Sabtu, 28 Agustus 2010

Pembelaan Nashiruddin al-Albani pada Syeikh Khajandi

Pembelaan Nashiruddin al-Albani pada Syeikh Khajandi
Pendapat Syekh Khajandi tersebut diatas mengenai pengharamannya untuk taqlid pada satu imam tertentu dan sebagainya yang tersebut diatas ini dibenarkan oleh Nashiruddin al-Albani (baca keterangan mengenai al-Albani pada halaman sebelumnya) dan dibela mati-matian, suatu hal yang meng- herankan sekali. Pembelaan Syeikh Al-Albani tidak lain karena Syeikh Khajandi ini sepaham dan satu kelompok golongandengannya dan al-Albani sengaja mentakwil kata-kata Khajandi yang salah ini agar tidak terus menerus menjadi sorotan ummat muslimin.
I. Al-Albani mengatakan : “Sanggahan dan alasan yang dikemukakan Dr. Sa’id Ramdhan terhadap pendapat Syekh Khajandi itu tidak benar. Dia(Albani) pembela Syeikh Khajandi ini mengatakan juga bahwa para sahabat dan ulama selama tiga abad tidak pernah menetapi satu madzhab tertentu”
Jawaban :
Dr. Sa’id Ramdhan membuktikan bahwa alasan yang dikemukakannya itu adalah benar. Syeikh Sa’id ini mengutip ucapan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 1/21 :
( “ Waddiinu wal fighu wal ‘ilmu intasyaro fil Ummati  ‘an ashhaabi bni Mas’ud wa ashhaabi Zaidi bni tsaabit wa ashhaabi ‘abdillah bni ‘Abbas. Fa’ilmun Naasi ‘ammatan ‘an ashhaabi haaulaail arba’ati. Fa ammaa ahlul madiinati fa’ilmuhum ‘an ashhaabi Zaidi bni Tsaabit wa ‘Abdillahi bni ‘Umar. Wa ammaa ahlu makkata fa’ilmuhum ‘an ashhaabi ‘Abdillahi bni ‘Abbas ra. Wa ammaa ahlul ‘iraaqi fa’ilmuhum ‘an ashhaabi ‘Abdillahi bni Mas’uud “ ).
Artinya : Agama, figh dan ilmu tersebar ketengah-tengah ummat ini melalui para pengikut Ibnu Mas’uud, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Umar dan ‘Abdullah bin ‘Abbas. Secara umum ummat Islam ini memperoleh ilmu agama dari mereka yang empat ini. Penduduk Madinah memperoleh ilmu dari para pengikut Zaid bin Tsabit dan ‘Abdullah bin Umar. Penduduk Mekkah memperoleh ilmu dari para pengikut Abdullah bin Abbas dan penduduk Iraq memperoleh ilmu dari para pengikut ‘Abdullah bin Mas’ud “.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim. Bahkan dalam sejarah perkembangan syari’at Islam telah pula diketahui bahwa ‘Atho’ bin Abi Robah dan Mujahid pernah menjadi mufti di Mekkah dalam waktu yang cukup lama. Dan penduduk Mekkah saat itu hanya mau menerima fatwa dari kedua Imam ini sampai-sampai khalifah yang memerintah saat itu sempat menyerukan agar orang-orang tidak mengambil fatwa kecuali dari dua Imam tersebut. Dan para ulama dari golongan tabi’in tidak ada yang mengingkari seruan khalifah itu. Begitu pula tidak ada yang menyalahkan sikap kaum muslimin saat itu yang hanya menetapi madzhab kedua imam tersebut.
II. Syekh al-Albani membela beberapa pendapat Syeikh Khajandi yang aneh dan telah menyimpang jauh dari kebenaran. Dia memberi takwil (perubahan arti) beberapa pendapat Syekh Khajandi berikut ini :
a. Kata-kata Syekh Khajandi; “Adapun madzhab-madzhab itu dia hanyalah pendapat para ulama, dan cara mereka memahami sebagian masalah serta bentuk dari ijtihad mereka. Dan pendapat serta ijtihad-ijtihad seperti ini, Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk mengikutinya”.
