Minggu, 15 Mei 2011

→¤ Sahabat Sebut Nabi dengan “Sayyid” ¤←

oleh Muhammad Itrianto pada 15 Mei 2011 jam 22:43



Hakikat Sayyidina
 
Mereka bertanya mengapa kita panggil Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam ?

Pertanyaan ini pada hakikatnya tidaklah terkait dengan dalil atau hujjah namun bagian dari akhlak.
Sebagian ulama (ahli ilmu) pada zaman modern ini memahami ilmuNya secara ilmiah/logika yakni menggunakan pikiran dan memori.
Jumhur ulama sejak dahulu memahami ilmuNya secara hikmah yakni menggunakan akal dan hati

Pikiran adalah akal dalam bentuk jasmani yakni penggunaan otak. (mengetahui, memahami dengan menterjemahkan)
Berakal adalah akal dalam bentuk ruhani yakni menggunakan akal. (mengetahui, memahami dengan mengambil pelajaran)

Berpikir dapat terpenuhi oleh anak sejak dini seperti kemampuan membaca, berhitung
Berakal dapat terpenuhi saat anak telah masuk wajib sholat.

Hati dalam bentuk jasmani adalah “segumpal darah”
Hati dalam bentuk ruhani adalah “hati yang lapang”

Orang-orang “Barat” yang umumnya non muslim yang berpikir secara ilmiah/logika dapat kita temui anak-anak memanggil orang tua mereka dengan namanya dan murid-murid memanggil guru mereka dengan namanya.

Kita orang-orang “Timur” khususnya kaum muslim memangil orang tua laki-laki kita dengan panggilan “ayah”, “abi”, “papa” dll sebagai penghormatan dan ikatan bathin/ruhani

Kita memanggil “ayah”, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebagai seorang anak.
Kita memanggil “pa guru” , pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebagai seorang murid.
Kita memanggil “ya Robb”, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebagai hamba Allah.
Kita memanggil “sayyidina” kepada Rasulullah, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebaga ummat beliau
Perbuatan memanggil “hubungan” adalah yang dimaksud dengan perbuatan bathin atau ruhani yang berhubungan dengan akal dan hati.

Contoh lain di kalangan orang jawa walaupun yang memanggil lebih tua namun sebagai penghormatan tetap memanggil yang muda dengan “mas”.
Kalau kita pahami secara ilmiah/logika maka itu kita katakan keliru seharusnya memanggilnya “dik” namun kalau kita pahami secara hikmah (akal dan hati) maka panggilan tersebut sah-sah saja

Apa yang kami sampaikan adalah apa yang dinamakan “hakikat”.
Pada zaman sekarang ini ulama (ahli ilmu) mulai melupakan yang namanya “hakikat”.
Semua itu ditengarai karena ulama-ulama mulai tercemar atau terserang ghazwul fikri dari pemikir-pemikir agama Islam namun mereka adalah non muslim. Mereka mendirikan “pusat kajian Islam” yang dipimpin oleh orientalis barat/non muslim. Aneh memang ada cendekiawan muslim namun belajar agama kepada orientalis barat/non muslim. Pastilah akam mendapatkan ilmu agama sebatas secara ilmiah/logika.

Syariat dapat dipahami secara ilmiah/logika dengan pikiran dan memori namun untuk selanjutnya tharikat, hakikat dan ma’rifat harus dipahami secara hikmah atau dengan akal dan hati

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Imam Ali menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.

Tharikat, hakikat, ma’rifat yang disebut juga tauhid tingkat lanjut
Tauhid tingkat lanjut tidak dapat dipahami oleh mereka yang tidak bersyahadat (non muslim)
Secara lengkap syariat, tharikat, hakikat, ma’rifat dinamakan dengan tasawuf atau tentang ihsan atau tentang akhlak.

Oleh karenanya dikatakan oleh sebagian ulama bahwa “modernisasi agama Islam” sebenarnya adalah “pendangkalan ajaran agama Islam” dan dikatakan “ulama pembaharu” sebenarnya adalah mereka yang “mendangkalkan” ajaran agama Islam.

Semoga saudara-saudara ku para pembaca dapat memahami bagaimana “peta” dunia Islam sesungguhnya.

Ilmu yang kita dapat dari syaikh/ulama/ustadz hanyalah sebagai bekal/syarat/syariat bagi kita untuk tujuan sesungguhnya. Tujuan sesungguhnya adalah memperjalankan diri kita (jasmani dan ruhani) pada jalan yang lurus menuju kepada Allah Azza wa Jalla sang pemilik ilmuNya.

“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )

Oleh karenanya marilah kita temui Allah Azza wa Jalla dengan sholat sunnat dua raka’at dan mohon ampunanNya atas ketersia-siaan waktu karena ilmuNya begitu luas tidak hanya sebagaimana syaikh/ulama/ustadz ajarkan kepada kita.

Biarkanlah Allah Azza wa Jalla yang membimbing kita sekalian untuk memahami ilmuNya.

Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )

“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282).

Jika kita telah ada kemauan untuk menuju kepadaNya, Allah Azza wa Jalla akan menentukan melalui sarana apa kita akan dibimbingnya seperti hati, ilham, firasat, mimpi atau melalui kekasihNya (Wali Allah), dan sarana lain yang dikehendakiNya.

71.9/6475. Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri telah menceritakan kepadaku Sa’id bin Musayyab, bahwasanya Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kenabian tidak ada lagi selain “berita gembira”, para sahabat bertanya; ‘apa maksud “berita gembira”? ‘ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab; mimpi yang baik.

