Saat itu, karena begitu banyaknya mahasiswa Al-Azhar yang belajar kepadanya, ia pun kemudian digelari Al-Azhar Ats-Tsani, “Al-Azhar Kedua”. Gelar itu merupakan ungkapan tulus dari para mahasiswa Universitas Al-Azhar sebagai penghormatan atas keluasan dan kedalaman ilmunya.
Saat menerangkan beberapa kata sapaan, Syaikh Ibrahim Al-Bajuri dalam kitab Hasyiyah-nya menjelaskan, “syaikh” sebagai kata bermakna orang tua yang berumur empat puluh tahun lebih. Namun demikian, jangan dulu heran bila orang banyak telah menyebut tokoh kita ini dengan sebutan “syaikh” sejak muda sekali, bahkan sebelum berusia empat puluh tahun.
Apa pasal? Yang dikatakan orang banyak itu selaras belaka dengan apa yang disebutkan dalam sebuah maqalah, al-‘alimu syaikhun wa in kana shaghiran, wal-jahilu shaghirun wa in kana syaikhan – seorang yang alim adalah seorang “syaikh” sekalipun masih kecil/muda usia, dan seorang yang bodoh tetap sebagai seorang yang kecil sekalipun ia seorang syaikh (tua usianya).
Tak mengherankan, tatkala sebuah penerbit di Mesir hendak mencetak ulang dan menerbitkan kitab manaqib Imam Syafi’i yang terbilang sangat lengkap, karya Ath-Thabari, Syaikh Nuruddin-lah yang didaulat untuk menyampaikan pengantar dalam kitab tersebut. Padahal, saat itu usianya masih berkepala tiga.
Hijrah ke Kota Suci
Ulama yang pada tahun 2010 ini genap berusia setengah abad ini lahir di Banjar, Kalimantan Selatan, pada 1 September 1960. Ia anak ketiga dari tujuh bersaudara.
Pada mulanya ia belajar Al-Quran kepada neneknya, bibinya, dan kakaknya yang sulung.
Tahun 1974, ia sekeluarga hijrah ke Makkah. Di kota suci ini ia meneruskan pendidikannya di Madrasah Shaulatiyah. Saat lulus di tahun 1982, ia mendapatkan nilai yang sangat memuaskan.
Di samping belajar secara formal, ia juga menyempatkan diri mengikuti majelis pengajian yang bersifat non-formal di Masjidil Haram dan di kediaman para guru, terutama Al-Faqih Ad-Darrakah Syaikh Ismail Utsman Az-Zayn Al-Yamani. Syaikh Ismail Az-Zayn adalah seorang ulama yang dikenal luas kefaqihannya. Sebagai seorang guru, Syaikh Ismail tak pernah jemu untuk bersama-sama berkumpul dengan sekian banyak anak muridnya.
Syaikh Nuruddin banyak menimba ilmu dari Syaikh Ismail. Ia amat akrab dengan gurunya yang satu ini, selalu melazimi majelis-majelisnya, dalam maupun luar kota Makkah, dan sering pula bersama-sama dengan gurunya itu pada banyak kesempatan, misalnya untuk menziarahi makam Rasulullah SAW di kota Madinah. Syaikh Nuruddin senantiasa berhubungan dengan gurunya ini hingga sang guru wafat, pada 20 Dzulhijjah 1414, selepas shalat Subuh di Masjidil Haram.
Saat berziarah bersama Syaikh Ismail Az-Zayn, yang disebut-sebut sebagai guru yang amat mewarnai corak pemikirannya itu, biasanya ia mulai berangkat dari Makkah setelah shalat Subuh berjama’ah di Masjidil Haram pada hari Kamis dan kembali pulang ke Makkah seusai shalat Jum’at keesokan harinya.
Selain menghadiri majelis-majelis Syaikh Ismail, ia sering pula menemani gurunya itu pada berbagai kesempatan dakwah. Ia meluangkan banyak waktunya untuk berkhidmat kepada Syaikh Ismail.
