam (Lihat artikel sesat wahaby Majalah Al-Furqon, Edisi Khusus Th. Ke -9 Romadhon-Syawal 1430 H (September dan Oktober 2009) hal. 35-38. dan kitab sesat  “Qiyamu Ramadhan”, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu˜alaihi wa sallam , Penerjemah :  Qomar Suâ’aidi,  Cetakan Pertama, Penerbit Cahaya Tauhid Press))
Hamba yang dhaif ini mencoba membuat  bantahan terhdap fitnah wahaby dibulan ramadhan, bagi anda yang lebih alim dan lebih teliti lagi mungkin akan menemukan lebih banyak lagi dalil-dalil untuk membantah fitnah keji kaum mujasimmah wahhaby badwi najd ini.
I. Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan
Menurut pendapat jumhur iaitu mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali: 20 rakaat (selain Sholat Witir) berdasarkan ijtihad Sayyiduna Umar bin Khattab. Menurut mazhab Maliki: 36 rakaat berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Imam Malik dalam beberapa riwayat memfatwakan 39 rakaat[6]. Walau bagaimana pun, pendapat yang masyhur ialah mengikut pendapat jumhur bahkan ibnu taymiyah juga tarawih 20 rekaat!!!. Lihat dalam kitab fiqh 4 madzab dibawah ini :
Dalam Kitab “shalat tarawih 20 rekaat karya mufti mesir juga disebutkan seperti diatas :


Di Sisi Syafeiyyah bilangan raka’at terawih adalah 20 rakaat dan bukan 8 sebgaimana yang digembar-gemburkan oleh Mutasyaddid(pelampau) wahabi !

Didalam muka surat ini pula dijelaskan kenyataan Ibnu Hajar yang menyatakan di sisi kami selain ahli Madinah adalah 20 raka’at.sementara Ahli Madinah melakukan mereka itu dengan 36 raka’at.
Ibnu Taymiyah yang katanya imam badwi Najd wahaby juga fatwakan tarawih 20 rekaat :
Bacalah sendiri penulisan Dr Ali Juma’ah tantang terawih .Nak terjemahkan kurang masa.Walaubagaimana pun telah ana jelaskan dalam tajuk Terawih 20 rakaat. Didalam penulisan Dr Ali Jumaah juga menyatakan Ibnu Taimiyyah yang didokong oleh golongan MUTASYADDID(pelampau) juga memfatwakan bilangan rakaat terawih 20 rakaat.
Untuk dalil-dalil dalam perkara ini lihat pada artikel ini di bagian pertama.
http://salafytobat.wordpress.com/2009/09/04/fitnah-dan-bid%E2%80%99ah-wahaby-salafy-palsu-di-bulan-ramadhan-1/
II. Wahaby Mensyariatkan  Makan Sahur pada saat fajar sidiq telah tiba (sampai mendekati waktu iqamat shalat subuh dengan dalih mengakhirkan sahur).
Wahaby mentafsirkan makna hadits “mengakhirkan sahur” dengan makna :
mensyariatkan makan sahur sehingga lewat fajar sidiq bahkan mendekati waktu iqamat shalat subuh!
Padahal waktu puasa yang sebenarnya adalah dari terbit fajar sidiq sampai terbenam matahari sehingga menurut  imam madzab manapun akan batal puasa orang yang menyengaja makan setelah tahu fajar sidiq sudah tiba.
Adapun beberapa riwayat tentang sahabat yang masih makan sahur sewaktu adzan subuh adalah :
-          Kita pahami Mereka (para sahabat) memulai sahur sebelum adzan subuh (sebelum fajar sidiq) tetapi saat adzan subuh dikumandangkan mereka masih belum selesai makan. Jadi mereka secepatnya menghabiskan makanan tersebut. Bukan menyengaja memulai makan setelah tahu fajar sidiq telah datang. Hati-hatilah dengan tafsiran ahlul hawa khawarij wahhaby!
