“Wahai dunia, siapa yang mengabdi kepada-Ku, maka mengabdilah engkau kepadanya. Dan barang siapa mengabdi kepadamu, maka binasakanlah dia.”
Kamis (17/6), matahari begitu terik menyinari kawasan kota Jakarta. Saat itu, di kantor alKisah, beberapa kru terlihat tengah sibuk di ruang utama. Harun Musawa, pemred, Ali Yahya, redaktur pelaksana senior, dan Trianto, salah satu anggota Tim Manajemen, berada di antara kru yang sedang bekerja. Mereka sedang mengawasi pelaksanaan rekaman Khatmul Qur’an, yang dibawakan oleh Sayyid Agil Munawar, mantan menteri agama RI. Semuanya turut hanyut dalam lantunan merdu senandung Al-Quran dari suara merdu Sayyid Agil.
Tiba-tiba, sebuah mobil Cevrolet hitam metalik memasuki pelataran kantor alKisah. Dari dalam mobil keluar sosok muda berwibawa dengan wajah berseri, yang tidak lain adalah Habib Mahdi bin Abdurrahman Al-Attas, putra Habib Abdurrahman bin Syech Al-Attas, pemimpin Pondok Pesantren Al-Mashyhad, Sukabumi, dan menantu Habib Husein bin Ali bin Husein Al-Attas (Habib Ali Bungur). Habib Mahdi tiba di kantor alKisah pada pukul 14.50 WIB, didampingi istrinya. Pemred dan beberapa kru pun buru-buru menyambut kedatangannya.
Sungguh satu contoh yang sangat patut dijadikan suri teladan bagi kita semua. Habib Mahdi telah tiba di majelis satu jam sebelum acara dimulai, bahkan sebelum satu jama’ah pun hadir di majelis.
Pukul 16.00, puluhan jama’ah setia majelis Zawiyah alKisah memadati ruangan. Acara pun dimulai dengan pembacaan Wirdul Lathif. Habib Mahdi membukannya dengan memimpin pembacaan Fatihah. Sekitar 25 menit majelis bergema dengan lafazh-lafazh dzikir dan doa. Semua jama’ah hanyut dan larut dalam kekhusyu’annya masing-masing.
Dunia hanyalah Persinggahan
Setelah Wirdul Lathif usai dibaca, acara pun dilanjutkan dengan taushiyah, yang disampaikan oleh Habib Mahdi. Setelah untaian tawassul kepada Rasulullah SAW dan awliya’, Habib Mahdi memulai wejangannya.
“Dalam kehidupan yang penuh dengan ujian, kesulitan, kesusahan, baik dialami oleh individu maupun masyarakat nasional, setiap kita merasakan kegelisahan bahkan terkadang keputusasaan. Hal ini kemudian menjadikan lahirnya iri, dengki, dan akhirnya membawa kepada perbuatan menghalalkan segala cara.
Allah SWT berfirman, ‘Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.’ – QS An-Naba (78): 10-11.
Allah SWT telah menjadikan siang hari untuk mencari nafkah, sedangkan malam hari untuk istirahat. Allah memberikan jalan kepada kita untuk mencari nafkah, tapi jangan lupa kaidah untuk mencari nafkah, karena sering kali kita menomorsepuluhkan Allah pada saat berurusan dengan urusan diniawi kita.
Saat ini banyak muslim yang terkadang sudah bosen menjadi orang Islam. Bila dulu, setelah maghrib, anak-anak sudah duduk rapi untuk mengaji atau pergi ke mushalla, saat ini, maghrib dan isya, anak belum pulang tidak ada apa-apa.
Kok bisa kita disebut bosen dengan Islam! Karena dalam keseharian kita sudah melupakan dan tidak menggunakan tata cara kehidupan yang Islami. Ibadah diabaikan, shalat ditinggalkan, mengaji dilupakan. Pulang kerja langsung nonton bola, jam tiga pagi masih di depan bola, padahal belum shalat Isya, lalu ketiduran, shalat Subuh pun lewat, setelah itu bangun dan langsung bekerja. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan lebih penting daripada Allah SWT. Akibatnya, tidak ada lagi keberkahan pada apa yang kita cari dan kita dapatkan.
Allah SWT berfirman, ‘… barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizqi dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” – QS Ath-Thalaq (65): 2-3.