Karena kedekatan dan khidmatnya kepada sang guru, ia pun kemudian dapat mendekati para ulama lainnya dan menimba ilmu dari mereka semua. Di antara mereka, sebut saja, Syaikhul ‘Ulama Sayyid Hasan Masysyath, yang juga sering bersama-sama dengan Syaikh Ismail Az-Zayn, yang wafatnya tepat di Hari Raya ‘Idul Fithri 1399 H/…. M. Selain itu juga kepada Syaikhul Hadits wa Musniduddunya Syaikh Yasin Al-Fadani. Kepadanya, Syaikh Nurudiin mengambil banyak riwayat dan ijazah, terutama riwayat haditsmusalsal (hadits yang periwayatannya terus bersambung dari yang mengijazahkan riwayat sampai Rasulullah SAW) dan juga sanad berbagai kitab, termasuk kitab-kitab sanad yang ditulis Syaikh Yasin sendiri. Syaikh Yasin wafat pada malam Jum’at 28 Dzulqa’dah 1410 H/…. M dan dimakamkan di Pemakaman Ma’la, Makkah.
Selain Sayyid Hasan Masysyath dan Syaikh Yasin Al-Fadani, banyak lagi ulama-ulama besar yang ia datangi untuk menimba ilmu, seperti Syaikh Abdullah Sa’id Al-Lahji, Syaikh Abdul Karim Banjar, Syaikh Suhaili Al-Anfenani, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Syaikh Sa’id Al-Bakistani, Syaikh Zakaria Bila.
Semasa tinggal di kota Makkah itu, ia telah sering mengajar para pelajar asal Indonesia. Di antara kitab-kitab yang diajarkannya pada masa itu adalah Qatrunnada, Fathul Mu’in, ‘Umdatus Salik, Bidayatul Hidayah.
Al-Azhar Ats-Tsani
Tahun 1983, selepas dari Shaulatiyah, Makkah, Syaikh Nuruddin melanjutkan pelajarannya ke Universitas Al-Azhar, Kairo, dan masuk Fakultas Syari’ah sampai mendapat gelar sarjana muda. Kemudian, pada tahun 1990 ia meneruskan pendidikannya di Ma’had ‘Ali li Ad-Dirasat Al-Islamiyah di Zamalik, masih di Kairo, Mesir, hingga memperoleh gelar di tingkat dirasat ‘ulya, atau sarjana penuh perguruan tinggi.
Sebagaimana sewaktu di Makkah, perburuan ilmunya kepada para ulama setempat terus berlanjut. Selama di Mesir, ia selalu memanfaatkan waktunya untuk menimba ilmu dari para ulama besar yang menetap di sana atau yang sempat berkunjung beberapa lama di Mesir. Di antara para ulama yang menjadi guru-gurunya saat ia tinggal di Mesir adalah Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf (mantan mufti Mesir), Syaikh Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi (pakar hadits), Syaikh Muntashir Al-Kattani Al-Maghribi (ulama besar asal Maroko), Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi (ulama besar Mesir yang amat berpengaruh), Syaikh Ali Jadul Haq (mantan syaikhul Azhar), Syaikh Muhammad Al-Ghazali (dai, pemikir, ulama kontemporer, dan tokoh pergerakan di Mesir). Masih banyak lagi guru-gurunya yang lain, yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh ulama puncak di negeri tempat mereka menetap.
Usai menamatkan pendidikan formalnya, ia semakin memfokuskan diri dalam mencurahkan ilmunya kepada ratusan pelajar Asia, khususnya Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Thailand, yang tengah menimba ilmu di Universitas Al-Azhar.
Majelis kajian yang ia asuh di sana sebenarnya telah berdiri sejak tahun 1987, namanya Majlis Al-Banjari Littafaqquh Fiddin. Majelis itu dibuka di asrama pelajar Johor, asrama pelajar Pulau Pinang, dewan rumah Kedah, dewan rumah Kelantan, serta di Masjid Jami’ Al-Fath di sebuah kawasan bernama Madinah Nashr.