Dalil-dalil Waktu Sahur dan Hukum Imsak
  1. Firman Allah:”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”. (QS. 2:187).2. HR. Bukhari:Dari Sahl bin Sa’d, ia mengatakan: “diturunkan oleh Allah ayat ” .. dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” dan belum diturnkan kalimat “yaitu fajar [minal fajr]“, maka masyarakat kalau ingin melaksanakan puasa, salah satu diantara mereka mengaitkan benang putih dan benang hitam, dan mereka meneruskan makan hingga terang bagi mereka keduanya. Lalu Allah menurunkan kalimat “minal fajr, yaitu fajar”, maka mereka tahu, bahwa yang dimaksud adalah malam dan siang.3. HR. Turmudzi:Dari Samurah bin Jundub ra, ia mengatakan: RasululLah SAW mengatakan: Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian, dan juga fajar yang memanjang, akan tetapi [yang melerai adalah] fajar yang menyebar di ufuk.4. HR. Bukhari:Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi SAW, ia mengatakan: Janganlah adzan Bilal mencegah salah satu di antara kalian dari makan sahurnya , karena ia mengumandangkan adzan di tengah malam, untuk mengingatkan di antara kalian yang bangun dan untuk membangunkan di antara kalian yang tidur.5. HR. Bukhari:
    .
    Dari ‘Aisyah ra, dari Nabi SAW, ia mengatakan: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq” [9] (HR. Bukhari no. 1918, 1919)..
6. HR. Bukhary Muslim
diriwayatkan dari Anas radliyallaahu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit bahwa dia pernah berkata :
”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami berangkat shalat (shubuh). Maka aku (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur? Ia (Zaid) menjawab : خمسين آية (kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” (HR. Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Berdasarkan hadits No. 5, maka inilah waktu yang paling tepat untuk berhenti makan atau sahur yaitu kadar membaca 50 ayat al-quran (dengan tartil dan wajar) sebelum adzan subuh (pada zaman nabi adzan ummi maktum).
Jadi pada zaman rasulullah ada dua adzan yaitu adzan bilal untuk membangunkan manusia agar shalat tahajud dan sahur, serta yang kedua adzan ummi maktum untuk shalat subuh.
Inilah salah satu dasar waktu imsak (waktu yang meragukan antara malam dengan fajar sidiq) yang mana seorang muslim akan berhati-hati atas perkara yang subhat ini.
taqrir003.0
Habib Hasan bin Ahmad bin Saalim al-Kaaf menyebut dalam “at-Taqriiraat as-Sadiidah fil Masaa-ilil Mufiidah” yang merupakan talkhish daripada ajaran guru-guru beliau terutama sekali al-’Allaamah al-Faqih al-Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin Zain BinSmith, pada halaman 444 menyatakan, antara lain:-
و يمسك ندبا عن الأكل قبل الفجر بنحو خمسين آية – ربع ساعة
…”Dan imsak daripada makan (yakni bersahur) itu mandub (disunnatkan) sebelum fajar kira-kira sekadar pembacaan 50 ayat ( sekadar seperempat jam @ 15 minit)”. Yakni seseorang itu disunnatkan melakukan imsak sebelum fajar kira-kira 15 minit atau kadar pembacaan 50 ayat yang sederhana dengan kelajuan yang sederhana. Inilah yang dimaksudkan oleh ulama kita sebagai waktu imsak yang disunnatkan sebagai langkah berhati-hati dan mengikut sunnah Junjungan Nabi s.a.w. Sedangkan imsak setelah masuk fajar adalah wajib. Oleh itu seseorang masih boleh makan-minum selepas waktu imsak tadi selagi mana waktu Subuh belum masuk kerana imsak pada waktu itu dihukumkan sunnat. Tidaklah benar dakwaan yang dibuat oleh Hafiz Firdaus & the gang yang menyatakan bahawa menetapkan waktu imsak beberapa minit sebelum fajar itu sebagai bid`ah dan tidak punya dasar dalam Islam. Ukuran minit-minit tersebut diambil daripada kadar pembacaan 50 ayat tersebut, yang merupakan kadar yang dinyatakan dalam beberapa hadits shohih sebagai senggang waktu antara sahur Junjungan s.a.w. dengan masuknya sholat. Antara hadits-haditsnya ialah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari berbunyi:-
عَنْ أنس عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال تَسَحَّرْناَ مع النبي صلى الله عليه و سلم ثم قام إلى الصلاة. قلت: كم كان بين الأذانِ و السُّحُوْرِ؟ قال: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيةً
Daripada Sayyidina Anas meriwayatkan bahawa Sayyidina Zaid bin Tsabit r.a. berkata: “Kami telah makan sahur bersama-sama Junjungan Nabi s.a.w., kemudian baginda bangun mengerjakan sembahyang. Sayyidina Anas bertanya kepada Sayyidina Zaid:- “Berapa lamanya antara azan (Subuh) dengan masa makan sahur itu ?” Dia menjawab: “Kira-kira sekadar membaca 50 ayat.”