Ayat ini memberikan petunjuk bagi setiap umat Rasulullah SAW. Dalam keseharian, seorang muslim bergaul sebagai insan biasa, namun, di saat Allah memanggil, ia tampil paling pertama untuk menunaikannya.
Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, penyususun Ratib Al-Haddad dan al-Wird al-Lathif, berkata, ‘Bukanlah dunia sebagai negeri tanah air, melainkan hanyalah persinggahan untuk menuju negeri yang sebenarnya (akhirat).’
Rasulullah SAW bersabda, ‘Cinta tanah air adalah bagian dari iman.’ Tanah air kita yang sebenarnya adalah akhirat, sehingga makna hadits ini adalah agar kita selalu merindukan negeri akhirat, karena dunia ini bukanlah negeri kita. Nabi Adam Allah ciptakan di surga lalu turun ke bumi. Itulah sebabnya, bumi ini bukanlah negeri kita.
Kurma Paling Buruk
Banyak contoh yang bisa kita ambil pelajaran dari ketaqwaan orang-orang pilihan Allah.
Al-Habib Syech Abu Bakar bin Salim, ketika sedang menjelaskan ayat tersebut, Ath-Thalaq: 2-3, ada dua orang jama’ah nyeletuk di belakang, ‘Apa bener begitu?’
Lalu Habib Syech berkata kepada salah seorang muridnya, ‘Hai muridku, di belakang ada 40 karung kurma yang paling jelek di Hadhramaut, yang nilainya tidak lebih dari empat dinar. Jual-lah kurma itu ke Irak, dan jangan engkau jual satu butir pun kurang dari satu dinar per butirnya. Aku ingin membuktikan bahwa janji Allah itu benar.’
Selama dalam perjalanan murid-murid Habib Syech terus dilanda kebingungan dan keheranan. Bagaimana mungkin kurma yang paling buruk akan dijual satu dinar per butir, sementara kurma Irak saja, yang bagus, harganya satu dinar per kilonya.
Setelah melakukan perjalanan beberapa lama, murid-murid Habib Syech tiba di suatu daerah di Irak. Ternyata daerah tersebut tengah dilanda wabah penyakit yang ganas. Tiba-tiba seorang anak kecil, yang juga sedang menderita penyakit yang sedang mewabah di daerah itu, menghampiri mereka dan melihat-lihat kurma yang ada di karung. Karena merasa tertarik, ia pun meminta kurma yang ada di karung.
Sebutir kurma dikeluarkan dan diberikan kepada anak tadi. Subhanallah, dengan izin Allah, beberapa saat kemudian anak itu sembuh dari penyakitnya.
Karena begitu gembira, anak itu pun berlari-lari di pasar sembari meneriakkan bahwa ada kurma yang dapat menyembuhkan penyakitnya.
Tidak lama kemudian orang-orang datang berduyun-duyun untuk membeli kurma. Namun murid-murid Habib Syech menjelaskan, kurma itu hanya dijual dengan harga satu dinar per butir. Demikianlah karamah Habib Syech, meski dihargai dengan harga yang tidak wajar, mereka berebut untuk membelinya, hingga tak berapa lama kurma-kurma pun telah habis terjual seluruhnya, sementara murid-murid Habib Syech hanya terheran-heran menyaksikan kejadian tersebut.
Setelah rombongan pembawa kurma kembali ke Hadhramaut dengan membawa hasil dagangan yang sangat besar, Habib Syech berkata, ‘Inilah janji Allah kepadaku. Sekarang bagikanlah!’
Demikianlah kekuatan keyakinan Habib Syech kepada Allah SWT. Maka Allah buktikan janji-Nya. Adapun kita selalu mengucapkan tetapi tidak melakukan. Dalam setiap shalat, pasti kita baca, ‘Iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).’ Tapi dalam keseharian kita,na`budu kita lupa, nasta`in-nya pun kita lupa.