Menurut al-Albani yang dimaksud ‘seseorang’ diatas adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk berijtihad, bukan semua orang.
b. Kata-kata Syekh Khajandi; “Menghasilkan ijtihad tidaklah sulit, cukup dengan memiliki kitab Muwattho’, Bukhori Muslim, Sunan Abi Daud, Jaami’ at-Turmudzi dan Nasa’i. Kitab-kitab ini tersebar luas dan mudah diperoleh. Anda haruslah mengetahui kitab-kitab ini “.
Menurut al-Albani ucapan Syeikh Khajandi ini juga khusus untuk orang-orang yang telah mencapai derajad mujtahid dan mampu mengistinbath hukum dari nash. Jadi bukan ditujukan kepada semua orang.
c. Kata-kata Syeikh Khajandi; “Jika telah didapatkan nash dari Al-Qur’an, Hadits dan ucapan para sahabat, maka wajiblah mengambilnya, tidak boleh berpindah kepada fatwa para ulama”.
Menurut al-Albani ucapan Syekh Khajandi ini khusus untuk orang yang telah mendalami ilmu syari’at dan memiliki kemampuan untuk menganalisa dalil dan madlulnya.
Jawaban :
Pembelaan al-Albani kepada Syeikh Khajandi selalu diberikan takwil agar tetap dikesankan berada diatas kebenaran. Sedikitpun Nashiruddin al-Albani tidak mau menyalahkan Syeikh Khajandi. Bahkan ketika Dr. Sa’id Ramdhan berkata kepada al-Albani dalam satu pertemuan singkat dengannya bahwasanya seorang ulama tidak akan menggunakan satu pernyataan yang sifatnya umum, lalu dia menghendaki maksud lain yang tidak sejalan dengan dzhohir pernyataannya itu. Nashiruddin al-Albani menjawab bahwa Syeikh Khajandi itu adalah lelaki keturunan Bukhara yang menggunakan bahasa non arab. Karenanya dia tidak memilikikemampuan mengungkapkan sesuatu sebagaimana layaknya orang-orang arab. Dia sekarang sudah wafat. Dan karena dia seorang muslim maka haruslah kita membawa ucapan-ucapannya itu kepada sesuatu yang lebih tepat dan pantes dan kita haruslah selalu ber-husnuz dhon (bersangka baik) kepadanya.
Seperti inilah Syeik al-Albani berdalih Husnuz dhon kepada seorang muslim dia selalu menakwil ucapan-ucapan Khajandi walaupun sudah jelas dan nyata menyimpang dari kebenaran. Tidak lain karena Syeikh Khajandi adalah orang yang sepaham dan satu kelompok dengan al-Albani. Kalau yang punya pendapat itu bukan dari kelompoknya, maka tentulahseperti sifat kebiasaan al-Albaniakan dibantahnya, dicela dan didamprat  habis-habisan !!.
Menurut Syekh Sa’id Ramdhan , andai saja al-Albani itu mau menakwil ucapan-ucapan para tokoh Sufi seperti Syeikh Muhyiddin bin Arobi seper empat saja dari takwilan yang diberikan kepada Syeikh Khajandi maka tidaklah dia akan sampai mengkafirkan dan menfasikkan mereka (para sufi)!
Syeikh Khajandi yang mengatakan bahwa Jika telah didapatkan nash…… sampai fatwa para ulama (baca keterangan pada II c diatas) walaupun sudah dibela sama al-Albani namun Dr. Sa’id tetap membantahnya.
Dr. Sa’id Ramdhan berkata: Coba saja berikan kitab Bukhori Muslim kepada semua kaum muslimin lalu suruh mereka memahami hukum-hukum agama dari nash-nash yang terdapat dalam kitab tersebut. Kemudian lihatlah kebodohan, kebingungan dan kekacauan yang akan terjadi ! Selanjutnya Syeikh Sa’id ini mengatakan bahwa Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ‘I’laamul Muwaqqi’in 4/234 telah mengatakan sesuatu yang benar-benar berbeda dengan apa yang diucapkan oleh Syeikh Khajandi yang telah didukung oleh al-Albani itu. Ibnul Qoyyim berkata :
( “Alfaaidatu tsaaminah wal arba’uun]  idzaa kaana ‘indar rojuli ashshohiihaani au ahaduhumaa au kitaabun min sunani Rasuulillahi saw. muutsagun bimaa fiihi fahal lahu an yuftiya bimaa yajiduhu fiihi ?…wash showaabu fii haadzihil mas alatit tafshiilu fain kaanat dalaalatul hadiitsi dhoohiratan bayyinatan likulli man sami’ahu laa yahtamilu ghoirol muroodi falahu an ya’mala bihi wa yuftiya bihi wa laa yathlubut tazkiyata lahuu min gouli fagiihi au imaamin balil hujjatu goulu Rasuulillahi saw. Wa in kaanat dalaalatuhu khofiyyatan laa yatabayyanul muroodu minhaa lam yajuz lahu an ya’mala wa laa yuftiya bimaa yatauwah-hamuhu muroodan hattaa yas-alu wa yathluba bayaanal hadiitsi wa wajhahu…”).