71.14/6480. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Ubaidullah bin Abi Ja’far telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah dari Abu Qatadah mengatakan, Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “mimpi yang baik adalah berasal dari Allah, sedang mimpi yang buruk berasal dari setan, maka barangsiapa melihat sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah ia meludah ke samping kirinya sebanyak tiga kali, dan mintalah perlindungan dari setan, sesungguhnya mimpinya tersebut tidak akan membahayakannya, dan setan tidak mungkin bisa menyerupaiku.”

Contoh bimbingan melalui mimpi
14.159/1575. Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami An-Nadhar telah mengabarkan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Abu Jamrah berkata; Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma tentang muth’ah (hajji tamattu’), maka dia memerintahkan aku untuk melaksanakannya. Dan aku bertanya pula kepadanya tentang Al Hadyu (hewan qurban), maka dia berkata: ‘Untuk Al Hadyu boleh unta, sapi atau kambing atau bersekutu dalam darahnya (kolektif dalam penyembilahannya). Dia berkata: Seakan orang-orang tidak menyukainya. Kemudian aku tidur lalu aku bermimpi seakan ada orang yang menyeru: Hajji mabrur dan tamattu’ yang diterima. Kemudian aku menemui Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma lalu aku ceritakan mimpiku itu, maka dia berkata: Allahu Akbar, ini sunnah Abu Al Qasim Shallallahu’alaihiwasallam. Dia berkata; Dan berkata, Adam, Wahb bin Jarir dan Ghundar dari Syu’bah dengan redaksi: ‘Umrah mutaqabbalah (Umrah yang diterima) dan hajji mabrur.

Jangan ilmu yang kita dapat dari syaikh/ulama/ustadz justru menghijab diri kita dengan Allah Azza wa Jalla. Hal ini diungkapkan oleh ulama Tasawuf sebagai berikut,

Mereka yang terhalang melihat Allah yakni mereka yang tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya atau amalnya.
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jallan dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya.

Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla.

Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya.

Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya.

Nabi kita Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah Azza wa Jalla.

Dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”

Kita katakan bahwa sholat yang kita lakukan selama ini adalah berdasarkan ilmu dari syaikh/ulama/ustadz adalah sebagaimana sholatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun sebagaimana yang dilakukan para Sahabat. Pertanyaannya adalah, sudahkah sholat yang kita lakukan tersebut menghantarkan kita ke hadhirat Allah Azza wa Jalla ?

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

==========================

Senin, 07 Maret 2011

Hidayatullah.com—Dar Al Ifta Al Mishriyah, lembaga fatwa resmi Mesir dalam fatwa no. 292, membahas mengenai hukum mengucap “Sayyiduna” kepada Rasulullah Shallallahu Alahi Wasallam. Fatwa ini dikeluarkan untuk merespon permohonan fatwa bernomor 2724, yang diajukan ke Dar Alifta, mengenai masalah tersebut.

Dalam fatwa itu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alahi Wassalam merupakan “Sayyid” (tuan) bagi seluruh makhluk adalah ijma’ umat Islam. Bahkan beliau sendiri telah bersabda,”Aku adalah sayyid (tuan) anak Adam”, dan diriwayat lain disebutkan,”Aku sayyid (tuan) manusia”, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Sedangkan Allah sendiri juga memerintahkan manusia untuk memuliakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, yang artinya, ”Sesungguhnya Kami telah mengutusmu sebagai saksi dan pemberi kabar gembira serta pemberi peringatan agar kalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Dan menolong-Nya, mengagungkan-Nya serta bertasbih kepada-Nya di pagi hari dan petang." (Al Fath: 8-9)

Sebagian ulama menilai bahwa perintah mengagungkan, kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Imam Qatadah dan As Suddi, mengagungkan Rasulullah termasuk mensayyidkan beliau.

Sahabat Sebut Nabi dengan “Sayyid

Dari Sahl bin Hunaif Radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, ”Kami melalui tempat air mengalir, maka aku turun dan mandi dengannya, setelah itu aku keluar dalam keadaan demam. Maka hal itu dikabarkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Alihi Wasallam. Maka beliau bersabda, ”Perintahkan Aba Tsabit untuk meminta perlindungan.” Saya mengatakan,”Wahai Sayyidku (tuanku) apakah ruqyah berfungsi?” Beliau bersabda,”Tidak ada ruqyah kecuali karena nafs (ain), demam atau bisa.”  (Al Hakim, beliau menyatakan isnadnya shahih)

Shalawat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar gunakan “Sayyid

Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar juga menyebut “Sayyid” untuk Rasulullah dalam shalawat beliau berdua. Ibnu Mas’ud pernah mengajarkan,”Jika kalian bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka baguskanlah shalawat untuk beliau, sesungguhnya kalian tidak tahu bahwa shalawat itu ditunjukkan kepada beliau. Maka, mereka mengatakan kapada Abdullah bin Mas’ud,’Ajarilah kami.’ Ibnu Mas;ud menjawab,’Ucapkanlah, Ya Allah jadikanlah shalat-Mu dan rahmat-Mu dan berkah-Mu untuk Sayyid Al Mursalin (tuan para rasul), Imam Al Muttaqin (imam orang-orang yang bertaqwa), Khatam An Nabiyyin (penutup para nabi), Muhammad hamba-Mu dan rasul-Mu, Imam Al Khair (imam kebaikan), Qaid Al Khair (pemimpin kebaikan) dan Rasul Ar Rahmah (utusan pembawa rahmat).’” (Riwayat Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Hafidz Al Mundziri)

Atsar serupa juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al Musnad, dengan sanad hasan pula.

Walhasil, menyebut Rasulullah dengan gelar “Sayyid” adalah perkara yang disyariatkan.*
Sumber : dar-alifta.org
Rep: Thoriq
Red: Cholis Akbar