Saat itu, karena begitu banyaknya mahasiswa Al-Azhar yang belajar kepadanya, ia pun kemudian digelari Al-Azhar Ats-Tsani, “Al-Azhar Kedua”. Gelar itu merupakan ungkapan tulus dari para mahasiswa Universitas Al-Azhar sebagai penghormatan atas keluasan dan kedalaman ilmunya.
Di samping mengajar, saat itu ia sudah mulai aktif menulis buku-buku agama berbahasa Arab dan Melayu. Sebagian kitab karyanya yang berbahasa Arab, saat ini sudah tersebar luas di Timur Tengah dan di sebagian negara Asia.
Sanad yang Bersambung
Di antara keistimewaan Syaikh Nuruddin, ia mewarisi metodologi pengajian yang berdasarkan ketersambungan sanad atau mata rantai keilmuan. Misalnya, dalam mempelajari hadits, hadits yang ia pelajari sampai silsilah periwayatannya hingga kepada Rasulullah SAW. Demikian pula saat ia mempelajari kitab-kitabnya para ulama, riwayat pembacaan kitab-kitab tersebut sampai silsilahnya kepada pengarang asal kitab, seperti Imam Syafi’i, Imam Suyuthi, Imam Nawawi, dan lain-lain. Di sinilah tampak kemurnian dan keberkahan ilmu yang berpindah dari generasi ke generasi.
Untuk mencapai prestasi keilmuan seperti itu, tentu dibutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Wajar saja memang bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam mencapainya, “Ini terkait dengan masalah tradisi para ulama salaf ketika hendak memberi syarah terhadap sebuah hadits. Kita harus tahu siapa orang yang mensyarah hadits, atau hasyiyah (catatan kaki). Sebab banyak orang bisa memahami (arti harfiah) sebuah hadits tapi tidak bisa mengungkapkan dan tidak tepat memaknainya.
Inilah min fawaidi at-talaqqi, sebagian manfaat ber-talaqqi (berada di bawah bimbingan langsung seorang syaikh), supaya kita memaknai hadits itu secara tepat. Walau tidak dijamin seratus persen, insya Allah, dengan bertalaqqi pemahaman kita tidak akan lepas dari maksud dan tujuan penulis. Jadi bisa kita katakan al-haqiqah ala ma’na shahih (pengertian sebenarnya dengan makna yang benar),” kata Syaikh Nuruddin sekali waktu saat mengomentari pentingnya masalah sanad dalam ilmu.
Mencetak Tunas Ulama
Tahun 1998 ia dipercaya mengajar di Ma’had Tarbiyah Islamiyah (MTI), Derang, Kedah, yang didirikan almarhum Ustadz Niamat bin Yusuf pada tahun 1980. Di Kedah, kehadirannya bagaikan hujan yang menyuburkan bumi yang telah lama kehausan akan siramannya. Ia pun kemudian menetap di MTI Derang hingga tahun 2002. Di sana ia menjadi tenaga pengajar utama dan tokoh ulama muda yang disegani.
Selain mengajar di MTI, ia juga aktif mengadakan majelis-majelis ilmu dan ceramah bulanan atau mingguan di masjid-masjid, sekolah-sekolah, perayaan-perayaan keagamaan, bahkan dakwahnya telah bergema di hotel-hotel, lingkungan pejabat kerajaan (Kedah, Pulau Pinang, Perak, Kelantan, dan Terangganu).
Setiap kali majelisnya digelar, pesertanya terus bertambah. Mereka adalah para penimba ilmu yang berhasrat menimba ilmu atau menerima siraman ruhani darinya.
Setelah empat tahun menabur bakti di bumi Kedah, ia pulang ke tempat asal kelahirannya, Kalimantan Selatan.
Pada tahun 2004, ia pun mendirikan Pesantren Az-Zayn Al-Makki Al-’Ali Littafaqquh Fiddin di daerah Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Kata “Az-Zayn Al-Makki” pada nama pesantrennya merupakan nisbah kepada gurunya, Syaikh Ismail Utsman Az-Zayn Al-Makki, guru besarnya sewaktu ia menetap di kota Makkah.