Contoh lain yang nyata dan bisa dijadikan pelajaran yang bisa kita petik adalah pelajaran dari makam-makam awliya’ di tanah air, misalnya, seperti makam Habib Husein Alaydrus Luar Batang. Habib Husein telah wafat lebih dari seratus tahun yang lalu, sebelum kita semua lahir. Namun, setiap tahun, haul digelar dan rangkaian Maulid pun diadakan, makanan disuguhkan bagi ratusan ribu muhibbin yang datang dan hadir. Bukan hanya itu, berapa banyak orang yang menggantungkan hidupnya di sekitar makam beliau. Perhatikanlah rizqi yang Allah berikan kepada Habib Husein! Bukan hanya semasa hidupnya Habib Husein memberikan manfaat bagi orang-orang di sekitarnya, bahkan sesudah wafat pun berapa banyak yang mendapatkan manfaat dari beliau sebagai buah dari kedekatan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Wa`budullah
Kunci semua kesuksesan itu adalah ‘wa`budullah’, ‘sembahlah Allah’. Kesuksesan dan kejayaan akan mudah dicapai bila kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa. Kesuksesan dan kejayaan dari Allah SWT, bukan kejayaan dari manusia. Karena kejayaan atau jabatan yang berasal dari manusia akan mudah jatuh, pupus, dan hilang, tetapi kejayaan dan kesuksesan yang Allah berikan, tidak ada seorang pun yang dapat meruntuhkannya.
Satu hal yang perlu diingat, kita semua ini, umat Rasulullah SAW, adalah mutiara dan intan berlian yang paling berharga, tinggal di mana kita menempatkannya. Bila ditempatkan di tempat yang mulia, pasti akan memunculkan kemilau yang indah dan akan mahal serta tinggi nilainya, namun bila ditaruh di tempat sampah, nilainya pun akan ikut kepada tempat di mana ia berada.
Ada satu firman Allah, dalam sebuah hadits qudsi, yang perlu selalu kita renungkan, Allah SWT berfirman, ‘Wahai dunia, siapa yang mengabdi kepada-Ku, maka engkau harus mengabdi kepadanya. Dan barang siapa mengabdi kepadamu, maka binasakanlah dia.’
Demikian pula sebuah hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda, ‘Bekerjalah untuk duniamu seakan engkau hidup untuk selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan engkau mati esok hari’.”
Hadits ini menjadi penutup uraian panjang mauizhah hasanah yang disampaikan Habib Mahdi bin Abdurrahman Al-Attas. Sebagian jama’ah terlihat sudah tak sabar untuk mengajukan pertanyaan.
Amalan Mudah Rizqi
“Habib, Allah sudah memberikan satu tuntunan bahwa siang hari untuk mencari nafkah dan malam hari untuk istirahat. Lalu bagaimana bila seseorang menjadikan keduanya untuk mencari materi, apakah tidak menyalahi sunnatullah?” tanya Bapak Yasir dari Tanggerang mengawali sesi tanya-jawab.
“Allah menjadikan siang sebagai waktu untuk mencari nafkah dan malam sebagai waktu untuk beristirahat. Pada malam hari ada sesuatu yang paling indah, yaitu masa untuk mendekatkan diri kepada Allah, terutama di saat kebanyakan manusia lelap tertidur. Kita bangun untuk mengadu dan bermunajat kepada Allah. Maknanya, bila seseorang menggunakan semua waktunya, siang dan malam, untuk mencari materi, akan hilang keberkahannya. Materi boleh semakin bertambah, tapi keberkahan hilang dari kehidupannya.”
“Habib, apa kriteria orang yang bertaqwa kepada Allah, sehingga dapat meraih kejayaan dengan mudah, serta adakah amalan agar kita selalu ikhlas? Dan bagaimana dengan fenomena yang kita saksikan bahwa kebanyakan orang yang ahli ibadah justru susah hidupnya?” tanya Sita, salah satu redaktur alKisah.
“Ketaqwaan seseorang terlihat tatkala ia mampu untuk selalu qanaah dengan apa yang diberikan oleh Allah, tidak menginginkan apa pun yang Allah haramkan, dan melaksanakan iyyaka na`budu secara benar, banyak meneteskan air mata di hadapan Allah.
Banyak orang beranggapan, kesuksesan hanya terdapat pada harta yang berlimpah, dan lupa bahwa, makin banyak harta seseorang, makin diperbudak hidupnya oleh hartanya.
Adapun doa untuk ikhlas itu banyak, namun kuncinya adalah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ‘Engkau menyembah Allah seakan engkau melihat-Nya; dan bila engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.’
Adapun amalan agar dimudahkan rizqi, dimudahkan segala urusan, dan mendapatkan keberkahan, istiqamahkan membaca surah Thaha dan Al-Waqi`ah setelah shalat Subuh, disertai shalat Dhuha. Dan bagi yang tidak mampu melakukannya, dapat mengamalkan membaca surah Al-Quraisy sebanyak sebelas kali setiap ba`da subuh dan sesudah ashar, sebagaimana yang diijazahkan oleh Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri kepada saya.” (Amalan ini diijazahkan secara khusus kepada jama’ah yang menghadiri Zawiyah alKisah, yang tentu saja fadhilahnya berbeda).
