Tampilkan postingan dengan label Dalil Ahlussunnah wal jama'ah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dalil Ahlussunnah wal jama'ah. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Oktober 2011

Sedekah dengan membaca Al Fatihah bagi orang yang telah meninggal dunia

Sedekah dengan membaca Al Fatihah bagi orang yang telah meninggal dunia





Oleh Zon Jonggol di Majelis Ahbaburrosul Forum diskusi ·




Sedekah dengan membaca Al Fatihah bagi orang yang telah meninggal dunia


Mereka masih saja mempertanyakan sedekah dengan membaca Al Fatihah bagi orang yang telah meninggal dunia.


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia


حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا


Telah bercerita kepada kami Isma'il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin 'Urwah dari bapaknya dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ


Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba'i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya'mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma'ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim 1674)


Kita boleh bersedekah dengan dzikrullah yakni tasbih, takbir, tahmid, tahlil, membaca Al Fatihah, membaca Yasin, bahkan mengkhatamkan Al Qur'an.


Mereka membantah dengan pendapat masyhur (pendapat secara umum) Imam As Syafi'i bahwa pahala bacaan tidak sampai. Padahal ada penjelasan pahala bacaan yang bagaimana yang tidak sampai.


Al Imam An Nawawi adalah murid Al Imam Syafi’i yang bersambung sanadnya kepada beliau, maka kita mengambil pendapat dari muridnya karena muridnya lebih tahu disaat seperti ketika Al Imam Syafi’i berbicara, sebagaimana yang diriwayatkan berikut,


*****awal kutipan*****
Suatu waktu Al Imam Syafi’i ditanya oleh seseorang yang kaya raya, dia berkata: “wahai Al Imam, aku berjima’ dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan, apa yang harusnya aku lakukan?”,
maka Al Imam berkata : “berpuasalah 2 bulan berturut-turut, dan jika terputus sehari saja maka harus diulang kembali dari awal”,
maka orang itu berkata : “tidak ada yang lain kah”, Al Imam menjawab : “tidak ada”.


Kemudian datang seorang miskin dan bertanya : “wahai Al imam, aku berjima’ dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan, apa yang harus aku perbuat?”
Al Imam menjawab : “berilah makan 60 orang miskin”, orang itu berkata : “ tidak ada yang lainkah wahai Al Imam?”, Al Imam Syafi’I menjawab : “tidak ada”.


Maka muridnya bertanya : “ wahai Al Imam mengapa engkau katakan demikian kepada orang yang bertanya, padahal memberi makan 60 orang miskin atau berpuasa 2 bulan berturut-turut keduanya bisa dilakukan?!”,


maka Al Imam berkata : “karena orang yang pertama adalah orang yang kaya raya, jika dikatakan kepadanya agar memberi makan 60 orang miskin maka bisa jadi ia akan berkumpul dengan istrinya setiap hari di siang bulan ramadhan, dan orang yang kedua karena dia orang miskin jika disuruh puasa maka hal itu sangat mudah baginya karena ia telah terbiasa dengan keadaan lapar setiap harinya, maka disuruh agar memberi makan 60 orang miskin, dan hal ini sulit baginya namun supaya tidak diulanginya lagi perbuatan itu”.


Demikian fatwa Al Imam Syafi’i, maka Al Imam mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i mengatakan bahwa pahala bacaan Al qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.
*****akhir kutipan*****


Jadi syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati), kalau niat tidak lurus seperti niat "jual-beli" maka pahala bacaan tidak akan sampai.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)


Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Ahmad bin Qasim al-Ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasillah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya ”.


Kemudian mereka mempertentangkan dengan mempertanyakan kaitannya dengan firman Allah ta'ala yang artinya, “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS An Najm [53] : 38-39)


Kita paham bahwa bahwa dosa seseorang tidak akan dipikul oleh orang lain namun kebaikan yang diusahakan oleh seseorang dapat diniatkan disedekahkan kepada orang lain tanpa mengurangi kebaikan (pahala) bagi orang yang telah melakukan kebaikan. Ayat tersebut hanya menafikan kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain. Allah Subhanahu wa ta’ala hanya mengabarkan bahwa orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri. Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya (mensedekahkan) kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insani” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”)


Mereka juga mempertentangkan dengan mempertanyakan kaitannya dengan hadit yang lain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim 3084)
Menurut mereka sedekah atas nama si mayyit hanya sampai bila yang mensedekahkan anaknya sendiri.
Pertanyaannya kalau sedekah sampai kepada si mayyit hanya dari anak si mayyit, bagaimana kalau yang bersedekah adalah keluarga si mayyit dan bagaimapula sampainya doa kaum muslim yang mensholat jenazahkan si mayyit ?


