Masalah bid’ah di dalam Islam adalah perkara yang harus dihindari oleh kaum muslimin.Semua kita tahu bahwa kita harus hati-hati dengan amalan ibadah yang bid’ah (dholalah) sebab akan sia-sia karena ditolak olelh Allah Swt. Ini berarti amalan tersebut tanpa menghasilkan pahala sebagai “ganjaran” dari amalan ibadah kita. Alias capek doangan. Dus, dengan demikian sudah pasti setiap muslim akan selalu berusaha membersihkan perkara bid’ah (dholalah) dalam setiap amalan ibadahnya. Kita tidak ingin beramal ibadah tetapi sia-sia tanpa pahala. Karena itulah memahami perkara-perkara yang berkaitan dengan thema kebid’ahan menjadi sangat diperlukan; urgensi mempelajarinya menempati posisi sedemikian penting lebih-lebih di zaman fitnah Islam yang semakin meruncing.
Banyak hadits Nabi Saw yang isinya memberitahukan tentang perkara bid’ah, dan para ulama salaf kita telah pula memperjelas secara lebih detail tentang apa-apa yang dimaksud dengan bid’ah. Kita tinggal mengikutinya karena kita percaya kepada para Ulama Faqih yang sholih itu, semisal Imam Syafi’i. Tapi kemudian di akhir zaman ini ada golongan (firqah) yang berusaha secara leterleg “ittiba”, dan praktiknya cenderung tanpa ilmu yang memadai. Sehingga Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah adalah sesat karena ada hadits Nabi Saw yang mengatakan demikian secara harfiyah, yaitu kullu bid’atin dholalah.Dari sinilah bermula akan munculnya fitnah-fitnah bid’ah akibat dari berbagai kesalah-pahaman dalam memahami bid’ah oleh firqah tersebut. Padahal para Ulama Salafuna Shalih sudah dengan begitu gamblang dan transparan dalam menjelaskan perkara bid’ah tersebut.
Nah, dalam rangka lebih memperjelas penjelasan para Ulama Salaf yang sholih itulah tampil seorang facebooker bernama Imam Nawawi memberikan tutorialnya bagaimnana memahami perkara bid’ah secara benar. Mari kita ikuti paparannya yang sangat menarik dan bermanfaat berikut ini …..
KESALAH-PAHAMAN/SALAFI KAUM WAHABI MEMAHAMI BID’AH
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Dengan rahmat dan hidayah Allah, ana paparkan kesalahan “kaum wahhaby”:
1. Tidak memperdulikan sabda Sahabat Umar “Ni’matul bid’atu hadzihi” (alangkah bagus bid’ah ini).
2. Memberi makna “kullu” hanya satu macam, yaitu “tiap-tiap/semua”. Padahal arti “kullu” itu ada dua, yaitu : “tiap-tiap” dan “sebagian”
Seperti kita maklumi, menurut istilah ilmu manthiq:
- “kullu” yang berarti “tiap-tiap” disebut “kullu kulliyah”
- “kullu” yang berarti “sebagian” disebut “kullu kully”
contoh “kullu kulliyah”
firman Allah: “Kullu nafsin dza’iqotul maut” yang artinya “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”
contoh “kullu kully”
firman Allah: “wa ja’alnaa minal maa’i kulla syai’in hayyin” yang artinya “Dan telah kami jadikan dari air sebagian makhluk hidup”.
kalau “kulla syai’in” di sini diartikan “tiap-tiap/semua” maka bertentangan dengan kenyataan, bahwa ada makhluk hidup yang dijadikan Allah tidak dari air, seperti malaikat dari cahaya, dan jin juga syetan dari api.
firman Allah: “wa kholaqol jaanna min maarijin min naar” yang artinya “Dan Allah telah menjadikan semua jin itu dari lidah api”
Jelaslah bahwa arti “kullu” itu ada dua yaitu “tiap-tiap” dan “sebagian”.
Kesalahan kaum wahhaby, karena mengartikan “kullu” hanya satu macam, yaitu “tiap-tiap”, sehingga dengan dalil “kullu bid’atin dlolalah” mereka menganggap semua bid’ah sesat tanpa kecuali.