Selanjutnya Ibu Salwati menanyakan hukum shalat Tahiyatul Masjid setelah melakukan shalat Ashar.
“Boleh melakukan shalat setelah shalat Ashar bila ada sebab mutaqaddim, sebab terdahulu, seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat Jenazah, dan shalat sunnah wudhu.”
Penanya terakhir, karena waktu yang tidak mengizinkan, adalah Bapak Adi. Ia menanyakan kiat agar tetap istiqamah dan kuat dalam menghadapi berbagai gangguan ibadah.
“Kuncinya, selalu mengingat bahwa kita seorang diri saat kematian datang menjemput. Jangan hiraukan orang lain saat kita hendak melakukan ibadah, dan ingatlah bahwa nyawa ini bukanlah hak milik, hanya hak pakai, titipan dari Allah SWT. Kapan pun Allah akan mengambil titipan-Nya, tidak seorang pun dapat menolaknya,” jawab Habib Mahdi menutup sesi tanya-jawab.
Hadirin merasa puas dengan taushiyah dan jawaban yang disampaikan Habib Mahdi dengan jelas dan lugas, yang juga sering dibumbui dengan canda segar yang membuat hadirin tertawa kecil tapi terus antusias sejak awal hingga akhir majelis.
Setelah ditutup doa oleh Habib Mahdi, bubur biji salak yang lezat ditemani secangkir kopi jahe panas ala Pekalongan dibagikan di antara jama’ah. Keakraban begitu terasa di sela-sela menyantap hidangan yang disediakan. Sebuah pengalaman yang tidak akan terlupakan bagi siapa pun yang hadir di majelis. Berkumpul bersama dzuriyah Rasulullah SAW, berdzikir, bershalawat, mendengarkan taushiyah, uraian ilmu, bercengkerama ditemani hangatnya kopi jahe dan hidangan alakadarnya, sungguh kesan yang selalu indah untuk dikenang. Semoga Allah senantiasa meneguhkan langkah ini untuk selalu hadir di majelis ini, agar dapat bertatap muka dengan para cucu Rasulullah SAW dan para dai, yang mengajak ke jalan-Mu, mendengarkan untaian mutiara indah, nasihat penuh makna dari lisan mereka, sosok-sosok mulia pilihan Allah. Amien ya Rabbal `alamin….
Tiba-tiba, sebuah mobil Cevrolet hitam metalik memasuki pelataran kantor alKisah. Dari dalam mobil keluar sosok muda berwibawa dengan wajah berseri, yang tidak lain adalah Habib Mahdi bin Abdurrahman Al-Attas, putra Habib Abdurrahman bin Syech Al-Attas, pemimpin Pondok Pesantren Al-Mashyhad, Sukabumi, dan menantu Habib Husein bin Ali bin Husein Al-Attas (Habib Ali Bungur). Habib Mahdi tiba di kantor alKisah pada pukul 14.50 WIB, didampingi istrinya. Pemred dan beberapa kru pun buru-buru menyambut kedatangannya.
Sungguh satu contoh yang sangat patut dijadikan suri teladan bagi kita semua. Habib Mahdi telah tiba di majelis satu jam sebelum acara dimulai, bahkan sebelum satu jama’ah pun hadir di majelis.
Pukul 16.00, puluhan jama’ah setia majelis Zawiyah alKisah memadati ruangan. Acara pun dimulai dengan pembacaan Wirdul Lathif. Habib Mahdi membukannya dengan memimpin pembacaan Fatihah. Sekitar 25 menit majelis bergema dengan lafazh-lafazh dzikir dan doa. Semua jama’ah hanyut dan larut dalam kekhusyu’annya masing-masing.
Dunia hanyalah Persinggahan
Setelah Wirdul Lathif usai dibaca, acara pun dilanjutkan dengan taushiyah, yang disampaikan oleh Habib Mahdi. Setelah untaian tawassul kepada Rasulullah SAW dan awliya’, Habib Mahdi memulai wejangannya.