Sampai doa ataupun sedekah kaum muslim lainnya kepada si mayyit atas silaturrahmi yang dijalankan si mayyit sewaktu hidup. Selengkapnya telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/27/2011/09/22/sampai-karena-silaturrahim/


Begitupula para ulama menyatakan bahwa do’a dalam shalat jenazah maupun sedekah dari kaum muslim lainnya bermanfaat bagi si mayyit. Contoh, bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya Nabi bersabda: “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)


Senada dengan apa yang disampaikan dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar utang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.




Tidak ada pertentangan antara Al Qur'an dengan As Sunnah maupun pertentangan di dalam Al Qur'an atau di dalam As Sunnah.


Firman Allah Azza wa Jalla,
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa 4 : 82)


Firman Allah ta’ala dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an. Jikalau manusia mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maka pastilah yang salah adalah pemahaman mereka atau karena ketidaktahuan.


Kita tidak boleh memahami Al Qur'an dan Hadits hanya bersandarkan dengan pemahaman secara ilmiah yakni pemahaman menggunakan akal pikiran (otak/ratio/akal) dan memori. Contoh bagaimana akal pikiran tidak akan bisa menerima bahwa membaca Al Fatihah dapat digunakan untuk mengobati penyakit.


Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi; Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa beberapa orang sahabat melakukan perjalanan jauh dan berhenti untuk istirahat pada salah satu perkampungan ‘Arab, lalu mereka minta dijamu oleh penduduk kampung itu. Tetapi penduduk enggan menjamu mereka. Penduduk bertanya kepada para sahabat; ‘Adakah di antara tuan-tuan yang pandai mantera? Kepala kampung kami digigit serangga.’ Menjawab seorang sahabat; ‘Ya, ada! Kemudian dia mendatangi kepala kampung itu dan memanterainya dengan membaca surat Al Fatihah. Maka kepala kampung itu pun sembuh. Kemudian dia diberi upah kurang lebih tiga puluh ekor kambing. Tetapi dia enggan menerima seraya mengatakan; ‘Tunggu! Aku akan menanyakannya lebih dahulu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku boleh menerimanya.’ Lalu dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakannya hal itu, katanya; ‘Ya, Rasulullah! Demi Allah, aku telah memanterai seseorang dengan membacakan surat Al Fatihah.’ Beliau tersenyum mendengar cerita sahabatnya dan bertanya: ‘Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera? ‘ Kemudian sabda beliau pula: ‘Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah aku bagian bersama-sama denganmu.’ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi’ keduanya dari Ghundar Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Abu Bisyr melalui jalur ini, dia menyebutkan di dalam Haditsnya; ‘Kemudian orang itu mulai membacakan Ummul Qur’an, dan mengumpulkan ludahnya lalu memuntahkannya, setelah itu orang itu sembuh. (HR Muslim 4080) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=40&ayatno=62&action=display&option=com_muslim


Kalau kita ketahui terjemahan ayat-ayat Al Fatihah maka secara harfiah (dzahir) tidak akan ditemukan kaitannya dengan "penyembuhan" penyakit


Kita sebaiknya memahami Al Qur'an dan Hadits dengan akal qalbu(hati / lubb) sebagaimana Ulil Albab. Hali ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/11/2011/09/15/pahamilah-dengan-hati/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/16/dalil-akal/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/16/2011/08/23/pemahaman-secara-hikmah/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/15/keyakinan-ilmiah/


Pemahaman secara ilmiah dapat membuat mereka mengingkari pendapat Imam Al-Baihaqy, Imam An-Nawawy dan Ibnu Hajar tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana telah terurai dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/23/2011/09/07/klaim-mereka/


Pemahaman secara ilmiah dapat membuat ulama mereka mengingkari hadits Rasulullah seperti


Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/22/sebaik-baik-manusia/


Semakin hari semakin parah , adanya ulama-ulama memperlakukan perkataan Rasulullah bagaikan perkataan atau tulisan ilmiah semata. Semua karena mereka memahaminya secara dzahir, dengan akal pikiran (otak/rasio/logika) dan memori (ingatan) semata. Kita dapat temukan adanya ulama-ulama yang memperolok-olok "ila hadoroti". Inilah yang dinamakan fitnah akhir zaman.


Sebaiknyalah kita ingat peringatan Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya yang artinya,
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan". (QS Luqman [31]:6)


Sebaiknya janganlah kita merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits dengan akal pikiran masing-masing dan jangan pula mengikuti ulama-ulama yang tidak jujur karena tidak mau mengakui bahwa apa yang mereka sampaikan adalah upaya pemahaman (ijtihad) mereka sendiri malahan mereka mengatasnamakan pemahaman mereka sebagai pemahaman Salafush Sholeh sehingga muslim yang awam akan mengira bahwa setiap apa yang mereka sampaikan adalah pasti kebenaran. Kita harus ingat setiap upaya penterjemahan, penafsiran, pemahaman Al Qur'an dan Hadits, bisa benar dan bisa pula salah.