Kesalahan Kaum Wahhaby yg lain:
kaum wahhaby menganggap “bid’ah” itu hanyalah pada urusan “ibadah”. Pada selain urusan ibadah mereka anggap tidak ada bid’ahnya. Kata kaum wahhabi: Ibadah itu tak boleh diubah, ditambah, dikurangi atau diciptakan sendiri, kesemuanya harus berbentuk asli dari Nabi.
Adapun urusan “selain ibadah” kata kaum wahhaby bolehlah berubah menurut keadaan zaman. Terhadap anggapan ini mereka terapkan hadits Nabi saw:
“Jika ada soal-soal agamamu, serahkanlah ia kepadaku. Jika ada soal-soal keduniaanmu, maka kamu lebih mengetahui akan soal-soal duniamu itu”
Secara dangkal, sepintas lalu anggapan Wahhaby ini seperti benar. Tetapi sebenarnya salah, karena:
-”Bid’ah” itu selain urusan “ibadah” juga terdapat di dalam urusan “mu’amalah” (pergaulan masyarakat). Seperti: pementasan lakon-lakon Nabi dalam drama, baik bersifat hiburan atau komersil.
-sasaran hadits di atas sebenarnya bukan mengenai “Bid’ah” melainkan mengenai “hukum” dan “teknis”
contoh:
-Hukum membangun masjid adalah urusan agama, harus dikembalikan kepada Nabi, artinya harus bersumber dari Qur’an dan sunnah. Sedang teknik pembangunannya adalah “urusan dunia” dan ini diserahkan kepada ummat, terserah menurut perkembangan peradaban manusia.
-Hukum pertanian adalah urusan agama. Harus bersumber dari Qur’an atau Sunnah.Teknik cocok-tanamnya adalah urusan dunia. Terserah kepada perkembangan peradaban.
Di dalam pengertian inilah Nabi menyabdakan Hadits di atas. Bukan di dalam pengertian “kaum wahhaby” di atas.
Kesalahan wahhaby yang lain, adalah mereka menganggap bahwa “ibadah” itu hanya satu macam, yang semua bentuknya harus asli dari Nabi saw. Padahal tidak demikian. Yang benar “ibadah” itu ada dua macam, yaitu:
1. Ibadah Muqoyyadah (Ibadah yang terikat) seperti:
- Sholat wajib 5 waktu
- Zakat wajib
- Puasa Ramadhan
- Haji, dsb…..
Ibadah-ibadah ini mempunyai keasalannya (keasliannya) dari Nabi saw dalam segala-galanya, hukumnya, teknis pelaksanaannya, waktu dan bentuknya. Kesemuanya diikat (muqoyyad) menurut aturan-aturan tertentu. Tidak boleh dirubah.
2. Ibadah Muthlaqoh (Ibadah yg tdk terikat secara menyeluruh), seperti:
- Dzikir (lisan atau hati) kepada Allah SWT.
- Tafakkur tentang makhluk Allah.
- Belajar atau Mengajar ilmu agama.
- Berbakti kepada ayah dan ibu (birrul walidain)
- dsb……
Ibadah-ibadah ini mempunyai keasalan dari Nabi saw. dalam beberapa hal, sedang mengenai bentuk dan teknik pelaksanaannya tidak diikat dengan aturan-aturan tertentu, terserah kepada ummat, asal tidak melanggar garis-garis pokok “Syari’at Islam”. Pada ibadah muthlaqoh inilah kadang terjadi “bid’ah hasanah”. Demikianlah paham Ahlussunnah wal jama’ah yang jelas bertentangan dengan paham “kaum wahhaby”.
*****
Sebagai tambahan ana paparkan contoh-contoh bid’ah hasanah:
- Membendel Qur’an menjadi kitab (mushaf) diawali dengan Fatihah dan diakhiri dengan an-Naas
- Memberi titik-titik dan syakal pada tulisan al-Qur’an (Pada masa Nabi saw. tidak ada titik dan syakalnya)
- Membuat istilah hadits shohih, hadits hasan, hadits dloif, dsb. (Pada masa Nabi ini juga tidak ada)
- Mengajar/belajar agama di Madrasah-madrasah secara klasikal (ber-kelas-kelas) dan bertingkat-tingkat dari dasar, menengah sampai universitas.