“Dalam kehidupan yang penuh dengan ujian, kesulitan, kesusahan, baik dialami oleh individu maupun masyarakat nasional, setiap kita merasakan kegelisahan bahkan terkadang keputusasaan. Hal ini kemudian menjadikan lahirnya iri, dengki, dan akhirnya membawa kepada perbuatan menghalalkan segala cara.
Allah SWT berfirman, ‘Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.’ – QS An-Naba (78): 10-11.
Allah SWT telah menjadikan siang hari untuk mencari nafkah, sedangkan malam hari untuk istirahat. Allah memberikan jalan kepada kita untuk mencari nafkah, tapi jangan lupa kaidah untuk mencari nafkah, karena sering kali kita menomorsepuluhkan Allah pada saat berurusan dengan urusan diniawi kita.
Saat ini banyak muslim yang terkadang sudah bosen menjadi orang Islam. Bila dulu, setelah maghrib, anak-anak sudah duduk rapi untuk mengaji atau pergi ke mushalla, saat ini, maghrib dan isya, anak belum pulang tidak ada apa-apa.
Kok bisa kita disebut bosen dengan Islam! Karena dalam keseharian kita sudah melupakan dan tidak menggunakan tata cara kehidupan yang Islami. Ibadah diabaikan, shalat ditinggalkan, mengaji dilupakan. Pulang kerja langsung nonton bola, jam tiga pagi masih di depan bola, padahal belum shalat Isya, lalu ketiduran, shalat Subuh pun lewat, setelah itu bangun dan langsung bekerja. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan lebih penting daripada Allah SWT. Akibatnya, tidak ada lagi keberkahan pada apa yang kita cari dan kita dapatkan.
Allah SWT berfirman, ‘… barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizqi dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” – QS Ath-Thalaq (65): 2-3.
Ayat ini memberikan petunjuk bagi setiap umat Rasulullah SAW. Dalam keseharian, seorang muslim bergaul sebagai insan biasa, namun, di saat Allah memanggil, ia tampil paling pertama untuk menunaikannya.
Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, penyususun Ratib Al-Haddad dan al-Wird al-Lathif, berkata, ‘Bukanlah dunia sebagai negeri tanah air, melainkan hanyalah persinggahan untuk menuju negeri yang sebenarnya (akhirat).’
Rasulullah SAW bersabda, ‘Cinta tanah air adalah bagian dari iman.’ Tanah air kita yang sebenarnya adalah akhirat, sehingga makna hadits ini adalah agar kita selalu merindukan negeri akhirat, karena dunia ini bukanlah negeri kita. Nabi Adam Allah ciptakan di surga lalu turun ke bumi. Itulah sebabnya, bumi ini bukanlah negeri kita.
Kurma Paling Buruk
Banyak contoh yang bisa kita ambil pelajaran dari ketaqwaan orang-orang pilihan Allah.
Al-Habib Syech Abu Bakar bin Salim, ketika sedang menjelaskan ayat tersebut, Ath-Thalaq: 2-3, ada dua orang jama’ah nyeletuk di belakang, ‘Apa bener begitu?’
Lalu Habib Syech berkata kepada salah seorang muridnya, ‘Hai muridku, di belakang ada 40 karung kurma yang paling jelek di Hadhramaut, yang nilainya tidak lebih dari empat dinar. Jual-lah kurma itu ke Irak, dan jangan engkau jual satu butir pun kurang dari satu dinar per butirnya. Aku ingin membuktikan bahwa janji Allah itu benar.’
Selama dalam perjalanan murid-murid Habib Syech terus dilanda kebingungan dan keheranan. Bagaimana mungkin kurma yang paling buruk akan dijual satu dinar per butir, sementara kurma Irak saja, yang bagus, harganya satu dinar per kilonya.
Setelah melakukan perjalanan beberapa lama, murid-murid Habib Syech tiba di suatu daerah di Irak. Ternyata daerah tersebut tengah dilanda wabah penyakit yang ganas. Tiba-tiba seorang anak kecil, yang juga sedang menderita penyakit yang sedang mewabah di daerah itu, menghampiri mereka dan melihat-lihat kurma yang ada di karung. Karena merasa tertarik, ia pun meminta kurma yang ada di karung.
Sebutir kurma dikeluarkan dan diberikan kepada anak tadi. Subhanallah, dengan izin Allah, beberapa saat kemudian anak itu sembuh dari penyakitnya.