Marilah kita dalam memahami Al Qur'an dan Hadits mengikuti atau berpedoman dengan pendapat atau pemahaman para Imam Mazhab dan penejelasan dari para pengikutnya sambil kita merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits. Janganlah kita melakukan hal sebaliknya memahami Al Qur'an dan Hadits dengan akal pikiran masing-masing lalu membandingkannya dengan pendapat atau pemahaman para Imam Mazhab karena kita belem tentu berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak


Wassalam






Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Sabtu, 08 Oktober 2011

Bid'ah ada 5 macam

oleh : KH. Thobary Syadzily





Di dalam kitab "Hasyiah Raddul Mukhtar (حاشية رد المختار) karya Syeikh Muhammad Amin / Ibnu Abidin jilid 1 halaman 590 cetakan kedua "Dar el-Fikr" tahun 1386 H / 1966 M disebutkan bahwa bid'ah terbagi kepada lima bagian, yaitu:


1. Bid'ah Yang Diharamkan (contoh: meyakinkan bahwa Allah swt berbentuk jisim seperti jisim-jisim yang terdapat pada makhluk).


2. Bid'ah Wajib. Contoh: menegakkan dalil-dalil untuk membantah golongan-golongan yang sesat, belajar ilmu nahwu supaya dapat memahami Al-Qur'an dan Hadits Nabi saw.


3. Bid'ah Yang Disunnahkan. Contoh: memperbaharui upamanya pesantren, madrasah, dan setiap kebagusan yang tidak ada di zaman permulaan Islam.


4. Bid'ah Yang Dimakruhkan. Contoh: menghiasi mesjid.


5. Bid'ah Yang Diperbolehkan. Contoh: membuat makanan & minuman yang enak, dan mengenakan pakaian yang bagus.


CATATAN:
------------
Di sini gak ada bid'ah "Siti Marqonah" lhoooo ...

Minggu, 21 Agustus 2011

Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan


Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (2) : dalil Waktu sahur dan Imsyak
Diantara Fitnah wahhaby dibulan Ramadhan :
  1. Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan bahkan Ibnu Taymiyahjuga fatwakan tarawih 20 rekaat
  2. Wahaby Mensyariatkan  Makan Sahur sampai mendekati waktu iqamat shalat subuh dengan dalih mengakhirkan sahur.
  3. WahabyMembid’ahkan Niat Puasa Wajib di Bulan Ramadhan
  4. Wahaby Membid’ahkan amalan membangunkan sahur dan shalat malam
  5. Wahaby Membid’ahkan membaca shalawat kepada nabi dan shahabat selepas shalat tarawih
  6. Wahaby Membid’ahkan komando diantara shalat tarawih
  7. wahaby Membid’ahkan tadarus dibulan ramadhan
  8. Wahaby Membid’ahkan ziarah kubur dibulan ramadhan
Dibulan ramadhan yang penuh berkah ini, Allah Subhanahu wata’ala melipat gandakan pahala amalan sunnah  sehingga menjadi seperti pahala amalan wajib. Sedangkan amalan wajib  adalah seumpama menunaikan 70 amalan wajib (fardhu) dibulan yang lain (Mafhum hadits dari Salman Ra. hadits Riwayat Imam baihaqi, Ibnu Hibban, Ibnu khuzaimah, al-ashbahani, dalam kitab shahihnya dsb).
Maka umat islam berbondong-bondang melakukan amalan-amalan sunnah pada bulan ramadhan ini. Malangnya musuh islam wahhaby menyebarkan fitnah dan membidahkan amalan umat islam (Lihat artikel sesat wahaby Majalah Al-Furqon, Edisi Khusus Th. Ke -9 Romadhon-Syawal 1430 H (September dan Oktober 2009) hal. 35-38. dan kitab sesat  “Qiyamu Ramadhan”, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu˜alaihi wa sallam , Penerjemah :  Qomar Suâ’aidi,  Cetakan Pertama, Penerbit Cahaya Tauhid Press))
Hamba yang dhaif ini mencoba membuat  bantahan terhdap fitnah wahaby dibulan ramadhan, bagi anda yang lebih alim dan lebih teliti lagi mungkin akan menemukan lebih banyak lagi dalil-dalil untuk membantah fitnah keji kaum mujasimmah wahhaby badwi najd ini.
I. Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan
Menurut pendapat jumhur iaitu mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali: 20 rakaat (selain Sholat Witir) berdasarkan ijtihad Sayyiduna Umar bin Khattab. Menurut mazhab Maliki: 36 rakaat berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Imam Malik dalam beberapa riwayat memfatwakan 39 rakaat[6]. Walau bagaimana pun, pendapat yang masyhur ialah mengikut pendapat jumhur bahkan ibnu taymiyah juga tarawih 20 rekaat!!!. Lihat dalam kitab fiqh 4 madzab dibawah ini :
Dalam Kitab “shalat tarawih 20 rekaat karya mufti mesir juga disebutkan seperti diatas :