Di sinilah kini ia menetap dan mencetak tunas-tunas muda penerus perjuangan para ulama pewaris Nabi. Sungguh beruntung negeri ini memiliki seorang ulama seperti Syaikh Muhammad Nuruddin Marbu Al-Banjari ini.
Ia adalah gambaran sosok ulama yang istiqamah pada setiap apa yang dikerjakannya. Semangatnya luar biasa, tegas dalam prinsip, berdisiplin tinggi, berwibawa, dan selalu bersemangat dalam menyampaikan ilmu.
Keistimewaan pribadinya juga tergambar dari rona wajahnya yang selalu berbinar ceria. Tak tampak ada rasa letih di wajahnya, meski kini waktu demi waktu ia habiskan untuk mengajar di banyak tempat, baik di pesantrennya sendiri maupun majelis-majelis rutin yang ia bina lainnya. Melihat jadwal mengajarnya saja, dalam dan luar negeri, tak sanggup rasanya seseorang terus berada bersamanya.
Tindak-tanduknya menunjukkan pribadi yang terpelihara oleh nilai-nilai adab yang mulia. Murid-muridnya pun memandangnya bukan hanya sebagai guru yang mencurahkan ilmu kepada mereka, tapi juga menuntun mereka dalam kemuliaan adab saat belajar. Dalam hal ini, Syaikh Nuruddin berpesan kepada mereka, “Akhlaq juga harus besar sebagaimana besarnya kitab-kitab yang kita pelajari. Dan beramallah, jangan sampai belajar di kelas tafaqquh (paham syari’at agama) tapi tak berminat untuk beramal.”
Di samping mengajar, sampai sekarang ia juga terus aktif membuahkan karya, baik mengarang maupun men-tahqiq (menelaah) kitab. Karyanya telah mencapai lebih dari 100 buku. Beberapa karyanya kini banyak dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi, termasuk kitabnya, Qawa’id Fiqhiyyah, yang kini digunakan sebagai salah satu rujukan di Fakultas Syariah, di beberapa universitas di Malaysia. Begitu pula kaset-kaset, CD-CD MP3, VCD ceramah-ceramah dari majelisnya, risalah-risalah singkatnya. Hebatnya lagi, semua keuntungan hasil penjualan tidak diambil olehnya, tapi untuk kemanfaatan anak-anak muridnya saja.
Apa pasal? Yang dikatakan orang banyak itu selaras belaka dengan apa yang disebutkan dalam sebuah maqalah, al-‘alimu syaikhun wa in kana shaghiran, wal-jahilu shaghirun wa in kana syaikhan – seorang yang alim adalah seorang “syaikh” sekalipun masih kecil/muda usia, dan seorang yang bodoh tetap sebagai seorang yang kecil sekalipun ia seorang syaikh (tua usianya).
Tak mengherankan, tatkala sebuah penerbit di Mesir hendak mencetak ulang dan menerbitkan kitab manaqib Imam Syafi’i yang terbilang sangat lengkap, karya Ath-Thabari, Syaikh Nuruddin-lah yang didaulat untuk menyampaikan pengantar dalam kitab tersebut. Padahal, saat itu usianya masih berkepala tiga.
Hijrah ke Kota Suci
Ulama yang pada tahun 2010 ini genap berusia setengah abad ini lahir di Banjar, Kalimantan Selatan, pada 1 September 1960. Ia anak ketiga dari tujuh bersaudara.
Pada mulanya ia belajar Al-Quran kepada neneknya, bibinya, dan kakaknya yang sulung.
Tahun 1974, ia sekeluarga hijrah ke Makkah. Di kota suci ini ia meneruskan pendidikannya di Madrasah Shaulatiyah. Saat lulus di tahun 1982, ia mendapatkan nilai yang sangat memuaskan.