Artinya : “(Faidah ke 48) : Apabila seseorang memiliki dua kitab shohih (Bukhori & Muslim) atau salah satunya atau satu kitab dari sunnah-sunnah Rasulalillah saw., yang terpercaya, bolehkan ia berfatwa dengan apa yang dia dapatkan dalam kitab-kitab tersebut ? Jawaban yang benar dalam masalah ini adalah melakukan perincian (tafshil). Bila makna yang dikandung oleh hadits itu sudah cukup jelas dan gamblang bagi setiap orang yang mendengarnya dan tidak mungkin lagi diartikan lain, maka dia boleh mengamalkannya serta berfatwa dengannya tanpa harus meminta rekomen- dasi lagi kepada ahli figih atau seorang imam. Bahkan hujjah yang harus diambil adalah sabda Rasulalillah saw. Akan tetapi bila kandungan hadits tersebut masih samar dan kurang jelas maksudnya (bagi setiap orang ), maka dia tidaklah boleh mengamalkannya dan tidak boleh pula berfatwa dengannya atas dasar perkiraan pikirannya sehingga ia bertanya terlebih dahulu dan meminta penjelasan tentang hadits itu “.
Selanjutnya Ibnul Qoyyim berkata :
( “ Wa hadzaa kulluhu idzaa tsammata nau’u ahliyyatin walakinnahuu gooshirun fii ma’rifatil furuu’I wa gowaa’idil ushuuliyyiina wal ‘arabiyyati. Wa idzaa lam takun tsammata ahliyyatun gotthu fafardhuhu maa goolahullahu ta’aalaa: Fas-aluu ahla ddzikri in kuntum laa ta’lamuun [An-Nahl :43] “).
Artinya : “Semua yang dibicarakan diatas hanyalah apabila orang itu memiliki sedikit keahlian namun pengetahuannya dalam ilmu figih, kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu bahasa belum mencukupi. Akan tetapi apabila seseorang tidak memiliki kemampuan apa-apa, maka ia wajib bertanya, sebagaimana firman Allah swt. : ‘Maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang mempunyai ilmu jika memang kamu tidak mengetahui’  (An-Nahl :43) “.
III. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Syeikh Khajandi mengatakan telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf: Barang siapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah….dan seterusnya (baca keterangan sebelumnya) dan Dr. Sa’id Ramdhan telah membuktikan bahwa ucapan yang dikatakan Khajandi dari Imam  ad-Dahlawi itu adalah tidak benar. Tujuan Syeikh Sa’id Ramdhan membongkar ketidak benaran ucapan yang diatas namakan ad-Dahlawi ini adalah agar mereka (para pembela Syeikh Khajandi) merenungkan masalah ini dan memeriksa kembali apa yang telah beliau buktikan ini. Dan seharusnya mereka (pembela-pembela Syeikh Khajandi) berterima kasih dan menerima adanya kebenaran yang dibuktikan oleh Dr. Sa’id Ramdhan dan kesalahan yang dilakukan oleh mereka.