Di Sisi Syafeiyyah bilangan raka’at terawih adalah 20 rakaat dan bukan 8 sebgaimana yang digembar-gemburkan oleh Mutasyaddid(pelampau) wahabi !

Didalam muka surat ini pula dijelaskan kenyataan Ibnu Hajar yang menyatakan di sisi kami selain ahli Madinah adalah 20 raka’at.sementara Ahli Madinah melakukan mereka itu dengan 36 raka’at.
Ibnu Taymiyah yang katanya imam badwi Najd wahaby juga fatwakan tarawih 20 rekaat :
Bacalah sendiri penulisan Dr Ali Juma’ah tantang terawih .Nak terjemahkan kurang masa.Walaubagaimana pun telah ana jelaskan dalam tajuk Terawih 20 rakaat. Didalam penulisan Dr Ali Jumaah juga menyatakan Ibnu Taimiyyah yang didokong oleh golongan MUTASYADDID(pelampau) juga memfatwakan bilangan rakaat terawih 20 rakaat.
Untuk dalil-dalil dalam perkara ini lihat pada artikel ini di bagian pertama.
http://salafytobat.wordpress.com/2009/09/04/fitnah-dan-bid%E2%80%99ah-wahaby-salafy-palsu-di-bulan-ramadhan-1/
II. Wahaby Mensyariatkan  Makan Sahur pada saat fajar sidiq telah tiba (sampai mendekati waktu iqamat shalat subuh dengan dalih mengakhirkan sahur).
Wahaby mentafsirkan makna hadits “mengakhirkan sahur” dengan makna :
mensyariatkan makan sahur sehingga lewat fajar sidiq bahkan mendekati waktu iqamat shalat subuh!
Padahal waktu puasa yang sebenarnya adalah dari terbit fajar sidiq sampai terbenam matahari sehingga menurut  imam madzab manapun akan batal puasa orang yang menyengaja makan setelah tahu fajar sidiq sudah tiba.
Adapun beberapa riwayat tentang sahabat yang masih makan sahur sewaktu adzan subuh adalah :
-          Kita pahami Mereka (para sahabat) memulai sahur sebelum adzan subuh (sebelum fajar sidiq) tetapi saat adzan subuh dikumandangkan mereka masih belum selesai makan. Jadi mereka secepatnya menghabiskan makanan tersebut. Bukan menyengaja memulai makan setelah tahu fajar sidiq telah datang. Hati-hatilah dengan tafsiran ahlul hawa khawarij wahhaby!
Dalil-dalil Waktu Sahur dan Hukum Imsak
  1. Firman Allah:”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”. (QS. 2:187).2. HR. Bukhari:Dari Sahl bin Sa’d, ia mengatakan: “diturunkan oleh Allah ayat ” .. dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” dan belum diturnkan kalimat “yaitu fajar [minal fajr]“, maka masyarakat kalau ingin melaksanakan puasa, salah satu diantara mereka mengaitkan benang putih dan benang hitam, dan mereka meneruskan makan hingga terang bagi mereka keduanya. Lalu Allah menurunkan kalimat “minal fajr, yaitu fajar”, maka mereka tahu, bahwa yang dimaksud adalah malam dan siang.3. HR. Turmudzi:Dari Samurah bin Jundub ra, ia mengatakan: RasululLah SAW mengatakan: Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian, dan juga fajar yang memanjang, akan tetapi [yang melerai adalah] fajar yang menyebar di ufuk.4. HR. Bukhari:Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi SAW, ia mengatakan: Janganlah adzan Bilal mencegah salah satu di antara kalian dari makan sahurnya , karena ia mengumandangkan adzan di tengah malam, untuk mengingatkan di antara kalian yang bangun dan untuk membangunkan di antara kalian yang tidur.5. HR. Bukhari:
    .
    Dari ‘Aisyah ra, dari Nabi SAW, ia mengatakan: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq” [9] (HR. Bukhari no. 1918, 1919)..
6. HR. Bukhary Muslim
diriwayatkan dari Anas radliyallaahu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit bahwa dia pernah berkata :
”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami berangkat shalat (shubuh). Maka aku (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur? Ia (Zaid) menjawab : خمسين آية (kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” (HR. Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Berdasarkan hadits No. 5, maka inilah waktu yang paling tepat untuk berhenti makan atau sahur yaitu kadar membaca 50 ayat al-quran (dengan tartil dan wajar) sebelum adzan subuh (pada zaman nabi adzan ummi maktum).
Jadi pada zaman rasulullah ada dua adzan yaitu adzan bilal untuk membangunkan manusia agar shalat tahajud dan sahur, serta yang kedua adzan ummi maktum untuk shalat subuh.
Inilah salah satu dasar waktu imsak (waktu yang meragukan antara malam dengan fajar sidiq) yang mana seorang muslim akan berhati-hati atas perkara yang subhat ini.