- Peringatan Maulid Nabi saw dalam segala bentuk yang tidak bertentangan dengan garis-garis Syari’ah Islam
Demikian paparan ana semoga bermanfaat dan ana berharap dengan do’a semoga kita semua dijauhkan Allah dari kesesatan kaum wahhaby ini sampai akhir hayat nanti…. Aamiin Allaahumma Aamiin
*****
Sebagai tambahan lagi, inilah penjelasan Ulama’-ulama’ ahlussunnah wal jama’ah mengenai pembagian bid’ah.
Pembagian Bid’ah
1. Menurut Imam Syafii
…“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama sesuatu yang baru yg menyalahi Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dlolalah. Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela (bid’ah hasanah).“ (Kitab Manaqib Syafii, karya Imam Baihaqi juz 1 hal. 469)
…“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama sesuatu yang baru yg menyalahi Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dlolalah. Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela (bid’ah hasanah).“ (Kitab Manaqib Syafii, karya Imam Baihaqi juz 1 hal. 469)
2. Menurut Imam Ibn Abdilbarr (seorang hafidz {hafal lebih dari 400 ribu hadits} dan faqih dari Madzhab Maliki)
“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah berdasar lisan arab (bahasa arab) adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam masalah agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi syari’at dan sunnah, maka itu (termasuk) sebaik-baik bid’ah (bid’ah hasanah) (Kitab al-Istidzkaar juz 5 hal. 152)
“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah berdasar lisan arab (bahasa arab) adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam masalah agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi syari’at dan sunnah, maka itu (termasuk) sebaik-baik bid’ah (bid’ah hasanah) (Kitab al-Istidzkaar juz 5 hal. 152)
3. Menurut Imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi (Imam Nawawi)
“Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qobihah (buruk) (Kitab Tahdzibil-asmaa’ wal-lughot, karya Imam Nawawi juz 3 hal. 22)
“Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qobihah (buruk) (Kitab Tahdzibil-asmaa’ wal-lughot, karya Imam Nawawi juz 3 hal. 22)
4. Menurut Imam Hafidz Ibn Atsir al-Jazari dlm kitabnya an-Nihayah fi ghoribil-hadits wal-atsar.
“Bid’ah ada dua macam; bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dlolal (sesat)
“Bid’ah ada dua macam; bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dlolal (sesat)
5. Menurut Imam Qodhi Abu Bakar Ibn Arabi al-Maliki (Ibn Arabi) dlm kitab karyanya “Aridzat al-Ahwadzi Syarh Jami’ al-Tirmidzi,
“Umar berkata: “Ini sebaik-baik bid’ah”. Bid’ah yg dicela hanyalah bid’ah yang menyalahi sunnah.
“Umar berkata: “Ini sebaik-baik bid’ah”. Bid’ah yg dicela hanyalah bid’ah yang menyalahi sunnah.
6. Menurut Imam Ibn Hajar Al-Atsqolani dlm kitabnya Fathul Bari juz 4 hal. 253
“Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dlm naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dlm naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela).”
“Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dlm naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dlm naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela).”
7. Menurut Imam al-’Aini (762-855 H) seorang hafidz (yg hafal ratusan ribu hadits) dan faqih yang bermadzhab Hanafi berkata dlm kitabnya ‘Umdat al-Qori juz 11 hal. 126:
“Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rosulullah saw. Kemudian bid’ah itu ada dua macam. Apabila masuk dlm naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’ maka dsebut bid’ah hasanah, Apabila masuk dibawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela).”
“Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rosulullah saw. Kemudian bid’ah itu ada dua macam. Apabila masuk dlm naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’ maka dsebut bid’ah hasanah, Apabila masuk dibawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela).”
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa menurut para Ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah, bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Bid’ah Hasanah (bid’ah yg sesuai dg dalil syara’/Qur’an dan Hadits Nabi saw.)
2. Bid’ah Dlolalah (bid’ah yg bertentangan dg dalil syara’/Qur’an dan Hadits Nabi saw.)
1. Bid’ah Hasanah (bid’ah yg sesuai dg dalil syara’/Qur’an dan Hadits Nabi saw.)
2. Bid’ah Dlolalah (bid’ah yg bertentangan dg dalil syara’/Qur’an dan Hadits Nabi saw.)
Alhamdulillaahirobbil’aalamiin….