Di samping belajar secara formal, ia juga menyempatkan diri mengikuti majelis pengajian yang bersifat non-formal di Masjidil Haram dan di kediaman para guru, terutama Al-Faqih Ad-Darrakah Syaikh Ismail Utsman Az-Zayn Al-Yamani. Syaikh Ismail Az-Zayn adalah seorang ulama yang dikenal luas kefaqihannya. Sebagai seorang guru, Syaikh Ismail tak pernah jemu untuk bersama-sama berkumpul dengan sekian banyak anak muridnya.
Syaikh Nuruddin banyak menimba ilmu dari Syaikh Ismail. Ia amat akrab dengan gurunya yang satu ini, selalu melazimi majelis-majelisnya, dalam maupun luar kota Makkah, dan sering pula bersama-sama dengan gurunya itu pada banyak kesempatan, misalnya untuk menziarahi makam Rasulullah SAW di kota Madinah. Syaikh Nuruddin senantiasa berhubungan dengan gurunya ini hingga sang guru wafat, pada 20 Dzulhijjah 1414, selepas shalat Subuh di Masjidil Haram.
Saat berziarah bersama Syaikh Ismail Az-Zayn, yang disebut-sebut sebagai guru yang amat mewarnai corak pemikirannya itu, biasanya ia mulai berangkat dari Makkah setelah shalat Subuh berjama’ah di Masjidil Haram pada hari Kamis dan kembali pulang ke Makkah seusai shalat Jum’at keesokan harinya.
Selain menghadiri majelis-majelis Syaikh Ismail, ia sering pula menemani gurunya itu pada berbagai kesempatan dakwah. Ia meluangkan banyak waktunya untuk berkhidmat kepada Syaikh Ismail.
Karena kedekatan dan khidmatnya kepada sang guru, ia pun kemudian dapat mendekati para ulama lainnya dan menimba ilmu dari mereka semua. Di antara mereka, sebut saja, Syaikhul ‘Ulama Sayyid Hasan Masysyath, yang juga sering bersama-sama dengan Syaikh Ismail Az-Zayn, yang wafatnya tepat di Hari Raya ‘Idul Fithri 1399 H/…. M. Selain itu juga kepada Syaikhul Hadits wa Musniduddunya Syaikh Yasin Al-Fadani. Kepadanya, Syaikh Nurudiin mengambil banyak riwayat dan ijazah, terutama riwayat haditsmusalsal (hadits yang periwayatannya terus bersambung dari yang mengijazahkan riwayat sampai Rasulullah SAW) dan juga sanad berbagai kitab, termasuk kitab-kitab sanad yang ditulis Syaikh Yasin sendiri. Syaikh Yasin wafat pada malam Jum’at 28 Dzulqa’dah 1410 H/…. M dan dimakamkan di Pemakaman Ma’la, Makkah.
Selain Sayyid Hasan Masysyath dan Syaikh Yasin Al-Fadani, banyak lagi ulama-ulama besar yang ia datangi untuk menimba ilmu, seperti Syaikh Abdullah Sa’id Al-Lahji, Syaikh Abdul Karim Banjar, Syaikh Suhaili Al-Anfenani, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Syaikh Sa’id Al-Bakistani, Syaikh Zakaria Bila.
Semasa tinggal di kota Makkah itu, ia telah sering mengajar para pelajar asal Indonesia. Di antara kitab-kitab yang diajarkannya pada masa itu adalah Qatrunnada, Fathul Mu’in, ‘Umdatus Salik, Bidayatul Hidayah.
Al-Azhar Ats-Tsani
Tahun 1983, selepas dari Shaulatiyah, Makkah, Syaikh Nuruddin melanjutkan pelajarannya ke Universitas Al-Azhar, Kairo, dan masuk Fakultas Syari’ah sampai mendapat gelar sarjana muda. Kemudian, pada tahun 1990 ia meneruskan pendidikannya di Ma’had ‘Ali li Ad-Dirasat Al-Islamiyah di Zamalik, masih di Kairo, Mesir, hingga memperoleh gelar di tingkat dirasat ‘ulya, atau sarjana penuh perguruan tinggi.