taqrir003.0
Habib Hasan bin Ahmad bin Saalim al-Kaaf menyebut dalam “at-Taqriiraat as-Sadiidah fil Masaa-ilil Mufiidah” yang merupakan talkhish daripada ajaran guru-guru beliau terutama sekali al-’Allaamah al-Faqih al-Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin Zain BinSmith, pada halaman 444 menyatakan, antara lain:-
و يمسك ندبا عن الأكل قبل الفجر بنحو خمسين آية – ربع ساعة
…”Dan imsak daripada makan (yakni bersahur) itu mandub (disunnatkan) sebelum fajar kira-kira sekadar pembacaan 50 ayat ( sekadar seperempat jam @ 15 minit)”. Yakni seseorang itu disunnatkan melakukan imsak sebelum fajar kira-kira 15 minit atau kadar pembacaan 50 ayat yang sederhana dengan kelajuan yang sederhana. Inilah yang dimaksudkan oleh ulama kita sebagai waktu imsak yang disunnatkan sebagai langkah berhati-hati dan mengikut sunnah Junjungan Nabi s.a.w. Sedangkan imsak setelah masuk fajar adalah wajib. Oleh itu seseorang masih boleh makan-minum selepas waktu imsak tadi selagi mana waktu Subuh belum masuk kerana imsak pada waktu itu dihukumkan sunnat. Tidaklah benar dakwaan yang dibuat oleh Hafiz Firdaus & the gang yang menyatakan bahawa menetapkan waktu imsak beberapa minit sebelum fajar itu sebagai bid`ah dan tidak punya dasar dalam Islam. Ukuran minit-minit tersebut diambil daripada kadar pembacaan 50 ayat tersebut, yang merupakan kadar yang dinyatakan dalam beberapa hadits shohih sebagai senggang waktu antara sahur Junjungan s.a.w. dengan masuknya sholat. Antara hadits-haditsnya ialah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari berbunyi:-
عَنْ أنس عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال تَسَحَّرْناَ مع النبي صلى الله عليه و سلم ثم قام إلى الصلاة. قلت: كم كان بين الأذانِ و السُّحُوْرِ؟ قال: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيةً
Daripada Sayyidina Anas meriwayatkan bahawa Sayyidina Zaid bin Tsabit r.a. berkata: “Kami telah makan sahur bersama-sama Junjungan Nabi s.a.w., kemudian baginda bangun mengerjakan sembahyang. Sayyidina Anas bertanya kepada Sayyidina Zaid:- “Berapa lamanya antara azan (Subuh) dengan masa makan sahur itu ?” Dia menjawab: “Kira-kira sekadar membaca 50 ayat.”
Hadis ini menunjukkan bahawa jarak atau senggang masa antara bersahurnya Junjungan s.a.w. dan azan Subuh ialah kira-kira 50 ayat. Sekali-kali ianya tidak membawa makna yang Junjungan s.a.w. makan sahur sehingga berkumandang azan Subuh, yang jelas ialah ia menyatakan bahawa Junjungan bersahur dan berhenti kira-kira kadar pembacaan 50 ayat sebelum masuk waktu Subuh. Inilah yang difahami oleh para ulama kita sehingga menetapkan kesunnahan berimsak dalam kadar pembacaan 50 ayat tersebut yang dianggarkan pada kadar 10 – 15 minit. Senggang masa antara sahur dan masuk fajar (azan subuh) yang dinamakan sebagai waktu imsak yang dihukumkan sunnat imsak (menahan diri daripada perkara membatalkan puasa), diperjelaskan lagi dalam sepotong hadits yang juga riwayat Imam al-Bukhari berbunyi:-
عَنْ أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم و زيد بن ثابت تَسَحَّرَا، فلما فرغا من سحورهما قام نبي الله صلى الله عليه و سلم فصلى. قلنا لأنس: كم كان بين فراغهما من سحورهما و دخولهما في الصلاة ؟
قال: قدر ما يقرأ الرجل خَمْسِيْنَ آيةً
Daripada Sayyidina Anas bin Malik r.a. bahawa Junjungan Nabi s.a.w. bersahur bersama-sama dengan Sayyidina Zaid bin Tsabit. Apabila kedua mereka selesai daripada sahur mereka, baginda bangun mendirikan sembahyang. Kami bertanya kepada Anas: “Berapa lamakah masa (senggang waktu) di antara selesai mereka berdua daripada sahur dan masuk mereka berdua kepada sembahyang (yakni “berapa lamakah masa antara selesai Junjungan dan Zaid bersahur dan masuknya waktu sholat Subuh”). Dia menjawab: “Sekadar 50 ayat yang dibacakan seseorang.”
7. Mukmin wajib meninggalkan perkara yang subhat
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ                                                        [رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah e bersabda: Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “.                        (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Dari nash-nash di atas, ada beberapa kesimpulan sebagai berikut:
[1] Waktu berakhirnya sahur [mulai berpuasa] adalah terbitnya fajar yang menyebar di ufuk, yang dalam fikih disebut sebagai “fajar shadiq”, bukan fajar yang memanjang vertikal, yang dalam fikih dinamai “fajar kadzib”.
Fajar kadzib adalah terangnya ufuk secara vertikal, yang beberapa menit kemudian diikuti oleh kegelapan kembali. Sementara fajar shadiq adalah fajar yang semakin lama semakin terang hingga matahari terbit.
[2] Sebelum turun kalimat “minal fajr, [yaitu fajar]“, sebagian sahabat ada yang mengira, bahwa yang dimaksud dari ayat di muka adalah terangnya pagi hingga tampak jelas perbedaan antara benang putih dan benang hitam. Baru setelah turunnya kalimat tsb, mereka mengerti bahwa yang dimaksud adalah terbitnya fajar. Jadi sejak terbitnya fajar, puasa telah dimulai.
[3] Pada masa Nabi SAW, ada dua adzan yang dikumandangkan di pagi buta. Pertama adzannya Bilal ra. sebelum terbit fajar, untuk membangunkan mereka yang tidur, dan untuk mengingatkan mereka yang telah bangun akan dekatnya fajar. Karena itu, Nabi memberitahukan kepada para sahabat, bahwa adzan Bilal tidak untuk mengumandangkan datangnya subuh atau terbitnya fajar, dus, tidak merupakan peringatan mulainya berpuasa. “Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian”.
Adzan kedua adalah adzannya Ibnu Ummi Maktum, yang dikumandangkan saat terbitnya fajar. Dan ini adalah waktu di mulainya berpuasa.
[4] Fajar kadzib dan fajar shadiq adalah gejala alam seperti halnya terbitnya mega merah di ufuk barat [pertanda waktu Maghrib], condongnya matahari ke barat [pertanda waktu Dzuhur], dan gejala-gejala alam lainnya. Gejala-gejala alam ini, sejak lama sekali telah dapat diketahui melalui ilmu falak [astronomi], sehingga untuk mengetahuinya tidak perlu melalui pengamatan alam secara langsung. Fajar misalnya, untuk mengetahuinya tidak perlu kita keluar ke alam bebas, kemudian mengamatinya dengan mata telanjang, akan tetapi cukup dengan memanfaatkan kemajuan di bidang astronomi.
Karena itu, penentuan waktu salat kita, dan juga waktu imsak puasa kita, selama ini secara keseluruhan memakai standar ilmu falak, bukan melalui pengamatan alam secara langsung. Dan pada kenyataannya, penentuan ini lebih akurat dan lebih bisa dipertanggungjawabkan ketimbang pengamatan secara langsung tsb.
[5] Ilmu Falak yang banyak berkembang di penanggalan kita masih bersifat “taqdiry”, atau bersifat perkiraan, belum mampu menetapkan waktu dengan keakuratan 100 %. Masih terdapat keragu-raguan sekitar satu hingga dua menitan dari waku faktualnya. Karena itu, dalam penanggalan yang banyak berkembang di negara kita, terdapat waktu “ihtiyath”, waktu preventif atau jaga-jaga. Misalnya, waktu dzuhur: sesuai dengan ketentuan ilmu falak yang ada, adalah jam 12:00. Akan tetapi karena keakuratannya belum mampu mancapai 100 %, maka dalam penanggalan ditambahi lima menit. Jadi yang tercatat dalam penanggalan adalah 12:05, dengan asumsi ada waktu preventif 5 menit. Begitu pula waktu-waktu salat lainnya, ada penambahan antara tiga hingga lima menit dalam catatan di penanggalan.
[6] Dengan asumsi waktu preventif 5 menit, maka waktu subuh [terbitnya fajar] yang mestinya jatuh pada jam 4:30 [misalnya], menjadi jatuh pada jam 4:35 dalam pencatatan di penanggalan. Waktu yang sama, yakni terbitnya fajar, jika digunakan untuk menentukan mulainya berpuasa, maka akan terjadi pengajuan jam, dari jam 4:30 menjadi 4:20, dengan asumsi waktu preventif imsak 10 menit. Kalau waktu preventifnya adalah lima menit, maka waktu imsak sebagaimana dalam penanggalan adalah 4:25.
Dengan menghitung dua waktu preventif sekaligus, yakni preventif subuh dan preventif imsak, maka bisa dimengerti kalau jarak antara waktu imsak dan adzan subuh adalah 10 hingga 15 menit. Secara teoritik, mestinya waktu subuh dan waktu imsak adalah sama, yakni terbitnya fajar shadiq, akan tetapi dalam kenyataan yang tertulis dalam penanggalan bisa terpaut antara 10 hingga 15 menit.
Dengan melihat keterangan-keteranan ini, sebaiknya dalam berimsak mengikuti penanggalan yang ada. Akan tetapi jika terpaksa, bisa saja meneruskan makan dan minum hingga mendekati adzan subuh sekitar 5 menitan.
Demikian, semoga membantu.