Hadis ini menunjukkan bahawa jarak atau senggang masa antara bersahurnya Junjungan s.a.w. dan azan Subuh ialah kira-kira 50 ayat. Sekali-kali ianya tidak membawa makna yang Junjungan s.a.w. makan sahur sehingga berkumandang azan Subuh, yang jelas ialah ia menyatakan bahawa Junjungan bersahur dan berhenti kira-kira kadar pembacaan 50 ayat sebelum masuk waktu Subuh. Inilah yang difahami oleh para ulama kita sehingga menetapkan kesunnahan berimsak dalam kadar pembacaan 50 ayat tersebut yang dianggarkan pada kadar 10 – 15 minit. Senggang masa antara sahur dan masuk fajar (azan subuh) yang dinamakan sebagai waktu imsak yang dihukumkan sunnat imsak (menahan diri daripada perkara membatalkan puasa), diperjelaskan lagi dalam sepotong hadits yang juga riwayat Imam al-Bukhari berbunyi:-
عَنْ أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم و زيد بن ثابت تَسَحَّرَا، فلما فرغا من سحورهما قام نبي الله صلى الله عليه و سلم فصلى. قلنا لأنس: كم كان بين فراغهما من سحورهما و دخولهما في الصلاة ؟
قال: قدر ما يقرأ الرجل خَمْسِيْنَ آيةً
Daripada Sayyidina Anas bin Malik r.a. bahawa Junjungan Nabi s.a.w. bersahur bersama-sama dengan Sayyidina Zaid bin Tsabit. Apabila kedua mereka selesai daripada sahur mereka, baginda bangun mendirikan sembahyang. Kami bertanya kepada Anas: “Berapa lamakah masa (senggang waktu) di antara selesai mereka berdua daripada sahur dan masuk mereka berdua kepada sembahyang (yakni “berapa lamakah masa antara selesai Junjungan dan Zaid bersahur dan masuknya waktu sholat Subuh”). Dia menjawab: “Sekadar 50 ayat yang dibacakan seseorang.”
7. Mukmin wajib meninggalkan perkara yang subhat
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ                                                        [رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah e bersabda: Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “.                        (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Dari nash-nash di atas, ada beberapa kesimpulan sebagai berikut:
[1] Waktu berakhirnya sahur [mulai berpuasa] adalah terbitnya fajar yang menyebar di ufuk, yang dalam fikih disebut sebagai “fajar shadiq”, bukan fajar yang memanjang vertikal, yang dalam fikih dinamai “fajar kadzib”.
Fajar kadzib adalah terangnya ufuk secara vertikal, yang beberapa menit kemudian diikuti oleh kegelapan kembali. Sementara fajar shadiq adalah fajar yang semakin lama semakin terang hingga matahari terbit.
[2] Sebelum turun kalimat “minal fajr, [yaitu fajar]“, sebagian sahabat ada yang mengira, bahwa yang dimaksud dari ayat di muka adalah terangnya pagi hingga tampak jelas perbedaan antara benang putih dan benang hitam. Baru setelah turunnya kalimat tsb, mereka mengerti bahwa yang dimaksud adalah terbitnya fajar. Jadi sejak terbitnya fajar, puasa telah dimulai.