Sebagaimana sewaktu di Makkah, perburuan ilmunya kepada para ulama setempat terus berlanjut. Selama di Mesir, ia selalu memanfaatkan waktunya untuk menimba ilmu dari para ulama besar yang menetap di sana atau yang sempat berkunjung beberapa lama di Mesir. Di antara para ulama yang menjadi guru-gurunya saat ia tinggal di Mesir adalah Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf (mantan mufti Mesir), Syaikh Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi (pakar hadits), Syaikh Muntashir Al-Kattani Al-Maghribi (ulama besar asal Maroko), Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi (ulama besar Mesir yang amat berpengaruh), Syaikh Ali Jadul Haq (mantan syaikhul Azhar), Syaikh Muhammad Al-Ghazali (dai, pemikir, ulama kontemporer, dan tokoh pergerakan di Mesir). Masih banyak lagi guru-gurunya yang lain, yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh ulama puncak di negeri tempat mereka menetap.
Usai menamatkan pendidikan formalnya, ia semakin memfokuskan diri dalam mencurahkan ilmunya kepada ratusan pelajar Asia, khususnya Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Thailand, yang tengah menimba ilmu di Universitas Al-Azhar.
Majelis kajian yang ia asuh di sana sebenarnya telah berdiri sejak tahun 1987, namanya Majlis Al-Banjari Littafaqquh Fiddin. Majelis itu dibuka di asrama pelajar Johor, asrama pelajar Pulau Pinang, dewan rumah Kedah, dewan rumah Kelantan, serta di Masjid Jami’ Al-Fath di sebuah kawasan bernama Madinah Nashr.
Saat itu, karena begitu banyaknya mahasiswa Al-Azhar yang belajar kepadanya, ia pun kemudian digelari Al-Azhar Ats-Tsani, “Al-Azhar Kedua”. Gelar itu merupakan ungkapan tulus dari para mahasiswa Universitas Al-Azhar sebagai penghormatan atas keluasan dan kedalaman ilmunya.
Di samping mengajar, saat itu ia sudah mulai aktif menulis buku-buku agama berbahasa Arab dan Melayu. Sebagian kitab karyanya yang berbahasa Arab, saat ini sudah tersebar luas di Timur Tengah dan di sebagian negara Asia.
Sanad yang Bersambung
Di antara keistimewaan Syaikh Nuruddin, ia mewarisi metodologi pengajian yang berdasarkan ketersambungan sanad atau mata rantai keilmuan. Misalnya, dalam mempelajari hadits, hadits yang ia pelajari sampai silsilah periwayatannya hingga kepada Rasulullah SAW. Demikian pula saat ia mempelajari kitab-kitabnya para ulama, riwayat pembacaan kitab-kitab tersebut sampai silsilahnya kepada pengarang asal kitab, seperti Imam Syafi’i, Imam Suyuthi, Imam Nawawi, dan lain-lain. Di sinilah tampak kemurnian dan keberkahan ilmu yang berpindah dari generasi ke generasi.
Untuk mencapai prestasi keilmuan seperti itu, tentu dibutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Wajar saja memang bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam mencapainya, “Ini terkait dengan masalah tradisi para ulama salaf ketika hendak memberi syarah terhadap sebuah hadits. Kita harus tahu siapa orang yang mensyarah hadits, atau hasyiyah (catatan kaki). Sebab banyak orang bisa memahami (arti harfiah) sebuah hadits tapi tidak bisa mengungkapkan dan tidak tepat memaknainya.
Inilah min fawaidi at-talaqqi, sebagian manfaat ber-talaqqi (berada di bawah bimbingan langsung seorang syaikh), supaya kita memaknai hadits itu secara tepat. Walau tidak dijamin seratus persen, insya Allah, dengan bertalaqqi pemahaman kita tidak akan lepas dari maksud dan tujuan penulis. Jadi bisa kita katakan al-haqiqah ala ma’na shahih (pengertian sebenarnya dengan makna yang benar),” kata Syaikh Nuruddin sekali waktu saat mengomentari pentingnya masalah sanad dalam ilmu.