Sabtu, 30 Juli 2011

Shalat Tarawih dan Jumlah Raka’atnya

Shalat Tarawih hukumnya sangat disunnahkan (sunnah muakkadah), lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikann oleh para sahabat dan ulama.

Ada beberapa pendapat tentang raka’at shalat Tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan 20 (dua puluh) raka'at, 8 (delapan), atau 36 (tiga puluh enam) raka'at; ada pula yang mengatakan 8 raka’at; 20 raka’at; dan ada pula yang mengatakan 36 raka’at.

Pangkal perbedaan awal dalam masalah jumlah raka’at shalat Tarawih adalah pada sebuah pertanyaan mendasar. Yaitu apakah shalat Tarawih itu sama dengan shalat malam atau keduanya adalah jenis shalat sendiri-sendiri? Mereka yang menganggap keduanya adalah sama, biasanya akan mengatakan bahwa jumlah bilangan shalat Tawarih dan Witir itu 11 raka’at.
Dalam wacana mereka, di malam-malam Ramadhan, namanya menjadi Tarawih dan di luar malam-malam Ramadhan namanya menjadi shalat malam / qiyamullail. Dasar mereka adalah hadits Nabi SAW: 


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَغَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. رواه النسائي

Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menambah di dalam ramadhan dan di luar Ramadhan dari 11 rakaat”. (HR. Al-Bukhari)

Sedangkan mereka yang membedakan antara keduanya (shalat malam dan shalat tarawih), akan cenderung mengatakan bahwa shalat Tarawih itu menjadi 36 raka’at karena mengikuti ijtihad Khalifah Umar bin ’Abdul Aziz yang ingin menyamai pahala shalat Tarawih Ahli Makkah yang menyelingi setiap empat raka’at dengan ibadah Thawaf.

Lalu Umar bin ’Abdul Aziz menambah raka’at shalat Tarawih menjadi 36 raka’at bagi orang di luar kota Makkah agar menyamahi pahala Tarawih ahli makkah; Atau shalat Tarawih 20 raka’at dan Witir 3 raka’at menjadi 23 raka’at. Sebab 11 rakaat itu adalah jumlah bilangan rakaat shalat malamnya Rasulullah saw bersama sahabat dan setelah itu Beliau menyempurnakan shalat malam di rumahnya. Sebagaimana Hadits Nabi SAW.:


أَنَّهُ صلّى الله عليه وسلّم خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيْ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّّقَةٍ: لَيْلَةُ الثَالِثِ, وَالخَامِسِ, وَالسَّابِعِ وَالعِشْرِيْنَ, وَصَلَّى فِيْ المَسْجِدِ, وَصَلَّّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا, وَكَانَ يُصَلِّّْي بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ, وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيْهَا فِيْ بُيُوْتِهِمْ. رواه الشيخان

Rasulullah SAW keluar untuk shalat malam di bulan Ramadlan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk shalat bersama umat di masjid, Rasulullah saw. shalat delapan raka’at, dan kemudian mereka menyempurnakan sisa shalatnya di rumah masing-masing. (HR Bukhari dan Muslim).

Sedangkan menurut ulama lain yang mendukung jumlah 20 raka’at, jumlah 11 raka’at yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bisa dijadikan dasar tentang jumlah raka’at shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw kecuali hanya 2 atau 3 kali saja. Dan itu pun dilakukan di masjid, bukan di rumah. 