Karena begitu gembira, anak itu pun berlari-lari di pasar sembari meneriakkan bahwa ada kurma yang dapat menyembuhkan penyakitnya.
Tidak lama kemudian orang-orang datang berduyun-duyun untuk membeli kurma. Namun murid-murid Habib Syech menjelaskan, kurma itu hanya dijual dengan harga satu dinar per butir. Demikianlah karamah Habib Syech, meski dihargai dengan harga yang tidak wajar, mereka berebut untuk membelinya, hingga tak berapa lama kurma-kurma pun telah habis terjual seluruhnya, sementara murid-murid Habib Syech hanya terheran-heran menyaksikan kejadian tersebut.
Setelah rombongan pembawa kurma kembali ke Hadhramaut dengan membawa hasil dagangan yang sangat besar, Habib Syech berkata, ‘Inilah janji Allah kepadaku. Sekarang bagikanlah!’
Demikianlah kekuatan keyakinan Habib Syech kepada Allah SWT. Maka Allah buktikan janji-Nya. Adapun kita selalu mengucapkan tetapi tidak melakukan. Dalam setiap shalat, pasti kita baca, ‘Iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).’ Tapi dalam keseharian kita,na`budu kita lupa, nasta`in-nya pun kita lupa.
Contoh lain yang nyata dan bisa dijadikan pelajaran yang bisa kita petik adalah pelajaran dari makam-makam awliya’ di tanah air, misalnya, seperti makam Habib Husein Alaydrus Luar Batang. Habib Husein telah wafat lebih dari seratus tahun yang lalu, sebelum kita semua lahir. Namun, setiap tahun, haul digelar dan rangkaian Maulid pun diadakan, makanan disuguhkan bagi ratusan ribu muhibbin yang datang dan hadir. Bukan hanya itu, berapa banyak orang yang menggantungkan hidupnya di sekitar makam beliau. Perhatikanlah rizqi yang Allah berikan kepada Habib Husein! Bukan hanya semasa hidupnya Habib Husein memberikan manfaat bagi orang-orang di sekitarnya, bahkan sesudah wafat pun berapa banyak yang mendapatkan manfaat dari beliau sebagai buah dari kedekatan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Wa`budullah
Kunci semua kesuksesan itu adalah ‘wa`budullah’, ‘sembahlah Allah’. Kesuksesan dan kejayaan akan mudah dicapai bila kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa. Kesuksesan dan kejayaan dari Allah SWT, bukan kejayaan dari manusia. Karena kejayaan atau jabatan yang berasal dari manusia akan mudah jatuh, pupus, dan hilang, tetapi kejayaan dan kesuksesan yang Allah berikan, tidak ada seorang pun yang dapat meruntuhkannya.
Satu hal yang perlu diingat, kita semua ini, umat Rasulullah SAW, adalah mutiara dan intan berlian yang paling berharga, tinggal di mana kita menempatkannya. Bila ditempatkan di tempat yang mulia, pasti akan memunculkan kemilau yang indah dan akan mahal serta tinggi nilainya, namun bila ditaruh di tempat sampah, nilainya pun akan ikut kepada tempat di mana ia berada.
Ada satu firman Allah, dalam sebuah hadits qudsi, yang perlu selalu kita renungkan, Allah SWT berfirman, ‘Wahai dunia, siapa yang mengabdi kepada-Ku, maka engkau harus mengabdi kepadanya. Dan barang siapa mengabdi kepadamu, maka binasakanlah dia.’
Demikian pula sebuah hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda, ‘Bekerjalah untuk duniamu seakan engkau hidup untuk selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan engkau mati esok hari’.”
Hadits ini menjadi penutup uraian panjang mauizhah hasanah yang disampaikan Habib Mahdi bin Abdurrahman Al-Attas. Sebagian jama’ah terlihat sudah tak sabar untuk mengajukan pertanyaan.
Amalan Mudah Rizqi
“Habib, Allah sudah memberikan satu tuntunan bahwa siang hari untuk mencari nafkah dan malam hari untuk istirahat. Lalu bagaimana bila seseorang menjadikan keduanya untuk mencari materi, apakah tidak menyalahi sunnatullah?” tanya Bapak Yasir dari Tanggerang mengawali sesi tanya-jawab.