Namun yang terjadi justru sebaliknya sebagaimana kebiasaan golongan ini  [Syeikh Khajandi dan kawan-kawannya] mereka tidak senang dengan pelurusan-pelurusan yang Syeikh Sa’id Ramdhan lakukan yakni menyingkap kebohongan yang mereka atas namakan kepada Imam ad-Dahlawi. Mereka (kelompok Syeikh Khajandi) bersusah-payah membuka lembar demi lembar kitab Ad-Dahlawi yang kira-kira cocok atau mendekati kebenaran dengan kutipan Syeikh Khajandi itu. Pada akhirnya mereka ini berkata :
“Kami telah memeriksa risalah al-Inshaaf karangan Imam ad-Dahlawi rahima hullah dan ternyata didalamnya terdapat sebagian ucapan yang disebut Syeikh Khajandi. Bunyi ucapan itu adalah : ‘Ketahuilah bahwa kaum muslimin di abad pertama dan kedua hijriah tidak menyepakati taqlid kepada satu madzhab tertentu. Abu Thalib al-Makki dalam kitanya Quutul Qulub mengatakan bahwa kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan tulisan tentang Islam merupakan hal yang baru. Dan pendapat yang berdasarkan ucapan orang banyak dan fatwa yang berdasarkan satu madzhab kemudian mengambil ucapan itu dan dan menyampaikannya menurut madzhab tersebut, baik dalam urusan apa saja ataupun urusan figih, semua itu tidak pernah terjadi pada dua abad yang pertama dan kedua. Melainkan manusia diketika itu hanya dua kelompok yaitu ulama dan orang-orang awam. Berdasarkan informasi, orang-orang awam itu dalam masalah-masalah yang sudah disepakati yang tidak ada lagi perbedaan diantara kaum muslimin dan mayoritas mujtahidin tidaklah mereka itu taqlid kecuali kepada pemegang syari’at yakni Nabi Muhammad saw.. Jika mereka menemui satu masalah yang jarang terjadi, maka mereka meminta fatwa kepada mufti yang ada tanpa menentukan apa madzhabnya “.
Namun demikian apabila kita perhatikan dengan seksama maka ucapan Imam ad-Dahlawi yang mereka kutip, tidak ada kaitannya sama sekalidengan ucapan Syeikh Khajandi yang mengatas namakan mengutip kitab Imam ad-Dahlawi !!.
Untuk memperkuat pembelaaan terhadap Syeikh Khajandi mereka juga mengatakan: Adapun ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya terdapat dalam kitab Hujjatulloohil Baalighah jilid1/154-155. Dimana Imam ad-Dahlawi mengutip ucapan Ibnu Hazmin :
( “ Goola Ibnu Hazmin : Innat taqliida haraamun wa laa yahillu liahadin an ya’khudza qoula ahadin ghoiri rasuulillahi saw. bilaa burhaanin”).
Artinya : “Ibnu Hazmin berkata : ‘ Taqlid itu haram dan seseorangdengan tanpa dalil tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulallahillahi saw.’ ”.
Berikutnya mereka membeberkan ucapan-ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin dengan cukup panjang.
Jawaban :
Padahal ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin bukanlah seperti itu . Perhatikanlah keterangan Imam ad-Dahlawi berikut ini :
( “ I’lam an hadzihil madzaahibal arba’atal mudawwanatal muharrorota godij tama’atil ummatu au man yu’taddu bihi ‘alaa jawaazi taqliidihaa ilaa yauminaa haadzaa wa fii dzaalika minal mashoolihi maalaa yakhfaa laa siyyamaa fii haadzihil ayyaamil latii goshurat fiihal himamu jiddan wa usyribatin nufuusul hawaa wa a’jaba kullu dzii ro’yin biro’yihi ”).
Artinya : “Ketahuilah ! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri. “
Selanjutnya Imam ad-Dahlawi langsung berkata :
( “ Famaa dzahaba ilaihi ibnu Hazmin haitsu goola innat taqliida haraamun wa laa yahillu liahadin an ya’khudza qoula ahadin ghoiri rasuulillahi saw. bilaa burhaanin…innamaa yatimmu fiiman lahu dhorbun minal ijtihaadi walau fii mas-alatin waahidatin “).
Artinya : “Maka pendapat Ibnu Hazmin yang mengatakan : ‘Sesungguhnya taqlid itu haram dan tidak boleh bagi seseorang dengan tanpa dalilmengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulillah saw….barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan ber- ijtihad walaupun pada satu masalah”.