Bagaimana mungkin Aisyah RA meriwayatkan hadits tentang shalat Tarawih Nabi SAW? Lagi pula, istilah shalat Tarawih juga belum dikenal di masa Nabi SAW. Shalat tarawih bermula pada masa Umar bin Khattab RA karena pada bulan Ramadlan orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka Umar menyuruh agar umat Islam berjamaah di masjid dengan imamnya Ubay bin Ka'b.

Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat, karena mereka melakukan istirahat setiap selesai melakukan shalat 4 raka’at dengan dua salam. Dan Umar RA. berkata: "Inilah sebaik-baik bid’ah". 

Bagi para ulama pendukung shalat Tarawih 20 raka’at+witir 3= 23, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah raka’at shalat Tarawih melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadits itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah raka’at shalat malam Nabi SAW., baik di dalam bulan Ramadhan dan juga di luar bulan Ramadhan.

Ijtihad Umar bin Khoththab RA tidak mungkin mengada-ada tanpa ada dasar pijakan pendapat dari Rasulullah saw, karena para sahabat semuanya sepakat dan mengerjakan 20 raka’at (ijma’ ash-shahabat as-sukuti).

Di samping itu, Rasulullah menegaskan bahwa Posisi Sahabat Nabi SAW sangat agung yang harus diikuti oleh umat Islam sebagaimana dalam Hadits Nabi SAW:


 فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ, وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal).

Ulama Syafi’ayah, di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al Malibari dalam kitabFathul Mu’in menyimpulkan bahwa shalat Tarawhi hukumnya sunnah yang jumlahnya 20 raka’at:


وَصَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ سنة مُؤَكَّدَةٌ  وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ   وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحَّ .

“Shalat Tarawih hukumnya sunnah, 20- raka’at dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadlan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu diampuni. Setiap dua raka’at haru salam. Jika shalat Tarawih 4 raka’at dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah……”. (Zainuddin al Malibari, Fathul Mu’in, Bairut: Dar al Fikr, juz I, h. 360). 

Pada kesimpilannya, bahwa pendapat yang unggul tentang jumlah raka’at shalat tarawih adalah 20 raka’at + raka’at witir jumlahnya 23 raka’at. Akan tetapi jika ada yang melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at + 3 withir jumlahnya 11 raka’at tidak berarti menyalahi Islam. Sebab perbedaan ini hanya masalah furu’iyyah bukan masalah aqidah tidak perlu dipertentangkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.



HM Cholil Nafis MA

Minggu, 24 Juli 2011

Mengenal Syeikh Nawawi Al-Bantani (Imam Masjidil Haram Kelahiran Banten, Indonesia)

Syaikh Nawawi al-Bantani (1)

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (1): Guru Para Ulama Indonesia

oleh: Hery Sucipto Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du… Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT. Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain jugaijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid(mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M.

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (2): Karya dan Karomahnya

oleh: Ust. H. Agus Zainal Arifin
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga, berjudulUqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. KitabNihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.
Bersambung ke bagian 3
  {Edit}

Syaikh Nawawi al-Bantani

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (3): Al-Ghazali Modern, bagian-1

oleh: Mamat Salamet Burhanuddin*
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian.
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
Hidup Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz [pemimpin Ulama daerah Hijaz, red.].
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Bidang Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (4-tammat): Al-Ghazali Modern, bagian-2

oleh: Mamat Salamet Burhanuddin* Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du… Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melalui proses dzikr, muraqabah dan musyahadahsehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab). Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik. Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis. Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama ), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH. Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh K.H. Nawawi Banten., Syekh K.H. Mahfuz Termas, Syekh K.H. Abdul Karim, K.H. Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh K.H. Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia tidak mau mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh K.H. Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Kiai Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Kiai para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi. Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain menjadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain. Sejak abad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektual dari generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun bergeser masuk dalam wilayah politik. Ketika kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan Haramain oleh penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren membentuk sebuah komite yang disebut dengan “komite Hijaz” yang terdiri dari 11 ulama pesantren. Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim, seorang kiai produk perguruan Haramain, komite ini bertugas melakukan negosiasi dengan raja Saudi yang akan memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam perkembangannya komite ini kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayah politik praktis secara intens organisasi ini kemudian mengalami perubahan nama dari Nahdlatul Wathan (NW) sampai jadi Nahdlatul Ulama (NU). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi merupakan sosok ulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU. Sebab karakteristik pola pemikirannya merupakan representasi kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang gerakan purifikasi dan pembaharuan. Kehadiran NU adalah untuk membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang mengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik. Karenanya formulasi manhaj al-Fikr tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi (diuraikan kembali) oleh para ulama NU sebagai garis perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjut institusionalisasi dari arus pemikiran KH. Nawawi Banten