Sabtu, 28 Agustus 2010

a. Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulallah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulallah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah swt. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadahdiperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulallah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
b. Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulallah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
c. Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulallah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulallah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulallah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287 mengatakan:  ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yangma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang telah ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna al-bid’ah
d. Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulallah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulallah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya(amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
e.  Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: Pada suatu saat Rasulallah saw. menugas- kan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulallah saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulallah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainya’ “.
Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw.. Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulallah saw. tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.
f. Bukhori dalam Kitabus Sholah  hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulallah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulallah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulallah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fathmengatakan antara lainOrang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulallah saw. menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulallah saw. akan menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulallah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’. Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupa- kan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulallah saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. bila tidak keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah swt.
g. Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il(keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada Rasulallah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulallah saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membacaQul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.
h. Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalamShohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulallah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulallah saw. bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat meng- gembirakan dari Rasulallah saw. itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentu- an syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
i. Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal  Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulallah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab sese- orang dari kaum; Wahai Rasulallah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaanRasulallah saw. terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulallah saw. tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Yang lebih mengherankan lagi ialah ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut waktu sholat shubuh sebagaibid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari hadits Rasulallah saw. sendiri yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat berdirinya untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga berdasarkan hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam bin Hamzah; Abdullah bin Ma’qil;  Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh sekolompok huffaz dan mereka juga ikut menshahih-kannya serta para ulama lainnya diantaranya Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan bid’ah sedangkan tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas atas prakarsanya para sahabat sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi saw. malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
j. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah swt. atau dengan jalan bertabarrukpada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannyasurah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulallah saw.. Setiba dihadapan Rasulallah saw, mereka menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulallah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulallah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “.  (HR.Bukhori)
k. Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulallah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulallah saw.. Semuanya itu diridhoi oleh Rasulallah saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulallah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena semua itu bertujuan baik,  tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan mereka diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulallah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي  (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulallah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal sekarang ini. Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau saw. berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah swt., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah swt. membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan diperintahkan supaya melaksana- kan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik! Untuk lebih detail keterangannya silahkan membaca riwayat hadits ini yang dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya jilid 4 halaman 243 mengenai pengitaban ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu Rasulallah saw masih hidup. Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah Allah swt. dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabisaw. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami kemuka kan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw.Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah, karena Rasulallah saw. membenarkan serta meridhoi atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan tersebut. Begitu juga prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan,baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulallah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah swt. dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulallah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري
‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya)karena Allah  dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya(berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulallah saw. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah swt. atas pemahaman mereka semacam ini.
Dalil-dalil yang membantah dan jawabannya
Hanya orang-orang egois, fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang mengingkari hal tersebut. Seperti yang telah kemukakan sebelum ini bahwa golongan pengingkar ini selalu menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai dengan paham mereka.
Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulallah saw. berikut ini :
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.
Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak, yakni  dholalah/ sesat. Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada hadits diatas ini tersebut mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw adalah bi’dah dholalah. Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan Rasulallah saw.. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulallah, sahabat dan para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya’,  tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukanpenelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benarnamun akhirnya batil atau awalnya shohih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah mengamal- kannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlilan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan yang batil/salah atau fasid adalah penghukum- an mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerja- kan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan berdasarkan kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapinya. Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan’ bahwa amalan ibadah itu bilatidak ada keterangan yang valid dari Rasulullah saw., maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau saw. !!
Jelas disini para ulama tidak mengatakan bahwa suatu amalan ibadahtidak boleh diamalkan karena tidak ada keterangan dari beliau saw., mereka hanya mengatakan amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulallah saw. bila tidak ada dalil dari beliau saw. !
Kalau kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama ber- pedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya.
Tidak lain semuanya, karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang mengatakannya. Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga !!
Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan. Umpamanya mereka berbeda dalam meng- ambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shohih. Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulallah saw., umpama- nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjur-kan atau mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulallah saw. yang dalilnya/riwayat- nya sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau saw. Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulallah saw. yang menganjurkan orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulallah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulallah saw. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Para shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya, kemudian meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan sebelumnya.
Begitu juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw. atau para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis tahlilan/ yasinan dan lain sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulallah saw. yang menganjurkan agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala-pahala bacaan dan amalan ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya semuanya mustahab asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah) yang sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulallah saw. yang semuanya itu dianjurkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semuanya ini mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah swt.!!
Mari kita rujuk ayat al-Qur’an:
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah… dan hadits Barangsiapa yang didalam agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa keterangan dari Rasulallah saw. didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah swt. (QS Asy-Syura :21) serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulallah saw., contohnya yang mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’atdan lain sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulallah saw. diatas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu…. adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Saya ambil perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajibitu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ.   (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil (amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah swt. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah swt dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semuaperahu”.
Ayat ini menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja membocorkan perahu orang-orang miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalahsafiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah swt.berfirman : “Angin taufan itu telah menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah swt.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
Begitupun juga dalam surat An-Najm ayat 39 Allah swt.berfirman: “Bahwasa- nya setiap manusia itu tidak memperoleh selain apa yang telah diusaha- kannya”. Kalimat ‘selain apa yang telah diusahakannya’pada ayat ini bersifat umum, namun keumumannya itu tidak terpakai karena banyak sekali hadits-hadits shohih yang menunjukkan bahwa seorang muslim yang telah meninggal masih dapat memperoleh kebaikan dan manfaat dari muslim yang lain seperti sholat jenazah, do’a, sedekah dan lain-lain.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah swt. berfirman : “Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiahyang telah diampuni oleh Allah swt. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah swt. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang….”Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang memerangi Rasulallah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..”. Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as dan bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah swt. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan seterusnya “. Firman Allah ini bersifat umum, sebab Allah swt. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu bagaikan binatang ternak,bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A’raf : 179).
Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun didalamnya terdapat keumuman namun ternyata keumumannya itu tidak terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulallah saw. bersabda: “Orang yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. Hadits ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu Hajar mengatakan; ‘ Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoal- an harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulallah saw. yang menyatakan bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr rh. dalam At-Tamhidmengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulallah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain dikhususkan maksud dan maknanya, demikian pula banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; ‘Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi  ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat ! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah swt. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak kenyataan membuktikan, bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan meirdhoi macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah kami kemukakan diatas. Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia selalu berbuat kebaikan) ? Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan lain-lain.
Insya Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulallah saw. masalh Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/baik. Untuk lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip dalam hal bid’ah ini, silahkan membaca buku Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh H.M.H Al-HAMID – AL-HUSAINI.
Qadha (penggantian) Sholat yang ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya :
Sebagian golongan muslimin telah membid’ahkan, mengharamkan/mem batalkan mengqadha/mengganti sholat yang sengaja tidak dikerjakan pada waktunya. Mereka ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan tidak sah orang yang ketinggalan sholat fardhu dengan sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu sholat lainnya, mereka harus menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi kekurangan- nya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah terbantah oleh hadits-hadits dibawah ini dan ijma’ (kesepakatan) para ulama pakar diantaranya Imam Hanafi, Malik dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang kewajiban qadha bagi yang meninggalkan sholat baikdengan sengaja maupun tidak sengaja. Mari kita ikuti beberapa hadits tentang qadha sholat berikut ini :
1). HR.Bukhori, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa(melaksanakan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangkan makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalkannya itu lebih utamaKarena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanakan sholat, dan dia harus melakukannya…’.
Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah Rasulallah saw. bagi orang yang ketinggalan sholat karena lupa dan tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk sholat yang disengaja ditinggalkan itu malah lebih utama/wajib untuk menggadhanya. Maka bagaimana dan darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja ditinggalkan itu tidak wajib/tidak sah untuk diqadha ?
Begitu juga hadits itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan sholat karena lupa atau tertidur tidak berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dia berdosa besarkarena kesengajaannya meninggalkan sholat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku baginya.
2). Rasulallah saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-bagikan harta, kemudian sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau saw. sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhori, Muslim dari Ummu Salamah).
3). Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).(dikutip dari at-taj 1:539)
4). Rasulallah saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantikannya dengan shalat dua belas rakaatdiwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)
Nah alau sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat malam yang tidak dikerjakan pada waktunya itu diganti/diqadha oleh Rasulallah saw. pada waktu setelah sholat Ashar dan waktu-waktu lainnya, maka sholat fardhu yang sengaja ketinggalan itu lebih utama diganti dari- pada sholat-sholat sunnah ini.
5). HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulallah saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari punggungnya. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulallah saw. bersabda: Naiklah (ketunggangan masing-masing) dan kami menunggangi (tunggang- an kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan utk melaksanakan sholat (shubuh yang ketinggalan). Rasulallah saw. melakukan sholat sunnah sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw. menaiki tunggangannya.
Ada sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan) terhadap apa yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurnaan shalat kita (at-tafrith fi ash-sholah)? Kemudian Rasulallah saw. bersabda: ’Bukan kah aku sebagai teladan bagi kalian’?, dan selanjutnya beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaan ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang dinamakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah(tafrith) yaitu orang yang tidak melakukan (dengan sengaja) sholat sampai datang lagi waktu sholat lainnya….’. (Juga Imam Muslim meriwayatkandari Abu Hurairah, dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori dari Imran bin Husain).
Hadits ini tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan lalai/meng- gampangkan sholat ialah bila meninggalkan sholat dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duanya wajib menggadha sholat yang ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits ini tidak menyebutkan bahwa orang tidak boleh/haram menggadha sholat yang ketinggalan kecuali selain dari yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutkan tidak ada kelalaian (berdosa) bagi orang yang meninggal- kan sholat karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits larangan untuk menggadha sholat !
6). Jabir bin Abdullah ra.meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperangan) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulallah, aku masih melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulallah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwudu untuk (melaksanakan) sholat dan kami pun berwudu untuk melakukannya. Beliau saw. (melakukan) sholat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanakan sholat Maghrib. (HR.Bukhori dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatkannya juga, didalamAl-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha sholat yang paling utama’ dalamAl-Fath Al-Barri II:72)
7). Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhabbab 25 sholat Qadha’ menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggal- kannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Memang terdapat perselisihan antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya), perselisihan antara mereka ini ialah apakah adakewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
8). Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat diterangkan: Menurut madzhab jumhurtermasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan sholat itu berdosa dan ia tetap wajib meng- gadhanya. Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalkan (tidak sah) untuk menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-hadits diatas dan ijma’ para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama pakar lainnya yang mewajibkan qadha atas sholat yang sengaja ditinggal- kan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan madzhab jumhur—pen.).
Kesimpulan :
Kalau kita baca hadits-hadits diatas semuanya masalah qadha sholat, dengan demikian buat kita insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/meng- gantikan sholat yang ketinggalan baik secara disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib, sebagaimana yang diutarakan oleh ulama-ulama pakar yang telah diakui oleh ulama-ulama dunia yaitu Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan antara yang disengaja dan tidak disengaja ialah masalahdosanya jadi bukan masalah qadhanya.
Semoga dengan adanya dalil-dalil yang cukup jelas ini bisa menjadikan manfaat bagi kita semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mencela atau merasa pahamnya/anutannya yang paling benar.