Demikianlah sebenarnya kelengkapan ucapan Imam ad-Dahlawi dalamHujjatulloohil Baalighah. Maka kita bisa bandingkan sendiri kutipan para pembela Syeikh Khajandi itu dengan ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya. Mereka hanya mengutip sampai kata-kata ….Tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain ucapan Rasulillah saw. dan mengenyampingkan/membuang terusan kalimat itu justru yang paling penting dan inti dari sebuah pendapat yaitu …barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan berijtihad walaupun pada satu masalah. Begitulah sifat kebiasaan golongan ini sering membuang/mengenyampingkan kalimat-kalimat aslinya atau kalimat-kalimat lain yang berlawanan dengan faham mereka (baca keterangan akidah golongan salafi/wahabi dalam makalah ini ).
Beginilah kefanatikan golongan ini terhadap imam-imam mereka sampai-sampai mereka berani merekayasa dan membuang ucapan para imam lainnya demi untuk menegakkan dan membenarkan pendapat-pendapat yang sudah terlanjur dikeluarkan/ditulis oleh imam-imam mereka atau oleh mereka sendiri. Sifat mereka seperti ini jelas telah menunjukkan kefanatikan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kefanatikan para pengikut madzhab empat terhadap imam-imamnya. Yang mana kefanatikan para pengikut madzhab yang empat ini selalu dicela oleh golongan ini.
Para pengikut madzhab yang empat betapapun fanatiknya merekatidaklah akan berani merekayasa atau membuang ucapan-ucapan para imam lainnya demi untuk mempertahankan pendapat mereka atau pendapat imam-imam mereka. Renungkanlah !
IV. Nashiruddin al-Albani dalam rangka menyalahkan pendapat Syeikh Sa’id Ramdhan yang hanya membagi manusia menjadi kelompok yaitu Mujtahid dan Mukallid tanpa menambahkan adanya kelompok ketiga yakni Muttabi’, mengetengahkan dalil dari kutipan ucapan Imam as-Syatibi dalam kitab beliau Al-I’tishom. Al-Albani mengutip sebagai berikut:
( “Almukallafu biahkaamis syarii’ati laa yakhluu min ahadin umuurin tsalaatsatin : ahaduhumaa an yakuuna mujtahidan fiihaa fahukmuhu maa addaahu ilahi ijtihaaduhu fiihaa. Wats tsaanii an yakuuna mugallidan shirfan kholiyyan minal ‘ilmil haakimi jumlatan falaa budda lahu min gooidin yaguuduhu. Wats tsaalitsu an yakuuna ghoira baalighin mablaghal mujtahidiina lakinnahuu yafhamud daliila wa maugi’ahu wa yashluhu fahmuhu lit tarjiihi “).
Artinya : “Orang yang terkena beban hukum syari’at (mukallaf) tidaklah terlepas dari tiga perkara ; Pertama, ia adalah seorang mujtahid dalam bidang syari’at, maka hukumnya adalah melaksanakan apa yang menjadi hasil ijtihadnya. Kedua, ia adalah mukallid murni yang sama sekali kosong dari ilmu, maka hukumnya harus ada orang yang membimbingnya. Ketiga, ia tidak mencapai tingkatan para mujtahidin namun ia memahami dalil dan kedudukannya serta pemahamannya pantas untuk melakukan tarjih”.
Jawaban :
Sampai disini al-Albani dan kawan-kawannya menulis/menyudahi keterangan Imam as-Syatibi padahal masih ada kelanjutannya yang justrubagian terpenting dari keterangan Imam as-Syatibi menyangkut kedudukan orang yang masuk bagian ketiga yakni Muttabi’.
Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ini mempersilahkan semua orang untuk memeriksa kitab Al-I’tishom jilid 111 halaman 253 guna melihat bagian terpenting yang sengaja dibuang oleh al-Albani dan kawan-kawannya. Berikut keterangannya :
“(Untuk muttabi’ ini) kemampuan tarjih dan analisanya pun tidaklah lepas daripada diterima atau tidaknya. Jika tarjihnya itu diterima, maka jadilah ia seperti mujtahid dalam masalah itu dan mujtahid hanyalah mengikut kepada ilmu yang dapat menjadi pemberi putusan (hakim). Dia haruslah memperhati kan ilmu itu dan tunduk kepadanya. Maka siapa yang menyerupai mujtahid jadilah dia seorang mujtahid. Lalu jika kita tidak menerima tarjihnya itu, maka mestilah dia kembali kederajat orang awam (mukallid). Dan orang awam hanyalah mengikuti mujtahid dari segi ketundukannya kepada kebenaran ilmu yang dapat memberi putusan. Begitu juga halnya orang-orang yang menduduki posisinya “.