Mencetak Tunas Ulama
Tahun 1998 ia dipercaya mengajar di Ma’had Tarbiyah Islamiyah (MTI), Derang, Kedah, yang didirikan almarhum Ustadz Niamat bin Yusuf pada tahun 1980. Di Kedah, kehadirannya bagaikan hujan yang menyuburkan bumi yang telah lama kehausan akan siramannya. Ia pun kemudian menetap di MTI Derang hingga tahun 2002. Di sana ia menjadi tenaga pengajar utama dan tokoh ulama muda yang disegani.
Selain mengajar di MTI, ia juga aktif mengadakan majelis-majelis ilmu dan ceramah bulanan atau mingguan di masjid-masjid, sekolah-sekolah, perayaan-perayaan keagamaan, bahkan dakwahnya telah bergema di hotel-hotel, lingkungan pejabat kerajaan (Kedah, Pulau Pinang, Perak, Kelantan, dan Terangganu).
Setiap kali majelisnya digelar, pesertanya terus bertambah. Mereka adalah para penimba ilmu yang berhasrat menimba ilmu atau menerima siraman ruhani darinya.
Setelah empat tahun menabur bakti di bumi Kedah, ia pulang ke tempat asal kelahirannya, Kalimantan Selatan.
Pada tahun 2004, ia pun mendirikan Pesantren Az-Zayn Al-Makki Al-’Ali Littafaqquh Fiddin di daerah Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Kata “Az-Zayn Al-Makki” pada nama pesantrennya merupakan nisbah kepada gurunya, Syaikh Ismail Utsman Az-Zayn Al-Makki, guru besarnya sewaktu ia menetap di kota Makkah.
Di sinilah kini ia menetap dan mencetak tunas-tunas muda penerus perjuangan para ulama pewaris Nabi. Sungguh beruntung negeri ini memiliki seorang ulama seperti Syaikh Muhammad Nuruddin Marbu Al-Banjari ini.
Ia adalah gambaran sosok ulama yang istiqamah pada setiap apa yang dikerjakannya. Semangatnya luar biasa, tegas dalam prinsip, berdisiplin tinggi, berwibawa, dan selalu bersemangat dalam menyampaikan ilmu.
Keistimewaan pribadinya juga tergambar dari rona wajahnya yang selalu berbinar ceria. Tak tampak ada rasa letih di wajahnya, meski kini waktu demi waktu ia habiskan untuk mengajar di banyak tempat, baik di pesantrennya sendiri maupun majelis-majelis rutin yang ia bina lainnya. Melihat jadwal mengajarnya saja, dalam dan luar negeri, tak sanggup rasanya seseorang terus berada bersamanya.
Tindak-tanduknya menunjukkan pribadi yang terpelihara oleh nilai-nilai adab yang mulia. Murid-muridnya pun memandangnya bukan hanya sebagai guru yang mencurahkan ilmu kepada mereka, tapi juga menuntun mereka dalam kemuliaan adab saat belajar. Dalam hal ini, Syaikh Nuruddin berpesan kepada mereka, “Akhlaq juga harus besar sebagaimana besarnya kitab-kitab yang kita pelajari. Dan beramallah, jangan sampai belajar di kelas tafaqquh (paham syari’at agama) tapi tak berminat untuk beramal.”
Di samping mengajar, sampai sekarang ia juga terus aktif membuahkan karya, baik mengarang maupun men-tahqiq (menelaah) kitab. Karyanya telah mencapai lebih dari 100 buku. Beberapa karyanya kini banyak dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi, termasuk kitabnya, Qawa’id Fiqhiyyah, yang kini digunakan sebagai salah satu rujukan di Fakultas Syariah, di beberapa universitas di Malaysia. Begitu pula kaset-kaset, CD-CD MP3, VCD ceramah-ceramah dari majelisnya, risalah-risalah singkatnya. Hebatnya lagi, semua keuntungan hasil penjualan tidak diambil olehnya, tapi untuk kemanfaatan anak-anak muridnya saja.