[3] Pada masa Nabi SAW, ada dua adzan yang dikumandangkan di pagi buta. Pertama adzannya Bilal ra. sebelum terbit fajar, untuk membangunkan mereka yang tidur, dan untuk mengingatkan mereka yang telah bangun akan dekatnya fajar. Karena itu, Nabi memberitahukan kepada para sahabat, bahwa adzan Bilal tidak untuk mengumandangkan datangnya subuh atau terbitnya fajar, dus, tidak merupakan peringatan mulainya berpuasa. “Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian”.
Adzan kedua adalah adzannya Ibnu Ummi Maktum, yang dikumandangkan saat terbitnya fajar. Dan ini adalah waktu di mulainya berpuasa.
[4] Fajar kadzib dan fajar shadiq adalah gejala alam seperti halnya terbitnya mega merah di ufuk barat [pertanda waktu Maghrib], condongnya matahari ke barat [pertanda waktu Dzuhur], dan gejala-gejala alam lainnya. Gejala-gejala alam ini, sejak lama sekali telah dapat diketahui melalui ilmu falak [astronomi], sehingga untuk mengetahuinya tidak perlu melalui pengamatan alam secara langsung. Fajar misalnya, untuk mengetahuinya tidak perlu kita keluar ke alam bebas, kemudian mengamatinya dengan mata telanjang, akan tetapi cukup dengan memanfaatkan kemajuan di bidang astronomi.
Karena itu, penentuan waktu salat kita, dan juga waktu imsak puasa kita, selama ini secara keseluruhan memakai standar ilmu falak, bukan melalui pengamatan alam secara langsung. Dan pada kenyataannya, penentuan ini lebih akurat dan lebih bisa dipertanggungjawabkan ketimbang pengamatan secara langsung tsb.
[5] Ilmu Falak yang banyak berkembang di penanggalan kita masih bersifat “taqdiry”, atau bersifat perkiraan, belum mampu menetapkan waktu dengan keakuratan 100 %. Masih terdapat keragu-raguan sekitar satu hingga dua menitan dari waku faktualnya. Karena itu, dalam penanggalan yang banyak berkembang di negara kita, terdapat waktu “ihtiyath”, waktu preventif atau jaga-jaga. Misalnya, waktu dzuhur: sesuai dengan ketentuan ilmu falak yang ada, adalah jam 12:00. Akan tetapi karena keakuratannya belum mampu mancapai 100 %, maka dalam penanggalan ditambahi lima menit. Jadi yang tercatat dalam penanggalan adalah 12:05, dengan asumsi ada waktu preventif 5 menit. Begitu pula waktu-waktu salat lainnya, ada penambahan antara tiga hingga lima menit dalam catatan di penanggalan.
[6] Dengan asumsi waktu preventif 5 menit, maka waktu subuh [terbitnya fajar] yang mestinya jatuh pada jam 4:30 [misalnya], menjadi jatuh pada jam 4:35 dalam pencatatan di penanggalan. Waktu yang sama, yakni terbitnya fajar, jika digunakan untuk menentukan mulainya berpuasa, maka akan terjadi pengajuan jam, dari jam 4:30 menjadi 4:20, dengan asumsi waktu preventif imsak 10 menit. Kalau waktu preventifnya adalah lima menit, maka waktu imsak sebagaimana dalam penanggalan adalah 4:25.
Dengan menghitung dua waktu preventif sekaligus, yakni preventif subuh dan preventif imsak, maka bisa dimengerti kalau jarak antara waktu imsak dan adzan subuh adalah 10 hingga 15 menit. Secara teoritik, mestinya waktu subuh dan waktu imsak adalah sama, yakni terbitnya fajar shadiq, akan tetapi dalam kenyataan yang tertulis dalam penanggalan bisa terpaut antara 10 hingga 15 menit.
Dengan melihat keterangan-keteranan ini, sebaiknya dalam berimsak mengikuti penanggalan yang ada. Akan tetapi jika terpaksa, bisa saja meneruskan makan dan minum hingga mendekati adzan subuh sekitar 5 menitan.
Demikian, semoga membantu.