Dengan keterangan diatas jelaslah bahwa menurut pandangan Imam as-Syatibi kedudukan Muttabi’ pada akhirnya akan sama seperti Mujtahidkalau ia telah mencapai derajatnya dan ia akan kembali seperti orang awam kalau ia belum mampu mencapainya. Akan tetapi sayang sekali al-Albani dan kawan-kawannya justru memotong/membuang bagian terpenting dari penjelasan Imam as-Syatibi itu.
Akhirnya Dr. Sa’id Ramdhan berkomentar : “Bagaimana seorang muslim dapat mempercayai agama seseorang yang memutar balikkan fakta suatu tulisan bahkan mengubah kalimat dari tempatnya yang semula sebagai- mana anda sendiri telah melihatnya ? Bagaimana seorang muslim harus percaya kepadanya untuk mengambil hukum syari’at dan mempercayai ucapannya yang telah banyak membodoh-bodohkan para imam mujtahid ?
Beginilah sebagian wejangan dan bantahan Syekh Said Ramdhan terhadap ucapan Syeikh Khajandi yang semuanya ini saya kutip dari bukuArgumentasi Ulama Syafiiyyah oleh Ustadz Mujiburrahman.
Dialog antara Syeikh Sa’id Ramdhan degan anti madzhab
Dibuku itu masih ada kutipan dialog antara Syeikh Sa’id Ramdhan dengan kelompok anti madzhab yang terdiri dari seorang pemuda dan kawan-kawan nya yang sengaja datang mengunjungi Syeikh Sa’id Ramdhan.. Saya hanya akan mengutip beberapa bait yang penulis anggap penting untuk diketahui oleh si pembaca diantaranya adalah :
Syeikh Sa’id berkata : Bagaimana cara anda memahami hukum Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid ?
Anti madzhab menjawab : Saya akan menelisti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.
Syeikh Sa’id : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu tahun ? (Rupanya Syeikh Sa’id ingin mengetahui apakah pemuda ini langsung bisa menjawab atau Syeikh ini ingin tahu bagaimana cara pemuda itu mencari dalil-dalilnya, karena dirumah Syeikh ini ada perpustakaan, pen.).
Anti madzhab : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati ?
Syeikh Sa’id : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.
Anti madzhab : Wahai Tuan ! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah yang lain ! (Rupanya pemuda ini kerepotan menjawab dan mencari dalil-dalilnya atas pertanyaan Syeikh ini walaupun didepan mereka ada perpustakaan., pen.)
Syeikh Sa’id : Baiklah..! Apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?
Anti madzhab : Ya benar !
Syeikh Sa’id : Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.
Anti madzhab : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam : Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.
Syeik Sa’id : Apa kewajiban Mukallid ?
Anti madzhab : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.
Syeikh Sa’id : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?
Anti madzhab :  Ya, hal itu hukumnya haram !
Syeikh Sa’id : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya ?
Anti madzhab : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.
Syeik Sa’id : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?
Anti madzhab : Qiro’at imam Hafash .
Syeik Sa’id : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda ?
Anti madzhab : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafash saja.
(golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?, sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya ! pen.) .
Syeikh Sa’id : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafash ?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an !
Anti madzhab : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash !
Syeik Sa’id : Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau andamewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernahmewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !
Anti madzhab : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.
Syeikh Sa’id : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya ?
Anti madzhab : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa !
Syeikh Sa’id: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebut- kan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !
Anti madzhab : Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”.
Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.
Syeikh Sa’id: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)
Dr. Sa’id melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.
Anti madzhab: Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syari’atmengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain !
Syeikh Sa’id : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang sajadari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian !
(Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusiamengharam kan berpindah-pindah madzhab.).
Selanjutnya Syeikh Sa’id mengatakan : Anda tidak akan menemukan satu orangpun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah kemadzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.
Demikianlah sebagian isi dialog antara Syeik Sa’id Ramdhan al-Buuti dengan anti madzhab. Setelah itu mereka melanjutkan dialog tentang masalah yang lain. Bila pembaca berminat membaca semua isi dialog silah- kan membaca buku Argumentasi Ulama Syafi’iyyah ini yang dijual di Surabaya dan lain kota di Indonesia..