“Allah menjadikan siang sebagai waktu untuk mencari nafkah dan malam sebagai waktu untuk beristirahat. Pada malam hari ada sesuatu yang paling indah, yaitu masa untuk mendekatkan diri kepada Allah, terutama di saat kebanyakan manusia lelap tertidur. Kita bangun untuk mengadu dan bermunajat kepada Allah. Maknanya, bila seseorang menggunakan semua waktunya, siang dan malam, untuk mencari materi, akan hilang keberkahannya. Materi boleh semakin bertambah, tapi keberkahan hilang dari kehidupannya.”
“Habib, apa kriteria orang yang bertaqwa kepada Allah, sehingga dapat meraih kejayaan dengan mudah, serta adakah amalan agar kita selalu ikhlas? Dan bagaimana dengan fenomena yang kita saksikan bahwa kebanyakan orang yang ahli ibadah justru susah hidupnya?” tanya Sita, salah satu redaktur alKisah.
“Ketaqwaan seseorang terlihat tatkala ia mampu untuk selalu qanaah dengan apa yang diberikan oleh Allah, tidak menginginkan apa pun yang Allah haramkan, dan melaksanakan iyyaka na`budu secara benar, banyak meneteskan air mata di hadapan Allah.
Banyak orang beranggapan, kesuksesan hanya terdapat pada harta yang berlimpah, dan lupa bahwa, makin banyak harta seseorang, makin diperbudak hidupnya oleh hartanya.
Adapun doa untuk ikhlas itu banyak, namun kuncinya adalah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ‘Engkau menyembah Allah seakan engkau melihat-Nya; dan bila engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.’
Adapun amalan agar dimudahkan rizqi, dimudahkan segala urusan, dan mendapatkan keberkahan, istiqamahkan membaca surah Thaha dan Al-Waqi`ah setelah shalat Subuh, disertai shalat Dhuha. Dan bagi yang tidak mampu melakukannya, dapat mengamalkan membaca surah Al-Quraisy sebanyak sebelas kali setiap ba`da subuh dan sesudah ashar, sebagaimana yang diijazahkan oleh Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri kepada saya.” (Amalan ini diijazahkan secara khusus kepada jama’ah yang menghadiri Zawiyah alKisah, yang tentu saja fadhilahnya berbeda).
Selanjutnya Ibu Salwati menanyakan hukum shalat Tahiyatul Masjid setelah melakukan shalat Ashar.
“Boleh melakukan shalat setelah shalat Ashar bila ada sebab mutaqaddim, sebab terdahulu, seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat Jenazah, dan shalat sunnah wudhu.”
Penanya terakhir, karena waktu yang tidak mengizinkan, adalah Bapak Adi. Ia menanyakan kiat agar tetap istiqamah dan kuat dalam menghadapi berbagai gangguan ibadah.
“Kuncinya, selalu mengingat bahwa kita seorang diri saat kematian datang menjemput. Jangan hiraukan orang lain saat kita hendak melakukan ibadah, dan ingatlah bahwa nyawa ini bukanlah hak milik, hanya hak pakai, titipan dari Allah SWT. Kapan pun Allah akan mengambil titipan-Nya, tidak seorang pun dapat menolaknya,” jawab Habib Mahdi menutup sesi tanya-jawab.
Hadirin merasa puas dengan taushiyah dan jawaban yang disampaikan Habib Mahdi dengan jelas dan lugas, yang juga sering dibumbui dengan canda segar yang membuat hadirin tertawa kecil tapi terus antusias sejak awal hingga akhir majelis.
Setelah ditutup doa oleh Habib Mahdi, bubur biji salak yang lezat ditemani secangkir kopi jahe panas ala Pekalongan dibagikan di antara jama’ah. Keakraban begitu terasa di sela-sela menyantap hidangan yang disediakan. Sebuah pengalaman yang tidak akan terlupakan bagi siapa pun yang hadir di majelis. Berkumpul bersama dzuriyah Rasulullah SAW, berdzikir, bershalawat, mendengarkan taushiyah, uraian ilmu, bercengkerama ditemani hangatnya kopi jahe dan hidangan alakadarnya, sungguh kesan yang selalu indah untuk dikenang. Semoga Allah senantiasa meneguhkan langkah ini untuk selalu hadir di majelis ini, agar dapat bertatap muka dengan para cucu Rasulullah SAW dan para dai, yang mengajak ke jalan-Mu, mendengarkan untaian mutiara indah, nasihat penuh makna dari lisan mereka, sosok-sosok mulia pilihan Allah. Amien ya Rabbal `alamin….